Yoseph Yoneta Motong Wuwur *
Pos Kupang, 8 Juni 2017
Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia menjelaskan: …Sekalian sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh Nusantara dinamakan sastra Nusantara. Sedangkan sastra Indonesia hanyalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia (1986:10). Pertimbangan dari segi bahasa maka di Indonesia kita mengenal adanya sastra daerah, sastra asing dan sastra Indonesia.
Sastra daerah berarti sastra yang berkembang di daerah dan diungkapkan dengan menggunakan bahasa daerah. Sastra daerah umum dikenal dengan sastra lisan. Sastra sebagai satu bidang ilmu yang otonomi memiliki wilaya tersendiri. Untuk lebih mengenalinya secara mendalam maka kita harus mengkajinya dari sudut pandang sastra itu sendiri.
Bahasa sastra menggunakan bahasa berupa simbol melalui serentetan kata-kata penuh makna. Sastra sebagai cabang dari seni. Keduanya merupakan unsur integral dari kebudayaan. Keduanya hadir bersama adanya manusia karena diciptakan dan dinikmati manusia. Sastra adalah bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikiranya.
Karya sastra melukiskan situasi dan kehidupan sosial suatu masyarakat. Peristiwa-peristiwa, ide serta nilai-nilai yang dimanfaatkan pencipta melalui tokoh-tokoh cerita. Sastra mendefenisikan manusia dari berbagai aspek kehidupannya sehingga karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya.
Sastra daerah dapat pula memberikan gambaran tentang sistem budaya masyarakatnya. Situasi pada zamannya sehingga akhirnya dapat digunakan sebagai modal apresiasi oleh masyarakat untuk memahami serta dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sastra daerah merupakan hasil budaya yang sejak dulu tumbuh dan berkembang di setiap daerah di Indonesia. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar nilai-nilai di dalamnya dapat dilestarikan. Pelestarian sastra daerah yang lebih dikenal dengan sastra lisan ini pada umumnya melalui penuturan, sangat sedikit dijumpai dalam bentuk tulisan (literatur) bahkan tidak dijumpai sama sekali.
Di NTT sebenarnya kaya akan sastra daerah. Namun, para leluhur mewariskannya dalam bentuk tuturan atau secara lisan maka generasi mudah kini mengalami kesulitan untuk mempelajari sastra daerah tersebut. Kesulitan generasi muda mempelajari sastra daerah disebabkan oleh generasi muda adalah penutur pasif bahasa daerah atau bahasa lokal. Sebagai penutur pasif bahasa daerah maka ia sulit untuk memahami makna dari sastra daerah. Sastra daerah biasanya menggunakan bahasa daerah yang boleh dikatakan bahasa daerah kelas atas. Sebagai bahasa daerah kelas atas maka hanya mampu dimengerti dan dipahami oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk itu dan jumlahnya sangat terbatas.
Sesungguhnya sastra daerah perlu dipertahankan. Sebab sastra daerah merupakan suatu keatifan lokal. Kearifan lokal merupakan bagian dari kontruksi budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarkat. Sastra daerah sebagai suatu kearifan lokal maka tentu memiliki ciri dan fungsi. Pertama, sebagai penanda identitas suatu komunitas. Kedua, sebagai elemen perekat kohesi sosial. ketiga sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawa, eksis dan berkembang di masyarakat bukan dipaksakan dari atas. keempat berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.
Sebagai suatu bentuk kearifan lokal maka sastra daerah harus dilestarikan. Kini sastra daerah mulai tergerus. Mereka yang mempertahankan sastra daerah dinilai sebagai masyarakat perimitif yang tidak mampu menerima perubahan yang dipengaruhi era globalisasi. Globalisasi menghantar generasi muda sulit untuk menerima sastra daerah sebagai suatu bentuk kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Generasi muda juga tidak dapat menerima diri sebagai bagian yang bertumbuh dan berkembang di dalam budaya masyarakat yang memiliki nilai sastra daerah.
Hal ini dapat ditemukan dalam budaya masyarakat di setiap daerah. Misalnya dalam budaya lamaholot. Belakangan ini generasi muda sulit berpantun menggunakan bahasa daerah saat tarian tandak berlangsung. Generasi muda tidak mau dan tidak mampu menjadi pemimpin uru sele (cerita prosa lirik), orang muda tidak tahu lagi apa itu tani tutu tani maring (cerita yang diungkapkan dalam tangisan, biasanya kematian) generasi muda tidak tahu sastra bahasa ritual seremonial (tutu maring).
Dipengaruhi juga oleh zaman kekinian. Generasi muda sulit mempelajari dan mudah melepaskan sastra daerah sebab pengaruh globalisasi. Bukan hanya itu melainkan pengguna sastra daerah dalam hal ini generasi tua pun jumlahnya kian menurun. Kondisi kehidupan sastra daerah yang hidup dan berkembang di era globalisasi ini terhimpit dan terkikis oleh derasnya arus sastra nasional dan sastra asing. Generasi muda lebih merasa bangga jika ia mampu menciptakan karya sastra dengan menggunakan bahasa nasional atau bahasa asing dengan nilai jual tinggi.
Nah, sulitnya penerimaan generasi muda pada sastra sastra daerah serta ketertarikan generasi muda pada sastra indonesia dan sastra asing menjadi penghalang tersendiri bagi perkembangan sastra daerah. Dimana generasi penerus sulit menerima keberadaan sastra daerah sebagai bagian dari kearifan lokal yang perlu dilestarikan.
Kini sudah saatnya untuk menggali kearifan-kearifan lokal dalam bentuk kesusastraan daerah dan sudah tiba waktunya untuk mendokumentasikan segala bentuk sastra daerah. Sehingga suatu saat generasi muda kita tidak mengalami kehilangan sastra daerah atau sastra lisan. Sebab matinya sastra daerah sama halnya matinya suatu budaya daerah dan kehilangan jati diri masyarakat kita.*
*) Alumnus Universitas Flores, Ende
http://kupang.tribunnews.com/2017/06/08/sastra-daerah-dalam-kegelisahan-inilah-yang-terjadi-di-ntt-dan-indonesia