Berlari Mengejar Gagasan

Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd *

DARI MANA datangnya gagasan satu tulisan?

Tentulah bisa dari rupa-rupa sumber: tak ada sumber tunggal yang wajib ditimba oleh seorang penulis untuk menggapai, menemu atau menjemput suatu gagasan guna dituang ke dalam satu tulisan. Pendapat orang per orang, ingatan pribadi atau bersama, figur manusia, pengalaman pribadi atau kolektif, pemikiran orang per orang, dan peristiwa atau kejadian tertentu yang tersebar dan terserak di lapangan kehidupan manusia, bisa menjadi sumber mendapatkan gagasan satu tulisan.

Dengan kejelian dan ketekunan mengintai, mengendus dan menggali gagasan; kelantipan dan kepekaan menampung dan mewadahi gagasan; dan kepiawaian dan keprigelan mengaduk dan menuang gagasan dari sumber tertentu, seorang penulis bisa menghasilkan sebuah tulisan yang dapat dinikmati pembaca. Pendek kata, gagasan sebuah tulisan bisa datang dari sumber mana saja: sumber remeh-temeh hingga berat-serius.

Dari mana datangnya gagasan satu tulisan?

Tentulah bisa dari rupa-rupa jalan: tak ada jalan tunggal yang wajib ditempuh oleh seorang penulis untuk menjangkau, menemu atau menjemput suatu gagasan guna ditenun ke dalam satu tulisan. Pendapat orang per orang, ingatan pribadi atau bersama, figur manusia, pengalaman pribadi atau kolektif, pemikiran orang per orang, dan peristiwa atau kejadian tertentu yang tersebar dan terserak di lapangan kehidupan manusia bisa menjadi jalan meraih gagasan satu tulisan.

Dengan kejelian, ketekunan, dan ketangguhan menelisik, menguntit, dan memburu gejala pada jalan tertentu, seorang penulis bisa menangkap gagasan sebuah tulisan; lantas dengan kelantipan, ketajaman, dan kepekaan menata dan memintal tangkapan gagasan itu ke dalam bahasa dan susunan tertentu dapat dihasilkan ragangan gagasan; dan selanjutnya dengan kepiawaian, keprigelan, dan ketelatenan merenda dan menyulam ragangan gagasan, seorang penulis bisa menghasilkan sebuah gagasan yang sudah tersulam dalam tulisan yang dapat dinikmati pembaca. Pendek kata, gagasan sebuah tulisan bisa datang dari jalan mana saja: jalan terang, remang atau bahkan gelap; jalan lurus, menikung atau melingkar; jalan yang sempit, sedang atau lebar; jalan pendek, tanggung atau panjang; bahkan jalan mulus-gampang atau terjal-sulit dijangkau oleh penulis. Di sini seorang penulis dituntut mempunyai energi mental, pikiran dan rahsa yang memadai agar bisa memburu gagasan tulisan.

Dengan tulisan berisi gagasan yang didapat dari pelbagai jalan, seorang penulis boleh jadi hendak bertegur sapa, berbincang, mengobrol, dan atau berkabar mengenai sesuatu. Tanpa maksud muluk-muluk dan pretensi rupa-rupa, kecuali hanya berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama. Namun, dengan tulisannya, bisa jadi seorang penulis berniat mengajak berdiskusi, berargumentasi, dan atau bertempur gagasan tentang sesuatu dalam usaha menemukan gagasan paling jitu. Di dalam tulisan terkandung hajat dan itikad tertentu, tak hanya berbagi gagasan. Bahkan, dengan gagasan tulisannya, seorang penulis hendak mem-bully, menghujat, menyingkirkan, dan atau membunuh pihak lain demi kepentingan sepihak. Di dalam tulisan penuh kandungan ambisi dan penetrasi kepentingan sempit sepihak yang bisa menghancurkan keberadaan, kebersamaan, atau tata tertentu. Pendek kata, tulisan berisi gagasan tertentu bisa dijadikan strategi untuk rupa-rupa kepentingan dan tujuan.

Beraneka rupa gagasan tulisan yang dihimpun dalam buku ini didapat oleh sang penulis, Abdul Malik, dari pelbagai jalan terbentang begitu panjang, bercabang-cabang, dan berliku-liku yang terbuhul pada kemanusiaan, kebudayaan, dan keadaban. Abdul Malik seolah berlari kesana kemari mengejar gagasan yang terpantul dalam pelbagai paras pengalaman, peristiwa, ingatan, kenangan, pendapat, dan atau pemikiran tertentu yang terkait soal kemanusiaan dan kebudayaan termasuk kesenian yang terpinggirkan, tertimbun debu sejarah, tergusur pembangunan, dan terjerambat di tengah metropolisme. Sang penulis tampak begitu telaten, sabar, empati, simpati, dan penuh apresiasi menjumputi berbagai gagasan yang ada.

Gagasan-gagasan itu lalu ditenun dengan bahasa ringan, bernada obrolan, gaya lisan yang kental, menyapa, tetapi juga reflektif dan apresiatif. Di samping itu, juga ditata dengan cara berkisah, bercerita, dan beralur sebegitu rupa hingga serupa narasi kemanusiaan dan kebudayaan termasuk kesenian yang mengabarkan kondisi dan situasi tertentu. Dalam hal ini penulis terkesan menahan diri untuk tidak berargumentasi, apalagi memaksakan pendirian dan pandangan kepada pembaca; dia hanya berkabar dan mengajak berbagi sempati dan simpati dengan berbagai kondisi dan situasi kemanusiaan dan kebudayaan yang terpinggirkan, tersungkur, berselimut debu, berusaha eksis, dan tergulung kenegatifan tertentu. Dalam gagasan tulisan yang terhimpun di buku ini, penulis terkesan hendak menggugah pembaca untuk siuman dari apatisme humanistis dan kultural.

Kondisi dan situasi humanistis dan kultural yang membuhul gagasan-gagasan tulisan di dalam buku ini dijumput oleh Abdul Malik dari hal-hal yang terbilang kecil-remeh, tersembunyi, bahkan tak jarang terletak di sudut sejarah. Pendek kata, Malik berusaha memunguti hal-hal lokal dan personal yang sudah dilupakan orang atau media arus utama. Simaklah: dia berkisah tentang orang yang dikenalnya yang diharu-biru pencarian dan pencerahan diri; orang yang disapu sejarah politik sampai terpelanting jauh di luar pelataran sejarah; orang yang dicincang prasangka demikian lama; dan orang-orang yang tetap bertahan dengan prinsipnya meski diabsenkan dalam berita dan wacana arus utama. Lihatlah: dia berkisah tentang gempuran multidimensional terhadap kehidupan seni pertunjukan baik tradisional maupun modern, baik ludruk maupun teater modern, di tengah modernisme yang angkuh.

Narasi humanistis dan kultural semua itu nyaris tak berisi keluh dan lenguh, justru berisi ketangguhan dan kegigihan menolak kehancuran, kemusnahan atau penggelapan eksistensial. Misalnya, Malik menarasikan ludruk dan teater modern tanpa keluh dan keluh, apalagi tangis, malah tekad baja dan kecintaan luar biasa; mengisahkan Wiji Thukul dan Ratna Indraswari Ibrahim tanpa tanda duka, justru sinyal keberanian hidup merdeka. Dengan nada tulisan seperti itu, Malik seolah ingin mewartakan bahwa sapu-sapu sejarah politik, sosial, budaya, dan lain-lain yang demikian besar dan kuat tidaklah sanggup melenyapkan hal-hal kecil yang memiliki daya tahan, daya banting, dan daya hidup luar biasa. Kendati ringkas-ringkas dan lokal-lokal, gagasan tulisan di dalam buku ini mewartakan betapa keterpinggiran, keterpencilan, dan ketersudutan orang dan kelompok budaya tak berarti sirna dan lumat oleh mesin sosial, ekonomi dan politik modern. Seolah Malik menawarkan pelajaran optimisme kepada pembaca.

Optimisme yang selalu disisipkan, disusupkan atau disematkan secara lembut di dalam gagasan tulisan Malik, yang secara kasuistis-tematis terentang begitu lebar dan panjang, memendarkan sinar-sinar keterpanggilan, kesetiaan, dan keberserahan eksistensial menjalani kehidupan yang telah terberikan. Simaklah, tulisan Malik mengabarkan Didik Meong, Pambudi, Lila Ratih Komala, Ang Hien Ho, Mbah Kadam, Totok Suprapto, Pakdhe Susilo, Sinwan, dan lain-lain yang bisa menjalani kehidupan dengan setia, nikmat, dan syukur sebab dibalur keterpanggilan, ketundukan, dan keberserahan eksistensial masing-masing. Resapilah, tulisan Malik mengisahkan wayang potehi, omah kayu, gedung flora, teater belgombeest, teater ideot, ludruk karya budaya, dan sejenisnya yang tetap tegar dan tegak di tengah gegap gempita zaman yang justru merayakan kedangkalan dan kekosongan makna: semua itu terjadi karena ketundukan dan keberserahan diri terhadap suratan eksistensial masing-masing. Oleh karena itu, gagasan tulisan-tulisan Malik di buku ini seakan merupakan karnaval kilatan-kilatan kesukacitaan di bawah kibar panji optimisme dalam menunaikan kehidupan eksistensial yang berbeda-beda.

Sehubungan dengan itu, sudah selayaknya kita menyambut riang gembira atas terbitnya buku Abdul Malik ini. Mengapa? Lewat kabar dan kisah yang ada di relung tiap tulisan, buku ini sudah menyelamatkan optimisme yang dijaga oleh individu, kelompok, dan komunitas kecil-kecil yang setiap bekerja di dalam keheningan masing-masing, tanpa ambisi dan obsesi untuk dimunculkan di dalam kegaduhan kosmetikal kehidupan masa kini. Sang penulis, Abdul Malik, telah membaktikan diri dengan berlari kesana-kemari mengejar tiap objek tulisan.

Selain itu, buku ini sudah menyelamatkan kisah-kisah humanistis-kultural tentang bagaimana individu dan kelompok kecil-lokal dengan suka cita menjalani kehidupan eksistensial masing-masing tanpa suara hujat dan serapah, yang kini kian banyak berhamburan di atmosfer kehidupan kita. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Abdul Malik sudah menyajikan dalam rupa buku ini kepada kita. Semoga buku ini menjadi santapan lezat bergizi bagi jiwa para pembaca. Selamat berkarya buat sang penulis, Abdul Malik, yang sudah mewujudkan keterpanggilan eksistensialnya untuk memburu gagasan tulisan dalam buku ini.•

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional. Dan Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang.

https://kebonagungadalahsurga.wordpress.com/2016/12/22/berlari-mengejar-gagasan-oleh-prof-dr-djoko-saryono-m-pd/

Leave a Reply

Bahasa »