Syarif Hidayat Santoso *
Radar Madura, 11 Sep 2017
KETIKA kaum muslim memasuki Persia, bahasa Pahlavi diinisiasi ke dalam bahasa Arab sehingga masuklah konsep-konsep Islam ke dalam bahasa Persia. Namun, dialektika terjadi antara Arab dan Persia meski keduanya beragama Islam. Contohnya pada konsepsi Ayatullah pada rezim Syiah modern. Ayatullah merupakan bahasa Arab, namun konsepsi ini telah terwarnai wawasan politik Persia sehingga bertabrakan dengan konsepsi politik Arab Sunni yang berfondasikan pada konsep Amirul Mukminin, Khalifah, Sulthon atau Malik.
Di Indonesia, bahasa Arab, Persia, dan Turki masuk seiring masuknya agama Islam. Bahasa yang paling dilekati ketiga bahasa di atas adalah bahasa Melayu yang merupakan lingua francanya kaum muslim. Tabrakan linguistik pun terjadi dengan bahasa-bahasa ibu di nusantara seperti bahasa Jawa dan Madura. Namun, terjadi integrasi meski dialektika terus berjalan. Bahasa Melayu yang telah dikonseptualisasi oleh ajaran Islam.
Konsep dalam bahasa Jawa dianggap memuat varian-varian konsepsi Hindu-Budha sehingga terjadi dialektika dengan Islam dan bahasa Arab. Contohnya, konsep Manunggaling Kawulo Gusti yang dianggap bercitarasa Hindu. Konsep ini dilawan dengan konsep masyarakat yang berasal dari bahasa Arab. Artinya, orang-orang yang berserikat atau bekerja sama.
Konsep masyarakat dijadikan basis berpikir bahwa raja haruslah pihak yang bekerja sama dengan Kawulo. Pada gilirannya konsep Kawulo digantikan dengan konsep rakyat yang juga memuat pemaknaan pemimpin dan tanggung jawab (ra’in dan ra’iyyatihi). Namun, diskursus tak berhenti di sini. Istilah seperti abdi dalem, abdi negara atau abdi masyarakat juga menuai kontroversi dalam kaitannya dengan Islam. Abdi berasal dari kata abd (hamba), maka apakah layak hubungan seorang insan dengan negara disebut abdi negara atau abdi dalem?
Muatan sejumlah konsep dalam bahasa Jawa memang Hinduistik. Namun, nilai-nilainya selaras dengan Islam. Ambil contoh konsepsi para dewa dalam Ramayana seperti yang diajarkan Sri Rama kepada Sri Wibisana. Para Batara sejak Indra, Bayu, Surya, Baruna, Brama, Kama, Kuwera sampai Candra dijabarkan fungsi moralnya. Sang Hyang Indra sebagai Dewa Hujan ditafsirkan sebagai perlambang keadilan karena hujan itu turun merata membasahi siapa saja, baik rakyat jelata maupun elite, orang baik maupun buruk, beriman ataupun tidak. Hyang Baruna yang dilambangkan sebagai luas dan dalamnya ilmu. Para dewa itu sebenarnya memiliki tata nilai yang sama dengan ajaran Islam, sehingga para wali justru mendayagunakannya dalam syiar dakwah.
Di Madura, konsep-konsep Hindu malah diterima tanpa kecuali seperti dalam konsep triguru. Triguru berisikan pengajaran penghormatan terhadap tiga sosok. Guru Rupaka (orang tua), guru Wisesa (pemerintah) dan guru Pangajyan (guru agama). Di Madura, tiga figur ini disebut buppa’, babbu’, guru, rato. Islamisasi dilakukan misalnya dengan menggandengkan istilah buppa’ babbu’ dengan Adam dan Hawa menjadi Buppa’ Adam dan Babbu’ Hawa. Konsep guru pun ditafsirkan kepada para kiai dan guru ngaji. Istilah ngaji sendiri meski berbau Hinduistik, namun telah termaknai secara kultural sebagai talaqqi kepada para ulama (ngaji ketab). Di Sumenep para raja disebut dengan beragam istilah sejak rato, sultan, panembahan atau malah hanya disebut namanya saja.
Gelar rato (raja) itu pun juga bernuansa Islam dan ada fakta sejarahnya. Muawiyah disebut raja bukan hanya oleh Raja Sriwijaya dalam diplomasi. Raja Sriwijaya pernah mengirim surat pada Muawiyah dengan menyebut Muawiyah sebagai raja Arab sebagaimana Raja Sriwijaya sendiri menyebut dirinya Malikul Amlak (raja diraja). Tapi, Muawiyah juga disebut raja oleh sahabat Safinah dan Saad Bin Abi Waqqash. Terkenal pula ucapan Muawiyah ”Qad Rodhina Bil Mulk (kami rela menerima kerajaan). Konsep rato dalam bahasa Madura ternyata terjustifikasi Islami.
Di Sumenep, hanya Panembahan Abdurrahman yang disebut sultan. Lainnya disebut namanya rato atau pangkatnya seperti Rato Jokotole, Panembahan Somala, Bindara Saod, Rato Bine’, Pangeran Langgar, Pangeran Sumenep, Rato Japan, dan lainnya. Penyematan Sultan pada diri Abdurrahman hanyalah sejenis perlawanan kultural masyarakat Madura terhadap sultan-sultan di Jawa. Yang tidak ada di Madura hanya gelar khalifah atau amirul mukminin.
Berbeda dengan kerajaan Islam lain di Nusantara, gelar khalifah jamak ditemukan seperti gelar Khalifatullah Ing Tanah Jawi pada raja-raja Mataram Islam, Khalifatul Mukminin di Malaka dan Khalifatullah di Pahang. Bahkan Pangeran Diponegoro memakai tiga gelar politik Islam sekaligus, yaitu sultan, amirul mukminin, khalifatullah menjadi Sultan Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Konsep-konsep ini jelas khas nusantara.
Dialektika antara bahasa ibu dengan bahasa lain merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Dialektika itu justru akan memperkaya khazanah bahasa ibu selama tidak mereduksinya ke dalam keburukan. Dialektika ini harus terjadi karena institusi di masyarakat sejak agama, budaya sampai politik membutuhkan konseptualisasi baru demi dinamisasi.
*) Penulis adalah alumnus FISIP Universitas Jember.
https://www.jawapos.com/radarmadura/read/2017/09/11/12879/dialektika-bahasa-ibu