Achdiar Redy Setiawan *
Radar Madura, 01 Okt 2017
Seorang perempuan menggenggam silet di tangannya. Di depannya duduk pria yang terikat kedua tangannya. Pelan-pelan, silet itu pun diarahkan pada wajah pria tidak berdaya itu. Sederet kalimat bernada menakut-nakuti pun terlontar. Salah satu yang paling terekam adalah ini: Darah itu merah, Jenderal. Dengan ekspresi penuh kebengisan, lelaki yang disapa ”jenderal’ itu lantas dihadiahi bogem dan siksaan lainnya. Berdarah-darah. Hingga sekarat, dan menjemput ajalnya.
MEMORI tentang salah satu adegan dalam film kolosal besutan Arifin C. Noer bertajuk (Penumpasan) Pengkhianatan G30S/PKI muncul kembali 2017 ini. Semua bermula ketika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menginstruksikan memutar film ini. Acara nonton bareng pun bermunculan di beberapa tempat. Semenjak Orde Baru di bawah rezim 32 tahun Presiden Soeharto tumbang 1998, pemutaran film ini absen menyapa rakyat Indonesia.
Film dokudrama berdurasi lebih 3,5 jam ini mengisahkan kegentingan hari-hari sekitar 30 September 1965. Semasa Orde Baru, sinema yang dirilis 1984 adalah menu wajib tonton sekitar 30 September. TVRI (satu-satunya televisi yang bersiaran kala itu) menayangkan ajeg setiap tahun.
Selain di televisi, dihelat pewajiban menonton film ini bagi pelajar di gedung bioskop terdekat di semua daerah. Tak pelak, pewajiban menonton ini menjadikan film beranggaran Rp 800 juta (termahal kala itu) disebut-sebut sebagai film terlaris Indonesia. Hingga kini. Sebuah fenomena wajar. Jika dihitung sejak pembuatan 1984 hingga distop saat Orde Baru tumbang 1998, film ini ditonton jutaan penonton selama 13 tahun.
Selain di televisi, saya yang menempuh pendidikan sekolah dasar di akhir 1980-an dan awal 1990-an juga mengalami fase wajib tonton via layar lebar. Dengan berjalan kaki, guru kami menggiring ke sebuah gedung bioskop lokal bernama Jaya. Kebetulan lokasi SD kami hanya sepelemparan batu dari lokasi bioskop di ujung timur Pulau Madura. Acara nonton bareng pun berlangsung khidmat. Seusai menonton, kami pun diberi tugas menuliskan resume tentang film yang baru kami tonton bersama.
Sebagai anak kecil, pada awal menonton, sebenarnya ada rasa kurang nyaman. Terlalu serius, banyak adegan mencekam dan menyeramkan. Bunyi tembakan, bentakan, dan teriakan histeris menghadirkan aura ketegangan. Darah yang mengucur, mata dicungkil, serta seretan manusia mewarnai sepanjang film. Banyak rekan-rekan sekelas saya, terutama kaum hawa, menutup mata dan berseru lirih ketakutan ketika tiba pada adegan yang menyentuh.
Selain adegan mengerikan di awal tulisan, masih jelas terngiang tatkala putri Jenderal AH. Nasution, Ade Irma Suryani dihantam berondongan peluru. Saat ayahnya berhasil kabur lewat pagar belakang rumah, dalam gendongan ibunya, Ade Irma meregang nyawa. Begitu menggiris.
Adegan utama memuncak ketika PKI menjebloskan para jenderal yang diculik (dan dibunuh) menuju lubang buaya. Satu per satu korban dilemparkan ke dalam sebuah lubang besar. Iringan musik film yang menyayat menambah suasana mencekam. Lengkaplah nuansa kengerian yang dihadirkan.
Keseluruhan cerita film itu lantas menjadi kebenaran yang diyakini anak-anak kecil semacam kami. Pemahaman kesejarahan seputar tragedi berdarah yang pada akhirnya melahirkan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober itu adalah tunggal. Ya versi film yang dibintangi antara lain oleh Umar Kayam (memerankan Soekarno), Amoroso Katamsi (sebagai Soeharto), dan Syu’bah Asa (sebagai DN Aidit, pimpinan tertinggi PKI) ini. Bahwa, PKI adalah dalang seputar G30S ini. Bahwa, apa yang dikreasi PKI ini tindakan inkonstitusional yang memakan korban beberapa petinggi militer yang dicap kontrarevolusi.
Selain tentang pengkhianatan PKI, hal lain yang menonjol adalah glorifikasi Mayjen Soeharto menjelma menjadi pahlawan besar yang mampu menstabilkan keamanan dan politik dalam negeri pasca G30S. Penumpasan pengkhianatan PKI ini pada sejarah berikutnya merupakan salah satu klaim terbesar Soeharto yang mengantarkannya menduduki tampuk orang pertama negeri ini selama 32 tahun.
Lalu, apa urgensinya film ini bagi generasi milenial? Generasi milenial ditandai dengan tingginya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital. Mereka yang lahir di sekitar dekade 1990-an dan awal 2000-an mengalami masa remaja dengan derasnya arus informasi yang dipasok jaringan internet yang semakin mutakhir.
Kecepatan, kesegeraan, ketergesaan, dan instan(isme) menjadi kosakata yang dilekatkan pada generasi ini. Ledakan dan lalu lintas informasi yang hadir menjadikan generasi ini (seakan-akan) tidak memiliki waktu untuk mencari ”kedalaman” informasi. Ditambah, gejala minimnya literasi (baca tulis) di kalangan mereka guna meneguk substansi dan kedalaman. Maka, anjuran Panglima TNI, yang diikuti pelbagai organisasi kemasyarakatan, untuk menonton ulang film Pengkhianatan G30S/PKI menemukan titik urgensinya.
Via film ini, generasi milenial ini bisa melongok sebentar sejarah kelam terbunuhnya beberapa pahlawan revolusi yang didalangi PKI. Mereka harus ngeh bahwa ada sesuatu yang besar terjadi yang mewarnai perjalanan republik ini. Tentu saja, berbekal informasi yang beragam. Cara menafsirkan isi film ini tidak sama seperti yang saya alami selama menempuh masa kecil dan remaja. Generasi milenial dapat mencerna dengan tingkat kekritisan yang memadai.
Pesannya jelas: pembunuhan atas dasar apa pun, apalagi bermotif politik kekuasaan adalah tindakan melawan fitrah kemanusiaan. Kontestasi perebutan kuasa atau dominasi ideologi tertentu tidak boleh melangkahi kodrat kemanusiaan. Tentang komunisme sendiri, generasi milenial yang awalnya disebut Generasi Y (dan kini melangkah lagi ke Generasi Z), silakan membaca lebih dalam. Akar ideologinya bertumpu pada pemikiran Karl Marx. Ia antitesis pada dominannya kapitalisme yang destruktif. Namun derivasinya kemudian tidak tunggal.
Marxisme melahirkan beberapa turunan implementasi sosialisme komunisme seperti Leninisme, Stalinisme, dan Maoisme. Masing-masing menafsirkan berbeda di tataran empiris. Apa pun itu, catatan pentingnya: ideologi komunisme itu telah ditinggalkan hampir seluruhnya di muka bumi ini. Tak relevan lagi untuk coba ditawarkan sebagai ideologi negeri ini. Apalagi founding father kita telah sepakat menggunakan nilai-nilai yang digali dari bumi Indonesia yang kemudian kita namakan Pancasila.
Dus, jika belum ada versi terbaru film seputar kudeta berdarah ini (dibuat berdasar riset serius), pemutaran kembali ”Pengkhianatan G30S/PKI” ini adalah ikhtiar penyadaran yang penting dilakukan secara masif. Tentu saja dengan cara pembacaan lebih kritis untuk beberapa pesan yang dirasa berlebihan.
*) Warga Jurusan Akuntansi FEB Universitas Trunojoyo Madura.
https://www.jawapos.com/radarmadura/read/2017/10/01/16746/memori-film-pengkhianatan-g30spki-dan-generasi-milenial