Judul: Kembali ke Akar Kembali ke Sumber
Penulis: Abdul Hadi W.M.
Tahun: Juni 2016
Penerbit: Diva Press
ISBN: 978-602-391-153-0
Halaman: 388
Diresensi: Rachmanto *
Koran Jakarta, 8/2/2017
Sastra hadir sebagai salah satu manifestasi peradaban manusia. Dalam sastra terkaji nilai-nilai positif yang merefleksikan kehidupan masyarakat. Ini bisa dimanfaatkan untuk membangun karakter bangsa yang lebih kuat dan bermartabat. Maka penting untuk selalu memperhatikan sastra bangsa. Sayang, urgensi mengaji sastra Nusantara masih belum disadari. Jangankan masyarakat biasa, sastrawan pun masih banyak yang enggan mempelajari.
Kegelisahan inilah yang akhirnya mendorong Abdul Hadi mengeluarkan buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Penulis sebagai pakar kebudayaan dan filsafat, secara khusus menelaah kesusastraan Islam Nusantara yang telah hadir sekitar abad 15 dan 16.
Ini ditandai kerajaan seperti Samudra Pasai, Malaka, Demak, dan Ternate. Kesusastraan merupakan dasar utama kebudayaan Islam Nusantara. Bentuknya kitab, adab, karya sejarah, hikayat, puisi sufi, dan syair didaktik (halaman 5-6). Beragam bentuk kesusastraan ini masih banyak yang belum digali kandungannya, termasuk yang ditumpuk di museum-museum luar negeri.
Buku ini tidak sekadar mendeskripsikan sastra Islam nusantara. Banyak juga analisis sastra yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan baru. Misalnya pada salah satu tulisan berjudul “Laron pada Mati, Kata Chairil Anwar,” mau menunjukkan, Chairil Anwar sebenarnya dipengaruhi sastra Islam. Chairil Anwar pernah membuat sajak “Lagu Siul II” menggunakan tamsil laron (rama-rama) yang mati terbakar dalam nyala api lilin.
Tamsil ini mau melukiskan kehangusan diri penyair dalam cinta (eros), meskipun tidak sampai. Ternyata Annemarie Schinimel, dalam The Mystical Dimension of Islam (1981), menjelaskan tamsil “laron yang membakar diri dalam nyala lilin” sejatinya untuk melukiskan pengalaman fana atau persatuan mistik.
Tokoh pertama yang menggunakan tamsil antara lain Al-Hallaj, ahli makrifat yang telah fana layaknya laron mendekati api dan terbakar. Saat hangus itulah ahli makrifat memperoleh hidupan kekal (halaman 241-242).
Karena pemikiran Al-Hallaj sudah dikenal banyak kalangan, tamsil ini kemudian menyebar dan digunakan penyair sufi Persia. Pada abad 18, puisi-puisi Persia diterjemahkan dalam bahasa Eropa. Tamsil laron pun semakin banyak dibaca. Johann Wolfgang von Goethe, penyair Jerman, juga terinspirasi menggunakan perumpamaan laron. Chairil Anwar dikenal banyak melahap karya penyair Belanda dan Jerman. Tampaknya Chairil Anwar mengambil tamsil laron dari Eropa (halaman 243). Jadi sastra Eropa menjembatani al-Hallaj dan Chairil Anwar.
Pada bagian lain, buku membahas sastra suluk yang menjadi genre penting kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura. Suluk bermakna jalan kerohanian. Istilah ini hadir karena sastra suluk mengandung ajaran tasawuf. Tokohnya antara lain sunan Bonang. Yang menjadikan wayang sebagai titik singgung Islam dan Jawa.
Bonang pernah menjelaskan hubungan filsafat wayang dan tasawuf lewat kisah Baratayudha. Kurawa bertempur melawan Pandawa. Dalam penataan wayang (jejer), Kurawa diletakkan di sebelah kiri yang menggambarkan pengingkaran. Sedang kanan, tempat Pandawa, berupa penegasan.
Pada diri manusia, perang antara pengingkaran dan penegasan berlangsung setiap saat untuk mencari kebenaran, pencerahan, dan persatuan (halaman 205-231). Tampak sekali kekuatan makna dalam pertunjukan wayang yang sekilas sangat sederhana. Tetapi jika dikaji secara mendalam bisa memberi pelajaran berharga dalam kehidupan. Buku ini menginspirasi pembaca untuk mempelajari lebih dalam sastra Nusantara.
*) Rachmanto, Alumnus Sekolah Pascasarjana UGM
http://www.koran-jakarta.com/menelusuri-jejak-jejak-sumber-sastra-nusantara/