Indonesia Paceklik Kritik Sastra

Gunoto Saparie *
Koranmuria.com 25 Okt 2016

Perkembangan sastra Indonesia hari-hari ini sangat pesat. Orang sulit menghitung jumlah karya sastra yang terbit saat ini. Para penulis sastra bermunculan dari berbagai daerah bahkan bisa dikatakan setiap daerah mempunyai puluhan penulis sastra atau pun ratusan. Di koran dan majalah para sastrawan muda bermunculan. Komunitas-komunitas sastra bertebaran. Akan tetapi, perkembangan yang menggembirakan itu berjalan tanpa kritik sastra. Sastra Indonesia hari-hari ini boleh dibilang krisis atau paceklik kritikus.

Padahal, kritik sastra sangat penting peranan bagi upaya peningkatan kualitas karya sastra sastrawan. Kritik sastra pun bisa menjadi sarana sosialisasi dan apresiasi sastra. Chairil Anwar mungkin tidak pernah kita dengar namanya kalau H.B. Jassin tidak membuat pengakuan terhadap puisi-puisinya. Pengakuan Jassin yang membuat nama Chairil melangit dan puisi-puisinya sangat populer di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada seorang kritikus yang bisa membahas dan mengkritisi karya sastra yang berlimpah ruah tersebut, agar sastra tidak hanya menjadi perbincangan para sastrawan saja dan hanya selesai di ruang itu pula.

Bahwa keluhan sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik sering kita dengar. Meskipun sesungguhnya kita tidak bisa menutup mata bahwa. masih ada satu-dua kritik sastra yang ditulis, baik oleh kalangan akademisi sastra maupun oleh penulis sastra yang merangkap sebagai “kritikus”. Dalam pertemuan-pertemuan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) memang muncul sejumlah kritik atau ulasan sastra, namun agaknya kurang memadai kalau ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas.

Padahal, kita membutuhkan ada keseimbangan antara produksi karya sastra dan produksi kritik sastra. Kita membutuhkan lebih banyak lagi kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang makin bertebaran akhir-akhir ini. Sejenis kritik sastra yang bukan melulu sebagai juru kampanye bagi si sastrawan, tetapi sebagai lawan tanding baginya dan karyanya.

Tiga Kemungkinan

Di kalangan akademisi sastra, sangat mungkin isu krisis kritik sastra dipandang sebagai sekadar gunjingan tak berdasar. Maman S. Mahayana, misalnya, mengatakan bahwa mereka yang beranggapan bahwa kritik sastra (Indonesia) mengalami krisis, jawabannya ada tiga kemungkinan (1) dia tidak memahami hakikat dan kategori kritik sastra, (2) dia tidak membaca sejarah, dan (3) tidak memahami kritik sastra sekaligus tidak tahu sejarah dan sekadar cari sensasi yang sebenarnya sudah sangat basi. Isu tentang kritik sastra mengalami krisis, itu isu yang sangat basi, usang, dan kedaluwarsa. Lihatlah sejak awal tahun 1930-an, berapa banyak esai sastra, resensi buku sastra, biografi sastrawan, ulasan atas karya sastra. Itu semua adalah bagian dari kritik sastra.

Ada yang membagi kritik sastra menjadi dua: akademis dan nonakademis. Ada kritik sastra akademis dan ada kritik sastra non-akademis. Keduanya sampai hari ini memang terus diproduksi, tetapi juga terus dipandang bermasalah. Kritik sastra akademis konon sulit diakses kalangan di luar kampus, pembahasannya formal, kering, kaku, mengintelektualkan sastra, mengabaikan spirit kreatif sastra, memperbudak sastra demi teori, dan sebagainya. Akan tetapi, kritik sastra nonakademis dinilai cenderung dangkal, picik, bias, memanjakan kata-hati, menyesatkan, dan sebagainya.

Zen Hae mengatakan bahwa telah menjadi rahasia umum, suburnya penciptaan dan apresiasi sastra mutakhir ini belum dapat diimbangi dengan telaah sastra yang memadai, apalagi untuk dapat berkembang menjadi tradisi pemikiran pelbagai wacana sastra. Telaah sastra masih menjadi barang langka. Jika pun tumbuh, ia hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya. Di saat yang sama kita juga tidak memiliki majalah atau jurnal yang benar-benar menyediakan dirinya untuk telaah sastra. Adapun lembar sastra di koran-koran hanya bisa menyediakan ruang yang sangat terbatas untuk keluasan dan kedalaman yang dibutuhkan sebuah telaah. Meminjam jargon Thomas Robert Malthus, telaah sastra tumbuh menurut “deret hitung”, karya sastra berkembang menurut “deret ukur”.

Ronan McDonald mengatakan bahwa kritikus telah mati. Era kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya pada masa puncak modernisme pada abad 20, kritikus seni (termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkhis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan, sosok panutan yang pendapat atau penafsirannya diyakini berbobot istimewa. Pada era posmodern pada abad 21 sekarang, aspek hierarkhis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni. Kritikus bukan lagi ia yang berkuasa menentukan ukuran mutu atau nilai seni dan mengarahkan perhatian dan apresiasi khalayak ramai terhadap suatu kreasi artistik.

Kritik sastra sendiri, menurut T.S. Eliot, seharusnya bukanlah ‘kerja amatiran’, di mana para kritikus harus mendisiplinkan prasangkanya. Kritik sastra harus selalu menyatakan suatu akhir dalam pandangan, yang dengan kata lain bisa dikatakan, bahwa kritik kelihatan seperti uraian, penjelasan suatu karya seni dan pembetulan suatu selera. Kebanyakan kritikus terjebak dalam suasana yang tidak mendukung: baik itu dalam usaha saling akur, saling hasut, menjatuhkan, menekan, menyombongkan, saling menenangkan, berpura-pura bahwa mereka orang yang santun dan yang lainnya sangat diragukan reputasinya.

Sedangkan Katrin Bandel berpendapat bahwa kritik sastra diharapkan membongkar asumsi-asumsi yang melatarbelakangi sebuah karya, serta memperlihatkan apa yang tersembunyi atau hanya disampaikan secara tersirat. Dengan demikian, kritik sastra dapat menjadi alat bantu yang sangat penting bagi pembaca kritis yang tidak ingin terbuai oleh tipuan ideologi penguasa.

Memang, landasan utama kritik sastra adalah kejujuran dan sikap mengesampingkan terlebih dahulu siapa seorang penulis ketika membaca sebuah karya. Simpulan-simpulan dan argumentasi-argumentasi tulisan kritik sastra akan disemangati oleh kehendak dan upaya untuk membaca karya itu sendiri, bukan untuk memunculkan atau pun menyerang “figur” atau pun “nama diri” seorang penulis atau pun pengarang. Kritik sastra yang baik adalah kritik sastra yang imbang –dalam arti membicarakan atau pun mengulas kelebihan, sumbangan, keunikan sebuah karya yang dibahas dan dibicarakan, sekaligus tidak menutup-nutupi aspek-aspek kelemahan, kekurangan, warisan, dan jejak-jejak karya-karya lain yang ditulis sebelumnya dalam sebuah karya yang tengah dibicarakan dan dibahas oleh sebuah tulisan atau ulasan kritik sastra. Akhirnya, kita agaknya memang perlu memasang iklan lowongan kerja: Dicari kritikus sastra sebanyak-banyaknya!

*) Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)
http://www.koranmuria.com/2016/10/25/47524/indonesia-paceklik-kritik-sastra.html

Leave a Reply

Bahasa »