Aryo Wisanggeni
Kompas, 18 Des 2011
Ujung turunan jalan tanah di dusun itu adalah tanah lapang yang terkepung rumpun bambu tepian Sungai Bedog, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta. Di sudut baratnya berdiri rumah batu bata tak berplester. Itulah rumah cerpenis Joni Ariadinata
Rumah yang berdiri di tepian sungai itu seperti cerita pendek karya Joni Ariadinata: basah oleh kisah. Sebutan Joni untuk tanahnya, lemah kiwo, juga sebuah kisah. Rumah itu senapas dengan derit bambu dan guguran daun di Dusun Karangnongko.
”Di Yogyakarta, tanah di pinggir sungai bukanlah tanah yang diidamkan. Tanah di pinggir sungai, disebut lemah kiwo, tanah kiri, disebut-sebut sebagai tempat buang jin…,” kata Joni.
Namun, sejak Joni masih di rumah kontrakan, ia justru selalu mengontrak di pinggir sungai. ”Karena saya senang suara air, kesejukan, dan harga kontrak rumah yang murah,” Joni terkekeh.
Ia bercerita di lantai mezanin rumahnya, ditemani derit bambu, gemercik riak air Sungai Bedog, dan jerit entok. Alkisah, pada 1998, ketika ia tengah mengobrol di sebuah angkringan sego kucing di Yogyakarta, Joni bertemu seorang bapak yang ingin membelikan anaknya motor.
”Si bapak mengeluh karena hanya punya tanah di pinggir sungai, lemah kiwo yang tak laku dijual. Lemah kiwo si bapak memang tumpak belukar yang berserakan di tepi sungai. Saya membeli tanah 150 meter persegi, saya bayar tunai, dan si bapak bisa membelikan anaknya motor,” Joni berkisah.
Meski sudah membeli tanah, Joni masih tinggal di rumah kontrakan. Sejak menikahi Indah Laksanawati (34) pada 1996, Joni tujuh kali mengontrak rumah. Rumah lemah kiwo baru terbangun tahun 2004 gara-gara harga kontrak rumah Joni di Dusun Tundan, Kasihan, Bantul, naik tinggi. Daripada membayar kontrakan itu, Joni memilih membangun rumah di lemah kiwo.
Joni lalu merancang sendiri rumah dengan tiga kamar tidur, dapur yang besar dan terbuka, dan sebuah ruang kerja dengan dua jendela besar menghadap sungai. Ruang kerja itu persis di bawah naungan dahan pohon munggur di belakang rumah. Di bawah teduh pohon munggur itu ada juga teras.
Gus Mus dan Ahmad Tohari
Tabungan Joni keburu tandas saat seluruh fondasi rumah selesai dibuat dan belum satu kamar pun berdiri. Padahal, akhir masa kontrak rumahnya semakin dekat.
”Ini kisah tidak rasionalnya, ha-ha-ha…,” Joni tertawa. ”Saat bingung, saya menelepon KH Mustofa Bisri di Rembang. Saya bertanya apakah rumah saya bisa selesai, Gus Mus menjawab bisa.”
”Bagaimana caranya, Gus?” tanya Joni menceritakan pembicaraannya di telepon saat itu.
”Kamu, kan, tanya bisa atau tidak, saya jawab bisa,” kata Joni menirukan ucapan Gus Mus, terbahak-bahak bercerita.
Tak puas dengan jawaban Gus Mus, Joni menelepon Ahmad Tohari, sastrawan Banyumas yang kondang dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk itu. Ahmad Tohari menyempatkan datang dan berdoa di lemah kiwo Joni. ”Beliau berdoa khusyuk, saya disuruh mengamini saja. Beliau yakinkan saya, rumah saya pasti jadi. ’Caranya bagaimana, Kiai?’ ’Tidak tahu, tetapi rumahmu akan jadi.’ Saya pasrah,” kata Joni.
Lalu, datanglah rezeki. Selama pembangunan rumah itu, Joni tak henti-hentinya diundang ke sejumlah kota, menjadi pemateri, membacakan cerita pendeknya, dan menjadi juri di mana-mana.
”Kalau ditakar akal, tidak ketemu rumusnya. Dalam tiga bulan, saya mengumpulkan uang tanpa menghitung, semuanya tersedot untuk membangun rumah. Saya kaget saat tahu rumah itu menghabiskan biaya Rp 80 juta. Saya seperti mendapat persekot rezeki. Saat pindahan rumah, saya telentang di lantai rumah sendiri, memandangi anyaman bambu yang menjadi langit-langit rumah, jendela rumah yang mengantarkan hawa dan suara sungai, tak percaya kemujuran saya.”
Atap rumah seluas 140 meter persegi itu pun berkisah. Tukang atap, juga seorang arsitek, menyerah saat Joni meminta mereka merancang atap. Rumah Joni disebut salah desain dan harus dibongkar. Namun, atap urung dibongkar berkat jasa seorang tukang yang berpengalaman.
Buntut ”persekot” rezeki Joni menjadi kisah berikutnya. Begitu urusan bangun rumah selesai, tak ada lagi undangan bagi Joni. ”Selama dua tahun saya hanya hidup dari gaji menjadi redaktur majalah sastra Horison senilai Rp 1 juta per bulan. Padahal, seminggu dalam sebulan saya harus ke Jakarta, menyelesaikan tenggat kerja Horison. Kalau saya merasio rezeki, pasti stres,” ujar Joni tertawa-tawa.
Rezeki peraih penghargaan Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1994 itu kembali membaik sejak 2006. Ia berjodoh dengan lemah kiwo Sungai Bedog. Satu demi satu pemilik lemah kiwo mendatangi Joni, memintanya membeli tanah mereka. Kini, lemah kiwo Joni sudah seluas 1.800 meter persegi.
Banyak kawan
Kendati dua putranya, Hira Muhammad (14) dan Iman Malik (13), kian besar, Joni belum menambah luas rumahnya. Ruang keluarganya masih saja terasa lapang, tanpa kursi dan meja. Satu-satunya meja-kursi adalah meja-kursi ”komputer publik” yang boleh dipakai tamu. Semua tamu selalu klemprakan, duduk di lantai beralas lampit. Dua rak buku besar berisi ratusan judul buku, bisa dibaca siapa saja.
”Rumah kami rumah banyak orang. Banyak kawan yang bertamu tak sungkan memasak di dapur, mengambil makanan tanpa permisi, bahkan menawari saya makan. Itulah rumah idaman saya. Dan, istri saya memahami betapa banyak kawan saya,” ujar Joni.
Joni membangun sebuah gubuk kayu di barat rumah, yang kini ditempati kawannya sesama penulis. Alih-alih memperbesar rumah sendiri, Joni justru membuat tiga kolam ikan di belakang rumahnya. Di pekarangan belakang rumahnya, Joni memiliki 15 pohon buah yang kerap dipetik para tetangganya.
”Saya tidak pernah menjual ikan di kolam atau buah. Orang datang dan pergi memancing di kolam, memetik berbagai buah. Bagi saya, itu menyenangkan. Kolam ikan selalu saya kuras menjelang Lebaran dan ikannya saya bagikan kepada semua tetangga. Waktu sore menjelang akhir bulan puasa, bau ikan dibakar tercium dari mana-mana. Bau itu sungguh membahagiakan saya.”
***
https://radiobuku.com/2011/12/joni-ariadinata-membangun-rumah-dari-honor/