Aditya Ardi N *
adityaan.wordpress.com
“Seniman lebih primitif dan sekaligus
lebih beradab daripada orang-orang sezamannya” (TS.Eliot).
Selama ini kita telah mengenal sosok utama dalam peta perpuisian indonesia, melalui Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji, Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi, hingga Afrizal Malna. Sejarah mencatat mereka sebagai penyair garda depan indonesia. Kemudian disusul nama-nama seperti Wiji Thukul yang getol menyuarakan perlawanan kaum buruh dalam puisinya. Atau Sapardi Djoko Damono yang mendayu-dayu, tapi getol menyuarakan penalaran filosofi yang dalam, melalui puisi. Ada juga Afrizal Malna, penyair kontemporer, yang memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar, yang tak selalu memiliki hubungan linear dalam puisinya. Ketika seorang penyair memilih metode atau jalur perpuisiannya, pastilah ada semacam logika yang dirasa paling mewakili ragam perwujudan puitik (manner of poetic representation).
Meminjam bahasanya Carl Jung bahwa dalam alam bawah sadar manusia ada “kesadaran kolektif”, yakni daerah masa lalu manusia. Memori yang menyelimuti pengarang, sekurang-kurangnya ada empat faktor psikologis, yaitu (1) pikiran, (2) perasaan, (3) intuisi, dan (4) sensasi. Dari empat faktor psikologis tersebut, satu dengan yang lain saling melingkupi. Dunia pengarang tidak bisa mengandalkan satu tipe saja. dalam konteks ini, Karya yang hanya mengandalkan pikiran, kurang begitu menyentuh jika tanpa kehadiran perasaan, begitu seterusnya.
Demikian halnya dengan penyair, seorang penyair tak akan lepas dari fantasi kejiwaan, bahkan amat mungkin fantasi dalam diri penyair semakin berlebihan. Penyair akan tetap mempertahankan hubungan dengan masa kanak-kanaknya dan dengan masa muda, sementara ia melangkah ke depan. Karya dalam konteks ini, merupakan “rekaman ulang” masa lalu tidaklah keliru. Rekaman ulang itu merupakan potret jiwa. Pemutaran ulang kejiwaan, tentu tidak sekadar berasal dari dirinya, tetapi juga lingkungannya. Kekayaan dalam diri penyair akan ditempa oleh kondisi lain.
Mudah
Sastrawan, menurut Endraswara (2008) dapat dibagi ke dalam dua tipe psikologis, yaitu (a) sastrawan yang “kesurupan” (possesed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan meramal masa depan, dan (b) sastrawan “pengrajin” (maker), yang penuh keterampilan, terlatih, dan bekerja dengan serius serta penuh tanggung jawab dalam berkarya. Selama ini karya puisi kerap kali dicap sebagai jalur paling ramai yang ditempuh para penulis pemula, sebelum merambah ke area yang lebih luas cakupannya: prosa. Meski pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Puisi dibaca dan dipelajari sejak SD hingga Perguruan Tinggi, meski dalam taraf berbeda, toh namanya tetap puisi. Setiap karya puisi seseorang pada dasarnya memang berangkat dari Katarsis, pengungkapan (intuisi) isi hati. Adapun ungkapan isi hatinya masuk kategori sastra atau bukan ,tinggal bagaimana pembaca mengapresiasinya. Karya puisi pada awal-awal menulis, sering dikategorikan oleh beberapa kritikus sebagai “puisi curhat” yang hanya mengeksploitasi kondisi kejiwaan yang sungguh subyektif, bukan sebagai karya sastra. Misalnya seseorang yang sedang kasmaran atau sedang patah hati, akan lebih mudah menuliskan kondisi kejiwaan yang dialami tersebut menjadi puisi, tanpa riset ataupun kontemplasi dalam proses kepenulisannya.
Sebenarnya setiap orang diberikan kebebasan untuk berekspresi atau mengekspresikan dirinya ke dalam sebuah puisi, takkan ada yang melarang, sebab menulis adalah sebuah kebebasan.Seperti tren yang muncul di berbagai laman internet baik blog, facebook maupun tweeter. Sah sah saja sebenarnya jika setiap orang menulis puisi jika hanya untuk dokumentasi sendiri tidak untuk dipublish ke ruang publik apalagi dalam bentuk buku, jelas memiliki konsekuensi untuk diaudit oleh para pakar sastra, menjadi sebuah beban yang harus dipertanggung jawabkan si penulis.
Jika kita dalami lagi, memang ada tahap-tahap proses berkarya seseorang. Berkarya, menulis itu sangatlah mudah, membuat puisi juga adalah hal yang mudah, siapa saja akan bisa menuangkannya, tetapi, membuat tulisannya menjadi matang, itu yang tidak bisa dilakukan setiap orang, memerlukan waktu dan proses yang panjang.
Susah
Bisa jadi menulis puisi itu susah dilakukan, jika kita tersandera dalam teori-teori yang tidak menapak bumi, dengan berbagai assesment dari kritikus sastra, taruh misal kriteria normatif yang sering disebut lima lapis makna Roman Ingarden, dalil J.Elema, penilaian absolutisme- perspektivisme, strukturalisme hingga poststrukturalis, belum lagi persoalan keketatan konvensi puitika, simbolisme, semiotika ala Bartez, De Saussure, hingga dekonstruksi teks-nya Derrida, dsb. Tentu kita akan pusing, hal ini bisa jadi momok yang membayangi kita untuk tidak menulis (puisi), sebab kita akan minder, takut salah, dan melanggar seabrek konvensi yang ada. Tanpa bermaksud mengesampingkan teori yang telah ada, langkah pertama yang musti kita lakukan adalah cuci otak dan bebaskan diri untuk berekspresi, caranya buang teori-teori yang ndaki-ndakik tentang puisi, dan mulailah menulis kata demi kata, baris demi baris, hingga jadi karya. Jika hasilnya “jelek”, lupakan. Mulailah membaca berbagai referensi, dari buku dan apa saja yang dapat kita baca, belajar dari apa dan siapa saja, dari hal remeh-temeh sekalipun. Renung-resapi sekeliling kita, lihat apa yang tidak orang lihat, selalu ikuti arus informasi (up to date), kontemplasi, fokus, dan mulai menulis lagi. Bia hasilnya masih kurang baik, jangan berhenti, terus belajar dan menempa diri, berproses, dengan keberanian dan kemauan , dan mulai menulis, menulis, dan menulis. Sisanya tinggal meng-upgrade teknis-teknis puitik dan menguasai logika berpuisi.
Dus, menulis puisi ternyata tidak mudah, tetapi juga tidaklah susah, kata kuncinya adalah keberanian memanifestasikannya. Yang inti jelas tidak ada hal sulit ketika kita mau belajar; dan berpuisi semestinya mencerap inti realitas dngan caranya yang paling khas – karena penyair mampu memanfaatkan komunikasi batin untuk menangkap mentalitas zaman. Jiwa zaman dapat diramu menggunakan daya imajinasi kritis penyair.- Selain itu, untuk memperkaya sudut pandang terhadap kenyataan yang tersembunyi, pelik, remang, atau gelap. Sebab urusan kepenyairan sesungguhnya berhadapan dengan realitas, bukan semata khayalan yang ditoreh menjadi kata-kata indah, becek, dan lembek. Sebaliknya harus titis mengendus sampai ketiak nasib manusia. Dan yang tidak kalah penting berpuisi mustinya menyenangkan dan berguna (dulce et utile), menyenangkan berarti memberikan hiburan, dan berguna berarti menambah wawasan, mencerdaskan, serta banyak memberi pengetahuan, hingga pencerahan kepada pembaca.
________________________________
*) Aditya Ardi N, Penyair, lahir di Jombang, 7 Januari 1987. Bergiat di LISWAS Ngoro Jombang. Puisinya tersebar di beberapa Penerbitan bersama: Sebelum Surga Terbakar (2008), Antologi Penyair 5 Kota (2010) Puisi Sumpah Pemuda (2014) Negeri Abal-Abal (2015) dsb. Buku antologi puisi tunggalnya Mobilisasi Warung Kopi (2011). Memenangkan Indonesian Green Literary Award, (Jakarta, 2015). Beberapa karya puisi dan esai dimuat di media lokal maupun nasional, beberapa jurnal kebudayaan, dan media online. Kini tinggal dan berkarya di Dusun Gresikan RT 02/RW 02, Desa Ngoro, Kec Ngoro, Kab Jombang 61473 Jawa Timur. E-mail: adittrendkill@yahoo.co.id https://adityaan.wordpress.com/2016/04/08/esai-sastra-aditya-ardi-n/