PAUS SASTRA INDONESIA

Imawati Rofiqoh *
100tahunhbjassin.wordpress.com

Sang paus berwajah bulat, memiliki tahi lalat di pipi dan berkacamata. Ia tak sedang berenang di laut atau berada di hadapan umat. Ia ada di sampul buku, menemui pembaca dengan kata-kata dan peristiwa. Buku itu digarap oleh Pamusuk Eneste berjudul H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia, diterbitkan oleh Djambatan (1987). Gambar sang paus memakai baju batik, nyaris memenuhi sampul. Kulitnya nampak keriput dan pipi bergelambir, namun tak tampak lesu. Tangannya mengepal bersama sorot mata yang tajam. Pembaca bisa saja segera menduga ia tokoh penting di Indonesia. Sampul memang sering sengaja menggoda, mengajak berkeputusan membaca atau berlalu saja.

Perlahan kita mengerti, terkadang godaan dibutuhkan untuk sekadar bersentuhan dengan buku. Menemukan tulisan-tulisan, merekam peristiwa dan membaca catatan hidup penulis. Inilah yang dilakukan Eneste, ia merasa biografi Jassin penting dihadirkan pada pembaca. Buku itu dimaksudkan bagi orang-orang yang belum pernah atau jarang membaca tulisan Jassin, menilik bagaimana pandangan orang terhadapnya, gagasan dan makna ketekunannya pada sastra Indonesia.

H.B Jassin Paus Sastra Indonesia ini cukup mampu menemani pembaca yang bergairah pada sastra atau sekadar ingin sedikit mengenal Jassin. Selain kumpulan tulisan tentang biografi keluarga, kerja, kritik-kritik sastranya, tanggapan orang atasnya, Jassin sebagai penerjemah, Eneste juga menyertakan serentetan daftar Bibliografi dan karya-karya Jassin, karangan aslinya, buku-buku yang ia editori, buku-buku hasil terjemahannya, serta kata pengantar untuk sejumlah buku.

Jassin memang tekun pada kerja-kerja sastra, penerjemahan dan dokumentasi. Pada masa itu, nyaris karya-karya pujangga selalu melewati pembacaannya sebelum tercetak. Terkadang, para penulis juga merasa belum yakin akan karyanya jika belum mendapat kritikan dari Jassin. Bisa saja hal itu terjadi karena Jassin banyak menjadi redaktur di majalah dan surat kabar. Seperti tahun 1942 Jassin mulai menjadi redaktur majalah Panji Pustaka yang nantinya menjadi Panca Raya (1945). Selain itu ia juga redaktur majalan Zenith (1951-54), Bahasa dan Budaya (1952-63), Seni (1955), Sastra (1961), Horison, dan Bahasa dan Sastra (hlm 19-20). Nyatanya, posisi redaktur tak sepenuhnya menjadi dalih kekuatan Jassin sebagai kritikus yang seolah tak mampu digoyahkan.

Bagi Jassin “Kritik ialah penerangan dan penghakiman. Untuk memberi penerangan, seorang kritikus memasuki jiwa hasil ciptaan. Ia harus menunjukkan kekuatan dan keindahan hakiki, menunjukkan apa yang kekal dan fana, nilai-nilai yang akan tetap menarik hati atau akan dilupakan orang pula, nilainya sebagai seni, tempatnya dalam kemajuan kesusastraan, artinya bagi masyarakat, perbandingan dengan hasil-hasil seniman sendiri atau hasil-hasil orang lain (hlm 29).” Berbagai hal itu mesti dihubungkan dalam pencarian keindahan, semangat, dan seninya. Juga masalah-masalah yang menjadi rekaman peristiwa sejarah, tentunya akan menjadi pelajaran berharga. Dalam proses penerangan semacam ini, penghakiman-penghakiman terhadap karya juga membersamai. Sehingga kritikus harus terlepas dari penulisnya.

Eneste juga merekam berbagai tanggapan orang terhadap Jassin, baik kritikan maupun pujian. Seperti pujian Jakob Sumardjo yang begitu menjunjung Jassin, “Kewibawaannya, terpancar dari kejernihan bahasanya, luasnya pengetahuan sastranya, keterpelajarannya dan keterbukaannya yang ikhlas. (…) Sikapnya yang netral dan percaya pada kebenaran dengan nilai-nilai yang universal abadi, menunjukkan kepribadiannya yang menaik (hlm 36).” Pujian-pujian itulah yang turut menyertai Jassin mendapat julukan “Paus Sastra Indonesia”.

*) Imawati Rofiqoh, Esais asal Palembang
https://100tahunhbjassin.wordpress.com/2017/06/05/paus-sastra-indonesia/

Leave a Reply

Bahasa »