Damiri Mahmud Tak Pernah Kehabisan Kata

Nevatuhella
Analisadaily 2 Agu 2014

Di usia 69 tahun, Damiri Mahmud masih cukup aktif menulis. Minggu, 4 Mei 2014 yang lalu, catatan budayanya muncul di Harian Analisa Medan. Sore harinya pada hari yang sama, dia memberi ceramah sastra di stasiun RRI Medan bersama sastrawan Medan, Sulaiman Sambas (sastrawan asal kota Tanjungbalai, Asahan, teman kecil Martin Alaida), Mihar Harahap (mantan dekan FKIP-UISU Medan), dan penyair Wirja Taufan.

Setahun lalu, tepatnya 5 Mei 2013, dia dengan bersemangat mengisi Dialog Sastra Tanjungbalai yang diprakarsai oleh Himpunan Sastrawan Kembang Karang Tanjungbalai. Bulan lalu, seminggu sebelum bulan Ramadhan, dia menjadi penilai mata kuliah Sastra Perbandingan, Kritik Sastra dan Gelar Sastra di sebuah Universitas swasta, di Medan.

Hampir setiap minggu dia menulis esai sastra, catatan budaya, kritik sastra dan artikel agama. Artikel agama yang ditulisnya sangat menarik.

Sebagai sastrawan dia menilik fenomena agama dari sisi budaya. Artikel agama dulu-dulu sering dimuat di Koran Republika.

Berbekal dasar pengetahuan Islam yang cukup-cukup memadai, yang dia peroleh dari ayahnya, H. Mahmud Isa, seorang Kiyai di Hamparan Perak. Dia tidak pernah melenceng dari ajaran-ajaran Islam.

Baik dalam karyanya ,dan kehidupan sehari-hari. Pengakuannya pada beberapa kesempatan berbincang-bincang, dikatakan dia selalu terhindar dari hal-hal yang negatif.

Pernah suatu kali, di masa dia masih lajang, dengan seorang temannya mereka ingin menikmati kehidupan malam di sebuah tempat hiburan di Belawan.

Apa yang terjadi? Ternyata semua bangku pengunjung penuh, sehingga mereka tak jadi mampir di tempat hiburan yang menjual minuman keras dan menyediakan perempuan-perempuan penghibur.

Terhadap perempuan, Damiri memang selalu bersimpati dan menarik perhatiannya.

Waktu kecil, dia suka mencolek gadis-gadis Tionghoa yang sama kecilnya dengan dirinya di Medan.

Keluarga Damiri Mahmud memang lama tinggal disekitar jalan Puri, Medan. Tempat bermainnya, selain sekitar Mesjid Raya, juga di sekitar Kesawan yang banyak tinggal orang Tionghoa.

Kalaupun Damiri jatuh hati pada seorang perempuan, dia pun menggoda dengan pantun, sajak dan surat-surat cinta yang dia sampaikan dengan kehalusan kata.

Damiri mengakui memang tak punya sajak-sajak cinta, karena malu dan merasa tak pantas disebarluaskan. Cerita pahitnya jatuh cinta pernah dituturkannya, karena ia diludahi oleh seorang perempuan, yang menyebabkan ia demam selama dua hari dua malam.

Damai di Bumi, kumpulan sajak-sajaknya yang terbit tiga tahun lalu, merupakan sajak-sajak yang bernuansa religius.

Bahkan bertendens kedalaman hakikat manusia yang naif, serba kurang, jauh dari sempurna.

Dia tak pernah menghadirkan ketidakseriusan dalam karya-karyanya. Bernas, ibarat cermin, yang semua orang bisa berkaca melihat wajah aslinya di depan cermin.

Membaca cerpen-cerpen dan sajak-sajak Damiri Mahmud, bisa bermakna membaca sebagian sejarah masyarakat suku Melayu.

Baik pada masa penjajahan Belanda di Sumatera Utara, sampai masa kini. Awal-awal menulis cerpen, thema-thema yang diangkatnya adalah kehidupan keluarganya.

Cerpennya, mewakili keberadaan masyarakat Melayu di bawah kekuasaan Belanda, Masa Datuk-datuk dan Sultan-sultan setempat.

Beberapa cerpen yang saya sebutkan, Jaman Pakuasi, Kupon Getah, Lelang, Tok, Buku, sarat berisikan resam-resam dalam keluarga dan kehidupan masyarakat Melayu.

Peran nenek, peran ibu, wibawa ayah, pelaksana amanah, ketaatan pada agama, catatan yang monumental dikerjakan Damiri.

Begitu juga dengan sajak yang digoreskannya. Tiga buah kumpulan sajak tunggalnya telah dibukukan di Malaysia.

Puluhan bahkan ratusan pula sajak-sajaknya termuat bersama beberapa pengarang lainnya. Salah seorang penggagas berdirinya Kelompok Sastrawan Antar Negara Dialog Utara, ini tampaknya setara dengan sastrawan sumut lainnya seperti Herman Ks, B. Y. Tand, Aldian Arifin, penulis cerpen dan novel Bokor Hutasuhut, dalam menghasilkan karya tulisan yang bermutu.

Ada saja artikel atau esai budaya yang menarik dan baru yang ditulisnya. Damiri umpama air jatuh dari tebing yang tak habis-habisnya mencurah ke tanah.

Saat ini masyarakat Sumatera Utara, sedang menunggu kehadiran Puisi-Esai-nya yang berjudul, Akulah Melayu Itu, Kau Halau Itu.

Puisi-Esai ini merupakan salah satu pemenang Puisi-Esai Terbaik yang telah di bukukan. (pada 24 Juni 2014 lalu. Damiri menerima penghargaan atas karyanya tersebut dan diluncurkan di Jakarta).

Apa yang Diperjuangkan Damiri?

Sejak kecil, Damiri, anak keempat dari puluhan bersaudara ini (dari tiga ibu) punya kesukaan membeli pulpen.

Dia berani berkorban tidak membeli jajan, demi membeli sebuah pulpen yang menarik hatinya.

Sampai sekarang pun tetap selalu ada dua buah pulpen yang tersangkut di saku bajunya.

Pulpen lambang atau sekaligus alat untuk menulis, yang disukainya perlambang suatu hari rupanya Damiri memang dipilih menjadi seorang penulis. Damiri mengakui untunglah dirinya masih diberi Tuhan keterampilan menulis, kalau seandainya tidak, susah membayangkan apa jadinya saya yang berkarakter introvet ini.

“Saya bersyukur Puisi-Esai “Akulah Melayu Itu, Kau Halau Itu” telah dibukukan”, aku Damiri, yang saat ini memang selalu risau karena karya-karyanya cukup banyak belum dibukukan. Kumpulan cerpennya memang telah mulai di edit sastrawan muda Raudal T. Banua di Yogyakarta untuk diterbitkan. Kini, buku Rumah Tersembunyi Chairil Anwar, sedang mencari-cari penerbit.

Mudah-mudahan ada kalangan dermawan Sumut yang mau perduli dengan sastrawan kenamaan kita asal Sumut, Chairil Anwar ini.

Apa yang diperjuangkan Damiri sampai kini adalah memperjuangkan Melayu yang terpinggirkan.

Di tanah peninggalan ayahnya dipinggiran sungai Belawan, disitulah Damiri kini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menanam pepaya dan pisang.

“Dulu tanah peninggalan ayah ambe ini hektaran!” akunya.

Sebagaimana terpinggirnya Melayu secara Nasional, begitu juga nasib Damiri dan keluarganya.

Mengajar Cucu Bersajak

Bulan puasa lalu, Damiri serius mengajari cucunya membaca sajak untuk mengikuti sayembara. Cucu tertuanya baru saja duduk di bangku SMP.

Damiri memang tak mengharapkan cucunya, bahkan anak sendiri mengikuti jejaknya menjadi penyair.

Heran akunya, karena anak sulungnya, Fahmi punya kepintaran dalam matematika dan bergelar Insinyur Teknik Elektro.

”Heran saya anak saya Fahmi, pintar matematika”.

Pernah suatu kali Damiri satu angkutan kota dengan guru Matematika Fahmi, waktu itu yang masih SMP.

Guru mengatakan kalau-kalau Fahmi paling jago Matematika di kelasnya. Damiri hampir tak mempercayainya.

Kini anak sulungnya ini masih setia membawa kemana Damiri pergi berceramah dan menghadiri diskusi. Orang tua, yang tak pernah kehabisan kata untuk menulis ini, begitu selalu diharapkan kehadirannya dalam diskusi-diskusi sastra.

Dia selalu istiqomah dalam bersastra, tidak menyimpang dari sastra yang Islami.

Puasa Senin-Kamis sudah hampir sepuluh tahun dilaksanakannya, termasuk menghindari makanan makruh dan yang tak jelas asal-usulnya. Damiri memang tak pernah kehabisan kata dalam menulis!
*

Damiri Mahmud dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 1945. Karya-karyanya: Tiga Muda (1980), Aku Senantiasa Mencari (1982), Sajak-sajak Kamar (1983), Kuala (1975), Puisi (1977), Rantau (1984). Puisi-puisinya dimuat pula di Horison, Basis, Republika, dan lain-lain.

***

Leave a Reply

Bahasa »