Sajak-sajak Taubat Chairul Anwar dan Damiri Mahmud

Nedvatuhella *
Analisadaily, 27/7/2014

PADA 26 Juli merupakan ha­ri lahir penyair Chairul Anwar. Chairul lahir tahun 1922, di Medan dan meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949 dalam usia sangat muda, 27 tahun. Chairul me­rupakan tokoh pelopor sastra­wan Angkatan ‘45.

Sajak-sajak Chairul banyak yang dihafal oleh siswa-siswa di tahun ‘70-80-an. Sajak-sajak yang terkenal antara lain: Kara­wang Bekasi, Senja di Pelabuhan Kecil, Diponegoro, Aku, dan Doa (Sajak-sajak cintanya banyak di­hafal dan dipuji oleh kalangan sas­trawan sebagai sajak yang me­nyentuh perasaan terdalam pa­ra sastrawan).

Chairul diperkirakan menulis sekitar 96 karya tulis, termasuk 70 buah sajak. Sajak-sajak Chairul merupakan sajak-sajak yang tak memiliki cacat kata. Chairul tak akan pernah habis dibicarakan. Bersama karyanya dia disebut se­bagai sesuatu yang majemuk. Demikian kesimpulan para ahli sastra dan bahasa. Tak salah kalau Majalah Tempo menempatkan Chairul sama besar dengan Soe­karno dan Syahrir.

Sajak yang terakhir disebut di atas, “Doa”, lengkapnya: kepada pemeluk teguh// Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut na­maMu// Biar susah sungguh/ mengingat/ Kau penuh seluruh// ca­yaMu panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi// Tuhanku// aku hilang bentuk/ remuk// Tu­hanku// aku mengembara di ne­geri asing// Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa ber­paling.

Sajak ini ditulis sebagai rang­kaian tanya atau keadaan beserta jawabannya. Coba kita simak, ka­limat-kalimat yang menyatakan keadaan, “Dalam termangu; Biar su­sah; Aku mengembara di negeri asing; Dipintumu aku mengetuk”

Kesemuanya mengungkap ke­adaan diri yang hina sebagai hamba, dan kemudian diteruskan de­ngan kalimat kebutuhan akan ampunan dan kasih sayang Allah, sehingga berpaling pun tak bisa (pantas) lagi.

Penyair berkarakter peradang, pemberontak dan lantang ini, serta sangat-sangat lembut dan roman­tis pada perempuan, memang di­kenal sebagai sosok yang ingin be­bas dan ingin selalu menang. Lihatlah ketegasan individualnya dalam “Doa”. Kata ganti diri aku menun­jukkan sikap individual yang dalam sekali. Bahkan dalam sajak lain, Chairul memilih lang­sung kata “Aku”, sebagai judul sa­jak­nya. Ekspressi khas tegas, ma­rah, dan patah arangnya anak Medan. Jauh dengan idiom ‘Awak’ yang selalu menggambar­kan kelembutan dan kehalusan ma­syarakat Medan.

Chairul merupakan anak tung­gal pasangan Saleha dan Toeloes yang bercerai saat Chairul berusia sekitar 12 tahun. Sebagai anak tunggal, Chairul kecil sangat di­manja ayahnya dengan cara ber­lebihan. Sayangnya Chairul tak bisa menerima kenyataan pahit perceraian kedua orang tuanya.

Pada usia remaja, Chairul me­ngalami rasa tak nyaman dekat de­ngan ayahnya, yang tak pernah menganggap Chairul sudah tidak bo­cah lagi. Ibunya telah hijrah ke Jakarta. Chairul meninggalkan ayah­nya menyusul ibunya. Chairul menggambarkan hubungannya de­ngan ayahnya sebagai dua kle­wang yang selalu bergeseran.

Tempat tinggal Chairul di Me­dan, menurut beberapa orang yang mencoba menelusurinya ada di se­kitar Jalan Amaliun dan Jalan Lak­sana, Kota Maksum. Pada ta­hun-tahun 60-an, (Alm) Aldian Arifin menceritakan, pada waktu itu, para sastrawan setiap kali mengadakan acara, selalu menje­put ibu Chairul, Saleha yang ting­gal di sekitar jalan tersebut.

Selanjutnya, mari kita simak dua sajak Damiri Mahmud yang ber-thema-kan pengampunan atau pertaubatan. Damiri Mahmud merupakan Kritikus Sastra asal Su­matera Utara yang kini masih tetap selalu menulis dan diundang dalam berbagai diskusi sastra di Medan. Setiap tahunnya selalu di­undang menghadiri event-event sastra Nasional dan Internasional. Sajak pertama, “Doa Rayap”, yang merupakan sajak primadona mahasiswa-mahasiswi dalam mata kuliah Praktek Musikalisai Puisi, Kritik Sastra dan Sastra Per­bandingan di universitas-universitas Sumatera Utara. “Doa Rayap” merupakan sajak peng­ampunan kolosal. Menegur kita yang sudah jauh melenceng dari tujuan penciptaan kita sebagai ma­nusia.

Allah beri maaflah/ doa-doa ka­mi/ minta dunia /jadi rumah sendiri// berilah maaf bagi formu­la/ dan teori/ sang maharesi/ me­raup dunia/ dengan kedok demo­krasi/ mengulum antariksa/ ber­sama rayap dan sains teknologi// turun­kanlah amnesty/ bagi kami/ begitu sehat dan hidup darah/ dan dagingnya/ tetapi mati/ hati// Amin

Kemudian sajak pengampun­an pribadi, “Ujung Jarummu”, yang sungguh-sungguh bercerita tentang keadaan penyair yang ja­uh dari sang Pencipta. Ada kepe­dihan dalam hal ini ketika merasa­kan kejauhan tersebut. Mari kita simak sajak ini.

Ujung jarummu/ menusuk li­ang sunyiku/ darahnya mengalir kemana-mana/ menjadi tinta/ da­lam buku :mu/ terbaca/ bisu// Se­karang bukakan/ pintu aku masuk/ biar kujenguk/ mu/ meski dari pin­tu yang paling lapuk/ sudah la­ma sekali /hibuk/ menunggu.

Sajak diunggah dengan pilihan kata (diksi) yang khas. Liang sunyi dan ujung jarum. Melambangkan keadaan pedih,yang biasanya sa­ngat-sangat mengganggu orang-orang yang mengalami depresi akut. Gangguan kejiwaan yang berasal dari ketidaksiapan atau ke­ti­dakmampuan menyesuaikan diri (adaptasi). Baik oleh satu idea­lisme yang diyakini, atau terhalang oleh system yang berlaku.

Damiri, atau siapapun akan per­nah merasa sangat sangat jauh dari rahmat dan penjagaan Allah. Kata hibuk dalam akhir sajak, ada­lah galau dan susahnya pera­san dan fikiran. Centang prenang­nya hati, karena tak dekat dengan sang pencipta. Jauh dari rahmat Allah.

Kemudian, penyair mohon di­bukakan pintu untuk masuk kem­bali ke lindungan Allah swt, seka­lipun, lewat pintu yang paling la­puk.

Damiri Mahmud lahir tahun 1945 di Hamparan Perak, Deli Ser­dang. Beliau selalu merasa ter­lambat berkarya. Apa yang di­tu­lis Korrie Layun Rampan ten­tang kepenyairannya dalam pe­ngantar pada Kumpulan Puisinya Damai di Bumi, adalah: “Damiri Mah­mud, sebagai penyair, me­nam­pakkan kemajuan yang sa­ngat pesat, sejak berkecimpung se­cara produktif di lapangan puisi.

Beberapa puisi awal penyair ini agak kurang menarik. Terlalu inflasi dengan kata, meskipun li­riknya ringkas dan kecil. Sajak-sajak yang lebih, kemudian me­nampakkan penemuan dan peng­ucapannya personal dalam pilihan struktural sajak naratif yang liris. Dalam pemikiran yang filosofis, bahkan dalam pilihan temanya yang religius-sufistik. Kekuatan Damiri jika dibandingkan bebe­rapa penyair lainnya dapat dilihat dalam beberapa segi.”

Monumen Sejarah

Chairul Anwar sampai kini be­lum tertandingi sebagai penyair In­donesia. Masa lalu manusia In­donesia dan bangsa Indonesia ter­ukir dalam sajak-sajaknya sebagai monumen sejarah yang tak akan lapuk di panas dan dihujan. Kata-kata sebagaimana energy tak akan pernah hilang.

Demikian juga di Sumatera Utara hendaknya. Monumen kata kata yang telah ditulis banyak sas­trawan dapat dijadikan dan ditem­patkan pada porsinya. Suatu kali, beberapa orang sastrawan Sumut melewati jalan raya Indrapura, Ka­bupaten Batubara. Mereka me­li­hat rumah tempat tinggal (Alm) B. Y. Tand, penyair asal Sumut yang karya-karyanya su­dah melintas batas Nusantara, dipasang papan pengumuman akan dijual.

Di hadapan para sastrawan, Wa­kil Bupati Batubara mengata­kan akan membeli rumah tersebut dan akan menjadikannya Muse­um Sastra. Wallahuallam apakah sudah dibeli oleh Pak Wakil Bu­pati. Sudah dua tahun berlalu janji itu (Dialog Sastra Batubara, 20­12).

Menyandingkan Chairul dengan Damiri Mahmud

Cukilan yang terlalu sedikit ten­tunya dari keberadaan sejarah atau monumen Chairul yang saya tulis disini. Menyandingkannya dengan Damiri apakah sesuatu yang melenceng dari kepantasan umum? Tiga sajak yang disan­dingkan, sepertinya melahirkan vi­si baru dalam kritik dan apresia­si, serta sastra perbandingan dari ke­dua sastrawan ini. Bukankah memang sastra perbandingan se­lalu yang dicari adalah kesama­an-kesamaan. Bahkan disini, Da­miri lebih menguras energinya me­masukkan analogi fisik ke sa­jaknya. Kalau Chairul menulis “di pintumu aku mengetuk” Damiri menulis, ”dari pintu yang paling lapuk sekalipun!”

“Akulah Melayu Itu, Kau Halau Itu”, merupakan satu Puisi-Esai Damiri Mahmud yang baru saja dibukukan sebagai salah satu Puisi-Esai Terbaik dalam Lomba puisi Esai 2013.

*) Penulis pengarang, tinggal di Tanjungbalai.

Leave a Reply

Bahasa »