Opera Sekar Jagad

Kurnia Effendi *
Kompas, 29 Apr 2018

TANGANNYA yang basah dan licin oleh sabun ikut tertegun. Ia mengenali kain dalam remasannya: batik tulis sekar jagad yang dia bikin hampir empat tahun lalu. Serta-merta ia membebaskan kain katun dengan warna sogan itu dari impitan pakaian yang lain, kemudian menciumnya. Bagai digerakkan kenangan masa silam, ia lekas mencari ujung kain dan menemukan torehan namanya di sana: Purwati.

Masih tersisa jejak gondorukem tipis dalam hirupannya di antara bau lembap pakaian kotor. Kantung plastik besar bertuliskan nama toko itu menghimpun aneka busana, termasuk kaus perempuan dan kerudung. Punya siapa? Ia tak pernah sengaja menghafalkan baju-baju milik pelanggan yang dia cuci dan setrika. Namun, dengan sendirinya ia ingat beberapa pakaian yang berulang kali datang selama beberapa bulan ia bekerja di usaha laundry kiloan itu.

Mungkin pelanggan baru, pikirnya. Disingkap-singkap timbunan pakaian lainnya, tidak ada yang dikenalnya selain kain batik itu. Melihat dari ragam ukuran dan jenisnya, plastik gembung itu milik sebuah keluarga, bukan dari seorang lelaki perantau yang pergi lebih dua tahun lalu. Pasti alamatnya tak jauh dari tempatnya bekerja. Hanya alasan unik yang membuat seseorang menyerahkan pakaian kotor pada depot laundry jauh dari rumahnya.

“Mbak Pur!” Sebuah panggilan mengembalikan kesadarannya dari lamunan.

“Saya, Bu!” sahut Pur, wanita desa menjelang empat puluhan yang memiliki raut wajah melampaui umurnya. Ia bergegas turun dari loteng.

“Ini ada cucian lagi, 6 kilo. Dihitung dulu,” kata perempuan sebayanya yang menjadi pemilik usaha laundry. “Satu lagi 4 kilo minta disetrika saja.”

“Ya, Bu,” jawab Purwati lembut. Sejak awal bekerja, ia memang bukan perempuan trengginas. Cenderung lamban, tetapi pekerjaannya rapi. Tidak mudah diubah sekalipun berulang kali disindir, bukan untuk mengoloknya.

“Jangan lupa, ada yang akan diambil sore ini. Baju seragam tetangga sebelah, mau dipakai besok.” Majikannya mengingatkan.

Pur mengangguk. Didorong rasa ingin tahu yang mendesak, ia tidak menunda pertanyaan kepada majikannya.

“Bu Endah, itu yang ada kain batiknya punya pelanggan baru, ya?”

“Di plastik merah itu?” tanya Endah. Pur membenarkan. “Iya. Bu Harun dari Malaka Asri. Padahal, di dekat situ banyak laundry kiloan. Kenapa?”

“Ndak apa-apa,” sahut Pur. “Baru lihat saja.”

“Periksa dulu, ya, takut ada yang luntur. Dipisah saja kain batiknya.”

Opera Sekar JagadMereka biasa menanyakan kepada pelanggan, apakah ada baju yang mudah luntur, atau memiliki aksesori yang rawan rusak. Risiko mengganti kerusakan baju orang sungguh tak sepadan dengan jasa laundry Rp 7.000 per kilogram.

“Nanti saya cuci pakai lerak,” kata Purwati. Lalu ia naik kembali ke loteng mengangkut dua plastik besar pakaian kotor.

Seperti memperlakukan kain-kain batiknya di rumah, atau ketika disuruh mencuci koleksi juragannya dulu di Laweyan, Purwati merendamnya di ember dengan air yang telah dicampur lerak. Tak pernah ia memasukkan ke mesin cuci, memeras, apalagi menyetrikanya. Bahkan saat menjemur, ditempatkan di bawah lindungan atap. Hanya angin saja yang mengeringkannya.

Ini… ini kain batiknya! Yang dibawa suaminya saat pamit ke Jakarta di malam Kamis Pon delapan belas bulan yang lalu. Purwati sangat mengingatnya karena berusaha menghitung jumlah waktu kepergiannya.

“Iki tak gawa ya, Dik Pur,” ujar suaminya. Ia memeluk kain sekar jagad dan mengatakan hendak membawanya.

“Kanggo apa? Ben kelingan aku terus?” Pertanyaan Purwati saat itu seperti merasa tersanjung. Untuk apa? Supaya selalu ingat aku?

“Lha kuwi kowe ngerti,” Sujiyo, suaminya, tersenyum. Nah, itu kamu tahu, katanya. “Yen aku kentekan duwit, ya tak dol.” Tentu Purwati kaget dengan pernyataan Jiyo. Kalau kehabisan uang, kain itu akan dijual! Batik tulis memang cukup berharga, tapi….

“Jangan, Mas! Bahkan kain itu tidak kuserahkan kepada Bu Arimbi. Aku eman banget.” Purwati memandang suaminya, mewanti-wanti. Dia merasa sangat sayang pada sekar jagad itu.

Itulah peristiwa yang selalu dikenangnya. Sujiyo pergi nunut Kang Sakir, sopir truk yang seminggu sekali-dua ke Jakarta membawa barang-barang dari Solo. Apa saja. Bahan makanan, kain-kain batik kodian, kadang-kadang mebel ukiran. Di malam yang gerah itu Sujiyo meninggalkan istri dan anak perempuan satu-satunya yang berusia 3 tahun.

Mula-mula Kang Sakir kerap mampir ke rumah, mengabarkan hal-hal menenteramkan. Memang belum mendapatkan pekerjaan yang lebih baik ketimbang menggarap sawah yang bukan miliknya di dusun pinggiran Surakarta, tetapi ada saja pemilik rumah gedongan yang meminta jasanya untuk membetulkan ini-itu. Di Jakarta, entah di bilangan mana, Sujiyo menjadi anak buah mandor bangunan dari Jepara.

“Sing penting slamet, sehat, Kang.” Begitu Purwati berdoa. “Kalau uangnya belum cukup untuk dikirim ke kampung, ndak apa-apa. Aku masih bisa mbatik dan Bu Arimbi suka sama hasil kerjaku.” Harapan Purwati sederhana. Yang penting suaminya selamat dan sehat.

Sebelumnya Purwati keberatan ketika suaminya bilang mau merantau demi memperoleh rezeki yang lebih besar. Kata orang, di Jakarta apa saja bisa jadi uang. Asal kita mau bekerja keras dan kata orang pintar: harus kreatif. Ya, tetapi pendidikanmu apa, Mas? Purwati tak bisa membayangkan jika suaminya justru akan telantar oleh keputusannya sendiri.

Kemiskinan memang tak bisa ditolak. “Tapi, Gusti Allah seneng karo wong sing ikhtiar, Dik Pur.” Perlahan dari hari ke hari Sujiyo berusaha meyakinkan belahan hatinya. Bahwa Tuhan menyukai insan yang giat berusaha.

Pada bulan keenam Purwati kehilangan kabar suaminya. Handphone murahan yang dibawa ke Jakarta konon rusak karena jatuh ke air kloset. Kata Sakir, Sujiyo sudah tidak bergabung dengan para tukang di kawasan Grogol. Sakir juga tak selalu punya waktu lama di Jakarta, seolah-olah tenggat mengejarnya, terutama kalau truknya membawa bahan makanan yang tidak tahan lama. Pergi ke Jakarta dan kembali ke Solo harus ada muatan agar tidak rugi.

“Ndak ada yang kamu sembunyikan to, Kang Sakir?” Purwati mulai curiga pada tetangganya itu. Sakir berani bersumpah.

“Tukang biasa berpindah-pindah, tergantung borongannya di mana. Apalagi sekarang di semua kawasan Ibu Kota sedang sibuk membangun,” kata Sakir. Tentu dia selalu update dengan kondisi Jakarta.

Kesedihan Purwati bertambah saat Kecik, putri Bu Arimbi mengatakan: “Sudah lama Mas Jiyo ndak kirim SMS buat kamu, Mbak Pur. Ini nomornya juga ndak aktif lagi.”

Meskipun kadang-kadang Purwati menyelesaikan pewarnaan batik di Omah Sekar Jagad milik Bu Arimbi, bersama para pembatik lain, hatinya tak cukup terhibur. Setelah tiba setahun, ia menganggap suaminya sudah keterlaluan. Bukankah banyak cara memberi kabar? Mula-mula Purwati khawatir kalau Sujiyo sakit atau digaruk petugas, sebab KTP elektroniknya belum beres. Seharusnya wajib lapor dan memperbarui surat keterangan pengganti KTP setiap 6 bulan.

Atau… seperti yang pernah dia dengar dari pengalaman istri lain, suaminya ikut rombongan TKI ilegal ke negeri jiran dan tak tahu lagi nasibnya. Pertanyaan Sawi, anak semata wayangnya, selalu membuat sepasang matanya basah.

“Bapak sedang cari uang buat sekolahmu, Nduk.” Itu saja yang bisa disampaikan bagi Sawi yang menginjak 4 tahun. “Kamu bantu Ibu saja. Sini diajari mbatik.”

Sebelum akhimya nekat mencari dibantu Sakir.
***

PAGI itu Purwati tiba lebih awal di rumah Bu Endah. Ia khawatir, kain batik sekar jagad yang sudah dikemas dalam plastik beserta setumpuk baju lain itu terburu diambil pemiliknya. Ia ingin tahu, siapa yang mengambil. Ia ingin memergoki suaminya di tempat kerjanya. Jika itu terjadi, ia tak akan marah-marah. Berjanji sejak dari rumah kontrakannya di seberang rel kereta api Stasiun Klender, ia akan memaafkan semua kesalahan suaminya betapa pun besarnya. Ia sudah letih melacak dengan semua kabar samar hampir setiap pekan. Pertemuan itu akan mengakhiri pencariannya, lalu membujuknya pulang ke Laweyan. Memulai hidup dari awal.

“Bu, yang punya kain sekar jagad itu sudah datang?”

“Belum. Kamu kenal?” tanya Endah heran.

“Saya kenal batiknya. Itu bikinan saya…”

“Oh, yang dulu dibawa suamimu itu? Kamu pernah cerita. Jadi…”

“Saya minta izin mau mencari alamat itu.”

“Diantar Bang Ali saja, supaya kamu nggak kesasar.”

Tiga hari kemudian baru si pemilik pakaian mengambil hasil setrikaan Purwati. Dia bukan suaminya, melainkan seorang pemuda bersepeda motor.

“Mbak Pur!” Endah memanggilnya. Pur tergopoh turun dari balkon tempat menjemur pakaian. “Cepat cari Bang Ali di pangkalan ojek. Nanti ikut sama Mas ini ke Malaka Asri.”

Purwati tak sabar terbirit ke ujung gang meminta tukang ojek langganan Endah untuk membantunya mendatangi sebuah alamat.

“Ada apa sih, Bu?” tanya pemuda yang diutus mengambil hasil laundry.

“Ini Mbak Pur ingin ketemu sama yang punya rumah. Ada yang namanya Sujiyo?”

Pemuda itu menggeleng. “Itu rumah Bu Harun. Saya baru kerja di situ seminggu, pondokan saya dekat sini.”

Purwati membonceng Bang Ali dan mengikuti sepeda motor si pemuda. Setiba di sebuah rumah yang tampak teduh, Purwati ditemui seorang ibu bergamis yang lembut.

“Ada keperluan apa?” Ibu gemuk itu mempersilakan Purwati duduk di bangku teras.

“Saya Purwati. Begini, Bu Haji… sebelumnya saya minta maaf. Saya sangat mengenal kain batik yang Ibu cuci di tempat saya. Itu… itu batik buatan saya. Maaf, Bu.”

“Oh… lalu?”

“Saya ingin tahu… aduh, maaf.” Purwati ragu-ragu. Namun, melihat ibu itu tidak menunjukkan perubahan air muka, ia melanjutkan. “Dari mana Bu Haji mendapatkan kain itu?”

Purwati sudah siap jika ibu pemilik rumah itu tersinggung dan mendampratnya sebagai tak tahu diri. Ia hanya perempuan desa yang mencari jejak suaminya.

“Seminggu yang lalu, sehabis pengajian di rumah sebelah masjid itu, ada laki-laki datang menawarkan kain batik. Mendengar ceritanya sekilas, saya kasihan. Ibu-ibu yang lain tidak berminat, tetapi saya ingin menolongnya. Motif batiknya bagus, saya suka. Katanya dia ingin mudik, tetapi kehabisan ongkos. Ya, biasa, di kompleks ini banyak orang mengaku-ngaku seperti itu. Saya, sih, tidak banyak bertanya, hanya memastikan bahwa itu bukan barang curian. Saya ingin membantu saja. Apakah laki-laki itu….”

“Itu pasti suami saya,” kata Purwati memotong.

“Lo, ya, belum tentu. Seperti apa ciri-ciri suamimu?” tanya Bu Haji balik.

Purwati menggambarkan tentang perawakannya, wajahnya, rambutnya….

“Ya, kurang lebih seperti itu. Tetapi, terlihat sehat.” Ibu itu memperhatikan wajah Purwati. Apakah “suami-istri” ini sedang menipunya? Purwati pun berpikir ke arah itu. Sungguh bukan itu maksud kedatangannya. “Apakah kain itu mau kamu ambil lagi?”

“Tidak, Bu Haji. Saya hanya ingin ketemu suami. Saya mencarinya hampir dua tahun. Dia bilang apa selain pulang kampung?”

Bu Haji menggeleng perlahan. “Hanya itu yang kudengar.”

“Terima kasih, Bu. Saya pamit.”
***

DI Terminal Pulogadung, Purwati menuntun anaknya naik bus jurusan Solo. Hari menjelang ashar, terik surya masih menyengat. Hujan yang sesekali turun hanya meredakan debu.

“Sawi, besok kamu akan ketemu Bapak,” kata Purwati sambil mengelus rambut anaknya.

Gadis kecil itu tersenyum. Matanya memancarkan harapan. Perjalanan selama hampir 12 jam mereka tempuh dengan banyak impian. Menjelang subuh, Purwati dan Sawi sudah berada dalam becak yang pengayuhnya masih dilimbur kantuk.

“Bu, ada apa di rumah Simbah?” tanya Sawi.

Purwati kaget melihat rumah orangtuanya ramai dikunjungi orang. Terlihat bendera kuning di tiang listrik ujung gang. Dengan berdebar ia membantu Sawi turun dari becak.

“Ya, ampun, Gusti Pangeran! Apakah Mas Jiyo pulang untuk selamanya?” Ia sudah tak sanggup menahan air matanya. Dalam kabur pandangan, ia setengah berlari menyeret Sawi membelah kerumunan.

“Purwati datang!” Seseorang berseru.

“Siapa yang ngabari kamu?” tanya kerabatnya.

“Mas Jiyo kenapa?” tanya Pur tak sabar. Kepalanya sudah berkunang-kunang, karena sepanjang jalan tak makan. Sebelum masuk rumah, dia pingsan.

“Yang meninggal itu ibumu, Pur.” Seseorang berbisik di telinganya ketika siuman. Ia dibaringkan di sebuah dipan. Laki-laki sepuh kurus duduk di sampingnya. “Bapak ndak tahu ke mana mengabarimu, waktu ibumu sakit.”

Mata Purwati menatap langit-langit. Di tengah suara orang mengaji dan ucapan duka tetangga, hatinya begitu sunyi. Ia seperti sedang berjalan jauh melawan kabut yang mengepung. Ia membiarkan lelehan air dari ujung matanya melintasi sisi pipi dan singgah di telinga.

“Apakah Mas Jiyo pulang?” tanya Pur perlahan.

“Ndak, Pur. Apakah kamu tak berhasil mencarinya?”
***

PEMAKAMAN kembali lengang setelah prosesi penguburan Mbah Sri, ibu Purwati, selesai. Tersisa satu dua pelayat, di antaranya Sakir yang berdiri menunduk. Purwati dibantu bangkit oleh ayahnya yang kian renta. Sawi memanggilnya mengajak pulang.

Tiba di pintu pagar kuburan, Purwati berhenti. Ia menoleh ke belakang dan menghadang Sakir yang terkejut.

“Sampeyan weruh Mas Jiyo nang endi to?” ujarnya perlahan, tetapi menusuk. Ia menanyakan pada teman suaminya itu: Kamu tahu di mana Mas Jiyo berada, kan?

Sakir terdiam. Ia gugup, bibirnya bergetar.

“Aku justru akan marah besar kalau kamu tidak mengatakannya.” Purwati yang bekerja cenderung lamban, tetapi teliti itu menatap tajam mata Sakir. Kemudian melanjutkan langkah mengikuti Sawi yang digandeng kakeknya.

___________________
*) Kurnia Effendi menerbitkan sekitar 20 buku (cerpen, puisi, esai, novel, memoar). Tahun 2017 mengikuti program residensi penulis di Belanda untuk mempersiapkan novel tentang Raden Saleh.
_
Tatang B.Sp, lahir di Tegal pada Maret 1965, kini menetap sebagai pelukis di Bali. Pernah memperoleh penghargaan The Top Ten Winners in the Phillip Morris Indonesia Art Awards V dan Finalist The Windsor and Newton Competition Indonesia.

[1] Disalin dari karya Kurnia Effendi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Minggu 29 April 2018
https://klipingsastra.com/id/koran-kompas/2018/04/opera-sekar-jagad.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *