KEKUASAAN ITU


Cat minyak di atas kanvas, Lukisannya Ndix Endik
Taufiq Wr. Hidayat *

Pada ujung menara kekuasaan itu, sejatinya tak lagi ada apa-apa selain sunyi. Ia sendiri. Dan tepat ketika itu, sesungguhnya ia tengah berada di sebuah tempat yang sangat berbahaya.

Kedangkala kekuasaan membentuk pribadi yang mudah tersulut. Lantaran ia tak ingin ada satu pun yang menyetarai apalagi mengungguli. Atau merecoki. Ia tak segan membanting piring di hadapan orang yang harus ia segani. Karena telah berada di puncak sunyi itu, ia merasa sendiri. Tak ada yang perlu disegani selain dirinya sendiri. Ketika ia tak merundukkan diri pada yang selain dirinya, tak membuka pandangan pada yang jauh di bawahnya, dan tak membuka telinga secara bersungguh-sungguh pada suara-suara yang bukan suaranya sendiri, ia telah menciptakan sebuah jurang curam untuk kejatuhannya sendiri, kejatuhan yang akan terjadi secara cepat atau perlahan-lahan. Ia memutuskan tanpa siapa-siapa. Dan tak perlu baginya mengambil pendapat orang lain. Ia pun—dengan segala kekuatan kekuasaannya itu, telah memukul atau menjatuhkan dirinya sendiri akibat keniscayaannya yang daif. Ia tak berkenan melayani. Selalu harus dilayani.

Tetapi siapa sanggup mengatasi kekuasaan? Dan siapa sesungguhnya berkuasa? Bahwa setiap puncak pencapaian, tak lain hanya sunyi itu. Segala pencapaian yang kemudian membawa orang pada kekuasaan, semestinya menyadari kedaifan. Barangkali mirip kisah keris Empu Gandring yang konon dikutuk membunuh penguasa hingga tujuh keturunan. Lantaran keris itu menjadi simbol pengkhianatan seorang prajurit guna meraih kekuasaan tertinggi. Kekuasaan dan kelamin. Arok harus membunuh rajanya, dan akan berkuasa setelah menjilat klitoris Dedes. Dan kekuasaan itu pun menciptakan mitos.

Dalam “Basic Instinct” (1992), kekuasaan seolah memang memerlukan muslihat. Dan di dasar itu, naluri manusia menuntunnya. Dalam hidupnya, manusia menyimpan dua bentuk naluri. Ia memiliki naluri untuk makan guna melanjutkan kehidupannya. Naluri seksual guna melestarikan keturunannya. Dalam psikoanalisa, seks ialah penggerak utama perilaku. Catherine yang diperankan Sharone Stone yang berkaki liar itu, hanya menyalurkan naluri seksualnya, dan itu berhasil mengelabuhi. Sehingga ia sejatinya berkuasa atas dirinya untuk bebas atau meloloskan diri. Begitu pula Rebecca yang dimainkan Madonna yang memesona dalam “Body of Evidence” (1993). Seks yang dilakukan dengan sang kekasih tak lebih naluri sebagai tubuh. Dalam “Basic Instinct”, naluri manusia secara lengkap memang memesona, tepat, dan berbahaya. Manusia seolah hanya didefinisikan dalam tiga hal: ego, seks, dan uang. Kemudian membunuh dan memusnahkan. Ia kekuatan jiwa bawah sadar (id), melakukan sadisme (ke luar) atau ke dalam (masakisme). Orang tak perlu belajar untuk melakukan seks dan pemusnahan. Naluri yang diolah sedemikian rupa, rupanya memang menghasilkan ketepatan, penuh perhitungan, teliti, tetapi juga halus dan menggoda. Ia tercipta dari kehendak yang digerakkan naluri itu sendiri. Namun ia menyimpan latar belakang kepribadian yang memengaruhi dan mendukung mutlak pada perbuatan.

Bagi Toynbee, peradaban lahir dari proses upaya-upaya total manusia sebagai pembelaan dari belenggu-belenggu kesulitan dalam hidupnya. Ia berjalan dengan nalurinya. Lantaran ia memiliki daya pikir, ia melewati segalanya dengan gemilang. Peradaban tak pernah tercipta dari kondisi hidup yang mudah, tanpa tantangan dan kesulitan-kesulitan. Kita mengenal peradaban sungai dan laut; Sungai Nil, Bengawan Solo, Danau Toba, Sungai Musi, Gangga, Laut Merah. Di tepian-tepian itulah kehidupan dilangsungkan. Dari upaya melewati jalan hidup yang tak gampang, manusia membangun peradaban; membebaskan diri dari belenggu-belenggu dalam siklus sejarah.

Realitas sejarah itu, sejatinya refleksi dari upaya-upaya pembebasan manusia terhadap belenggu kehendak dan keinginan-keinginan yang tanpa batas dalam dirinya sendiri. Jalan terjal sejarah tak mungkin dilewati tanpa daya hidup yang membebaskan, tanpa harapan manusiawi pada kesejahteraan, serta kebersediaan berbagi. Sekecil apa pun, sejatinya ia tengah membangun peradaban.

“Ihdinash shiratal mustaqim” (tunjukilah hamba jalan yang lempang), kata segaris teks suci. Rupanya itu harapan sejarah, di mana manusia selalu berupaya melewati jalan yang memang tak mudah. Mungkin itulah iman yang membebaskan sejarah dari belenggu-belenggu kesulitan hidup yang mengarifi ruang dan waktu. Upaya itu diawali dari pembebasan diri dan sesama manusia. Nabi Ibrahim tak gentar pada api Namrud. Bahwa meraih pembebasan adalah azasi (fitrah), ia ditebus dengan kemantapan yang dikokohkan oleh iman dan ketundukan kepada yang maha-tak-berhingga.

Tetapi pada galibnya, agama seringkali bergeser dari risalah. Agama dijadikan alat menyelenggarakan hasrat memiliki untuk kemudian mempunyai. Terjadilah perang. Bangunan-bangunan rumah ibadah mewah dan megah, konsepsi-konsepsi kaku dan mutlak, arogansi ekonomi, kecongkakan keturunan dan kekuasaan telah menghina iman yang azasi sebagai nilai kemanusiaan. Agama merasa punya kemegahan, pengikut, kekuasaan. Namun tak sudi berbagi dan tak berhikmat pada penderitaan.

Pangkalan Becak, Pelabuhan Muncar, 2019

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »