Yohanes Sehandi *
Pos Kupang, 29 Agu 2019
Salib adalah tanda sekaligus lambang kerendahan hati, penderitaan, dan keselamatan bagi kaum Nasrani atau Kristiani, yakni penganut agama Kristen dan Katolik. Salib (dengan huruf S kapital) tidak sekadar tanda silang. Tidak pula sekadar dua potong kayu yang dipasang bersilangan. Salib diyakini kaum Nasrani sebagai yang kudus dan apostolik, baik yang ada gambar atau patung tergantung pada Salib, maupun tanpa gambar atau patungnya. Bagi kaum Nasrani, Salib adalah benda kudus, karena hakikat dan lambang Salib menjadi bagian ajaran Nasrani: kerendahan hati, penderitaan, dan keselamatan.
Ada apa di Salib sehingga menjadi benda kudus yang harus dihormati? Dua penyair besar Indonesia menyatakan kesaksiannya tentang Salib dan apa yang ada di Salib. Kedua penyair besar Indonesia dimaksud adalah Chairil Anwar (1922-1949) dan WS Rendra (1935-2009). Chairil Anwar menyatakan kesaksiannya dalam puisi berjudul “Isa,” sedangkan WS Rendra dalam puisi berjudul “Ballada Penyaliban.” Menurut kedua penyair besar ini, yang ada di Salib itu adalah Yesus, yang diyakini kaum Nasrani sebagai Sang Penebus Dosa Manusia.
Kesaksian Chairil Anwar
Chairil Anwar memberi kesaksian bahwa yang tergantung di kayu Salib itu adalah Isa atau Isa Almasih yang menderita untuk menebus dosa manusia. Isa Almasih dalam Alquran adalah nama lain untuk Yesus Kristus dalam Injil. Puisi “Isa” yang dipersembahkan Chairil Anwar kepada Nasrani Sejati ini, dimulai dengan bait pertama: //Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah//.
Penyair besar ini dengan sadar menulis Tubuh dengan T kapital, sebagai sebutan atau penunjuk untuk Tuhan. Baris kedua /mengucur darah/ diulang lagi pada baris ketiga /mengucur darah/, sebagai intensitas kesaksiannya atas Tubuh tergantung di Salib yang terus mengucur darah. Kemudian, dalam bait berikutnya, Tubuh yang mengucur darah itu: //rubuh/ dan /patah//. Dalam bait ini Chairil hanya menggunakan dua kata untuk dua baris: rubuh dan patah.
Tubuh Yesus yang mengucur darah, kemudian rubuh dan patah, mendampar pertanyaan pada si aku lirik: aku salah? Penyair Chairil Anwar menyadari bahwa Tubuh yang mengucur darah, yang rubuh dan patah di Salib itu, menjalankan tugas keilahian Yesus untuk menebus dosa-dosa manusia. Apakah termasuk dosa saya? Apakah aku salah? Ini pertanyaan refleksi yang dimaknai sendiri oleh setiap pembaca atas puisi ini.
Pada bait-bait berikutnya Chairil Anwar larut dan terhanyut dalam menyaksikan tugas keilahian Yesus yang tergantung di Salib: //kulihat Tubuh mengucur darah/ aku berkaca dalam darah/ terbayang terang di mata masa/bertukar rupa ini segera//. Penyair menyadari bahwa lewat sengsara dan penderitaan hebat di kayu Salib akan tergenapi janji keselamatan Allah bagi umat manusia: //mengatup luka/ aku bersuka//. Keselamatan telah tergenapi Yesus di Salib. Bait kerakhir, Chairil Anwar yang oleh HB Jassin dijuluki sebagai Pelopor Angkatan 45, mengulangi bait pertama sebagai penekanan: //Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah//.
Puisi Chairil Anwar yang berjudul “Isa” yang dipersembahkan kepada Nasrani Sejati adalah kesaksian mata batin penyair tentang Isa Almasih atau Yesus Kristus yang tergantung pada Salib sebagai tugas keilahiannya untuk menebus dosa-dosa manusia.
Chairil Anwar menulis puisi “Isa” pada November 1943 bersamaan dengan puisinya yang lain bernilai religius berjudul “Doa.” Puisi pertama didedikasikan Chairil kepada Nasrani Sejati, sedangkan puisi kedua didedikasikan kepada Pemeluk Teguh. Siapa Nasrani Sejati dan Pemeluk Teguh yang dimaksud penyair Chairil dalam dua puisi itu?
Menurut kritikus HB Jassin dalam bukunya Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45 (1982, cetakan ke-5, halaman 49), Nasrani Sejati dan Pemeluk Teguh yang dimaksudkan Chairil adalah WJS Poerwadarminta, seorang ilmuwan bahasa dan tokoh Katolik yang dikenal Chairil Anwar pada masa pendudukan Jepang 1940-an. Karya monumental Poerwadarminta adalah buku Kamus Umum Bahasa Indonesia dan buku Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang.
Kesaksian WS Rendra
Penyair WS Rendra memberi kesaksian tentang apa dan siapa yang ada di Salib melalui puisinya berjudul “Ballada Penyaliban.” Rendra melukiskan tragedi penyiksaan keji terhadap Yesus dengan memanggul Salib ke Golgota ini terjadi pada hari Jumat sebelum Minggu, hari yang dirayakan orang Yahudi sebagai hari Paskah. Puisi ini diambil dari buku puisi Rendra berjudul Ballada Orang-Orang Tercinta (Pustaka Jaya, cetakan ke-5, 1983, halaman 24-25).
Puisi “Ballada Penyaliban” Rendra ini, menurut hemat saya, sama kuat pilihan kata dan esensi penggambaran derita Yesus dengan puisi “Isa” karya Chairil Anwar sebagaimana telah diulas di atas. Kedua puisi dari kedua penyair besar Indonesia ini ditambah dengan puisi karya penyair Sitor Situmorang, JE Tatengkeng, dan Subagio Sastrowardoyo, telah diulas dengan sangat bagus oleh A. Teeuw, dengan judul “Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru” (1982).
Mari kita kembali ke puisi Rendra “Ballada Penyaliban.” Puisi ini terdiri atas 8 bait, 36 baris. Rendra menggambarkan Yesus bagai domba kapas putih yang memikul Salib, bertolak dari istana Pilatus menuju gunung pembantaian Golgota: //Yesus berjalan ke Golgota/ disandangnya salib kayu/ bagai domba kapas putih//.
Dalam kisah Injil, satu minggu sebelum Yesus ditangkap serdadu Israel, orang-orang Israel sendiri mengeluk-elukkan kedatangan Yesus di kota Yerusalem dengan bunga-bunga mawar dan daun-daun palma. Keadaan di hari Jumat nahas menimpa Yesus itu, terbalik dengan hari Minggu sebelumnya: //Tiada mawar-mawar di jalanan/ tiada daun-daun palma/ domba putih menyeret azab dan dera/ merunduk oleh tugas teramat dicinta/ dan ditanam atas maunya//.
Pada bait ke-3, Rendra menggambarkan dengan penuh haru luka berlumuran darah menyirami jalanan menuju gunung tengkorak Golgota, dengan menghadirkan simbol-simbol permenungan teologis mendalam: mentari meleleh, menetes dari luka, leluhur kita Ibrahim berlutut, altar paling agung, sorga, dan bianglala.
Inilah pelukisan Rendra pada bait ketiga yang mencekam itu: //Mentari meleleh/ segala menetes dari luka/ dan leluhur kita Ibrahim/ berlutut, dua tangan pada Bapa:/ — Bapa kami di sorga/ telah terbantai domba paling putih/ atas altar paling agung/ Bapa kami di sorga/ berilah kami bianglala!//. Dilanjutkannya: //Ia melangkah ke Golgota/ jantung berwarna paling agung/ mengunyah dosa demi dosa/ dikunyahnya dan betapa getirnya//.
Pada bait ke-5 dan ke-6 Rendra menggambarkan derita Bunda Maria, ibu kandung Yesus, pada saat putra terkasihnya dirajam serdadu Israel: //Tiada jubah terbentang di jalanan/ bunda menangis dengan rambut pada debu/ dan menangis pula segala perempuan kota//. Terhadap perempuan kota yang menangis bersama ibundanya Maria, dalam keadaan terkulai Yesus menegur: //– Perempuan!/ mengapa kautangisi diriku/ dan tiada kautangisi dirimu?//.
Bait ke-7 mengungkapkan esensi atau makna terdalam derita Yesus di kayu Salib bagi umat manusia. Orang Nasrani masa kini yang tidak menghayati esensi derita Yesus di kayu Salib ini, tentu sia-sialah ia menjadi seorang Nasrani. Rendra menggambarkannya dengan diksi yang sangat kuat: //Air mawar merah dari tubuhnya/ menyiram jalanan kering/ jalanan liang-liang jiwa yang papa/ dan pembantaian berlangsung/ atas taruhan dosa//.
Bait terakhir adalah bait pamungkas tragedi penyaliban Yesus Kristus di Golgota. Inilah bait pamungkas Renda dalam puisi ini: //Akan diminumnya dari tuwung kencana/ anggur darah lambungnya sendiri/ dan pada tarikan napas terakhir bertuba:/ — Bapa, selesailah semua!/.
***
*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende.
One Reply to “Yesus di Salib, Menurut Penyair Besar Indonesia”