Nurel Javissyarqi *
IV
Saya sudah pegang bukunya, tapi belum baca, apalagi mengkroscek skripsinya, belum. Namun secara sepintas dari obrolan bersama Djennar serta tampilan bukunya, ianya masih melakukan tindakan terbuka, misalkan tertera profil penulis dua orang, Djennar dan Immaroh. Hanya, yang dipersoalkan Rakai salah-satunya di hlm XV, yang seyognyanya tertulis tahun 1952-2017 keterangan skripsinya, bukannya 1952-2019, yang ini bisa ditafsirkan pelbagai macam. Ialah data penelitian yang bersangkutan hitungan waktu, jika mengsle sedikit tentu bisa fatal, yang dapat menghancurkan bangunan telah tersusun. Di situlah pentingnya kehati-hatian, baca berulang tidak mungkin dituntut cepat, seperti keinginan Rego S. Ilalang (Agus R. Subagyo) berharap segera rampung yang tengah saya kerjakan. Hampir diri ini dalam pola penulisan esai selamban mencipta puisi, contoh tulisan untuk Tengsoe sudah setahun lebih belum tuntas, padahal tinggal selangkah dan bukan termasuk kritik. Lamanya itu menimbang pelbagai kemungkinan sebelum dituliskan, menyingkap kabut masa lalu serta bayangan ke depan; efek, embas, atau menentukan kuda-kuda sebelum berhadap-hadapan adalah lahirnya teks ‘sedurung’ dipersaksikan. Di sini, saya kan tulis perjalanan ke Lembor dua hari lalu terlebih dulu:
Awalnya tiada niat ke sana, hanya hari itu ingin berjalan sekeluarga ke arah utara sampai pantai, sekadar ingin melihat pemandangan lepas bertemuanya laut – birunya langit. Di setiap perjalanan, ingatan selalu muncul; dari Dusun Pilang Tejoasri ke selatan dulu lalui Kawistolegi, lalu ke barat melewati tugu penanda gugurnya para pahlawan Perang Kemerdekaan (Agresi Militer II) tahun 1949, yang terletak di sisi selatan perempatan jalan menghubungkan beberapa desa sekitarnya. Ke selatan Desa Gumantuk, ke barat Maduran, dan Dempel (Desa Pangean), ke timur Kecamatan Karanggeneng, ke utara Pegendingan, dan Pringgoboyo. Tugu tersebut masuk wilayah Gumantuk, yang menyematkan beberapa nama; Soewoko (Kadet TNI), Widodo (Kopral TNI), Soekaeri (Kopral TNI), dan Lasiban (Kopral TNI). Patung Kadet Soewoko sendiri berdiri tegak di kota LA. Nama Desa Pringgoboyo, mengingatkan kisah Joko Tingkir, sang pendiri kerajaan Pajang mengarungi Bengawan Solo menggunakan rakit bertemu 40 ekor buaya, yang sebelumnya bertarung untuk dapat ditaklukkan. Lalu buaya-buaya tersebut mendampingi Mas Karebet dari hulu ke hilir Bengawan menuju Demak. Berikut ini petikan tembang Macapat Jawa Sigra Milir yang sudah umum terdengar di masyarakat: Sigra milir kang gethek sinangga bajul // kawan dasa kang njageni // ing ngarsa miwah ing pungkur // tanapi ing kanan kering // sang gethek lampahnya alon. Maknanya: Mengalirlah segera sang rakit didorong buaya // empat puluh penjaganya // di depan juga di belakang // tak lupa di kanan kiri // sang rakit pun meluncur pelan.
Kami terus ke utara lewati Kelurahan Blimbing, ini mengingatkan tahun 2004 – 2006, tempat langganan nyablon cover buku-buku stensilan saya yang pernah dikupas Indrian Koto. Tentu terkenang novelnya Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck,” sambil menuju barat Sedayu Lawas ke arah Pambon, berbelok kiri ke Lembor, tanah lahirnya novelis Mahfud Ikhwan, tepat Djennar meneliti tanjidor. Sepulangnya, saya sempatkan menjumpai kawan lama sewaktu di Jogjakarta, namanya Ranung, mahasiswa UMY angkatan 1995 dari Desa Dadapan, daerah tumbuhnya cerita rakyat Mbok Rondo Dadapan bersama putranya Ande-ande Lumut. Demikian suluran tembangnya yang terkenal:
Putraku Si Ande, Ande-ande Lumut // Temuruno, ono Putri kang unggah-unggahi // Putrine Ngger, kang ayu rupane // Klenthing Ijo iku kang dadi asmane // Duh Ibu, kulo dereng purun // Duh Ibu, kulo boten medun // Nadyan ayu, sisane Si Yuyu Kangkang.
Putraku Si Ande, Ande-ande Lumut // Temuruno, ono Putri kang unggah-unggahi // Putrine Ngger, kang ayu rupane // Klenthing Abang iku kang dadi asmane // Duh Ibu, kulo dereng purun // Duh Ibu, kulo boten medun // Nadyan ayu, sisane Si Yuyu Kangkang.
Putraku Si Ande, Ande-ande Lumut // Temuruno, ono Putri kang unggah-unggahi // Putrine Ngger, kang olo rupane // Klenthing Kuning iku kang dadi asmane // Duh Ibu, kulo inggih purun // Duh Ibu, kulo badhe medun // Nadyan olo, meniko kang Putri Sulung.
Musim kemarau panjang mengingatkan istilah Ketigo Landong di Gunung Kidul, pohon-pohon jati kering meranggas, masuk keluar hutan kadang susuri jalanan yang di kanan-kirinya pesawahan gersang, dan ketika roda kendaraan di Jalan Daendels, bersiaplah mata tertuju arah utara memandangi pantai melihat kejauhan gelombang. Sebelum masuk Lembor, melalui jalan berliku turunan curam, melintasi lereng hingga di kaki pebukitan Rahtawu yang bersimpan legenda pula atas namanya. Sekilas mata menyaksikan, rumah penduduk, bangunan sekolah, ada keterikatan guyub-rukun pemeluk organisasi keagamaan NU (Nahdlatul Ulama) dengan MD (Muhammadiyah); di sini para seniman tanjidor yang biasanya hanya dilestarikan warga NU, dirawat bersama warga MD. Buku AAT dikerjakan Djennar atas pijakan skripsinya Immaroh, dimulai selepas Temu Penulis LA ke 2, bulan Oktober 2018 sampai Agustus 2019. Meski tidak ketat menerus penggarapannya, seakan olah pikir rasa cukup berat; beberapa kali mencari data baru, wawancara, tentunya sudah akrab jalan dilalui, jalur terjal jalanan berliku. Melampaui musim-musim berganti, terik mentari, mendung menebal, pebekalan menipis, perut letih hingga menginap. Di balik itu, pada malam-malam melarut, siang suwong, lewati kehati-hatian memindahkan karya ilmiah menjadi tulisan enak dibaca; menambahkan berita, dan mengurangi sekiranya lebih nyaman dihidangkan. Djennar melakoni sampai ambang putusasa; bahan yang seolah sulit direkatkan, dibiarkan dalam tempo lama, lalu dilonggar waktu dibacanya lagi, masih belum temukan formula menjelma buku utuh. Namun tetap dirawatnya dengan kesabaran rupawan, harapannya seni tanjidor tersiar berkembang jauh tidak sekadar warisan mudah terlupakan jaman. Ketika dalam keadaan ciut nyali, dicarinya informasi ke Ujungpangka, Gresik, lalu peroleh kabar yang membuatnya girang menuntaskan yang sudah digumulinya berbulan-bulan hampir setahun, dan purnalah buku yang diimpikannya, mungkin.
September 2019, buku AAT diterbitkan Dinas Perpustakaan Daerah Kabupaten Lamongan dengan dicetak sejumlah 60 eksemplar (eks). Djennar peroleh uang lelah (istilahlah begitu, bukan dana penelitian) dari Perpusda 1 Juta Rupiah, dan 1 eks bukunya, jadi tidak bisa memberikan buku untuk Immaroh. Dikarena ingin memiliki hasil kerjanya lebih dari satu eks, maka uang satu juta tersebut dipakainya cetak ulang 60 eks lewat Penerbit Russa; 22 eks dihadiahkan kepada penduduk Lembor, sisanya dibagikan ke kawan-kawan, sanggar, sekolah, dan sebagian dijual. Bulan berikutnya, ada seorang tokoh memberikan uang untuk cetak AAT, dicetaklah 60 eks lagi (cetakan I, II, dan III, keterangan cetaknya sama pertama, hanya yang ketiga ada pengantar tokoh itu). Di akhir tahun Temu Penulis LA IV, Djennar peroleh Piagam Penghargaan dari Dinas Perpusda Kab. LA atas partisipasinya menulis buku Alur Alun Tanjidor, bernomor: 041/438.3/413.121/2019., dan perolah 1 eks buku, sehingga bisa memberikan kepada Immaroh, buku terbitan Perpusda LA. Kata Djennar, tidak hanya dirinya yang dapat piagam penghargaan, barangkali penulis lain melakukan semacamnya menjadi buku dipersembahkan ke Perpusda. Di waktu lain, Djennar bercakap-cakap dengan salah satu pegawai Perpusda, kurang-lebih menganggap dana beristilah uang lelah, tidak cukup kurang layak jikalau dilanjutkan. Mungkin ini yang mendasarinya berkata jujur, bahwa kegiatannya sudah menghabiskan lima juta rupiah lebih. Laksana cinta bertepuk sebelah tangan, putra-putri daerah berani berkurban kumpulan waktu himpunan tenaga sejumlah dana demi semaraknya literasi, tetapi pemerintah abai dengan menghadiahkan gula-gula pemanis buatan berupa piaga penghargaan tanpa uang. Jika putra-putri daerah tidak punya kecintaan pada tanah airnya, mungkinkan dinas pemerintah tampak gagah semarah mentereng? Atau teruslah merayakan jiwa-jiwa patriotik semangat kebangsaan, karena pemerintahan membutuhkan sokongan menginginkan tumbal, sebab mereka belum sanggup berkata merdeka.
Bersambung…
http://sastra-indonesia.com/2020/01/menyangsikan-kesungguhan-dinas-perpustakaan-daerah-lamongan-iii/
One Reply to “Menyangsikan Kesungguhan Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan (II)”