Nurel Javissyarqi *
V
Memasuki isi buku, saya tidak tahu persis ini kekeliruan penulis atau layouternya. Misalkan di halaman (hlm) 5, catatan kaki: 10 https://quraishshihab.com/article/islam-dan-seni/ Padahal keterangan pada angka 10 tidak merujuk pendapat M. Quraish Shihab, malah sepelasnya baru menuliskan tuturan Quraish sampai hlm 6. Dan di hlm enam juga penulis memahat kalimat “Menurut Profesor Quraish Shihab,… dst,” nyatanya itu sambungan dari atasnya, ini sejenis pengelabuhan seolah perkara sebelumnya bukan dari Quraish. Padahal tulisan Quraish dari hlm 5 sampai 9, yang di bawahnya ada catatan kaki: 11 Ibid (Penulisan Ibid ini benar, tapi keliru fatal, sebab awalnya tidak tepat. Penulisan Ibid di buku ini seluruhnya merujuk catatan kaki sebelumnya, dan atau sebab setelah kata Ibid, tidak menerangkan dari halaman mana, ataupula dari sumber mananya). Ibid merupakan singkatan dari Ibidem, berasal dari bahasa Latin yang berarti “berada di tempat yang sama.” Pada Bab I terdapat banyak kutipan yang catatan-catatan kakinya ambyar. Sedang Bab II, jasa Carik (Sekretaris Desa) Lembor Mbah Soen’an sangat bermakna, karena telah menulis sejarah desanya berupa lelembaran naskah, yang disalin dari cerita tutur pernah berkembang, dan ini menambah baik kehadiran buku. Namun wawancara yang diedarkan tidak menebarkan kecurigaan lain, sehingga tiada hadir kemungkinan jauh dalam pembacaan Lembor, misalkan cara pandang penduduk mengenai pendidikan, pandangan masyarakat terhadap perubahan jamannya, dibandingkan para penduduk di desa-desa sekitarnya.
Dalam Bab III, banyak melakukan pengaburan data separas kerancuan, tengok hlm 61, catatan kaki 63, sama dengan catatan kaki 68 hlm 64. Anehnya hanya perbedaan akses, Pukul 14 : 12 WIB, yang kedua 13 : 34 WIB, ini semacam oplosan ajaib. Yang paling fatal hlm 66 ke 67. Hlm 66, catatan kaki: 70 https://sportourism.id/history/letusan-krakatau-keramat-karam-dan-klenteng-tjo-soe-kong : ini tidak dapat diakses, dan 71 Ibid. Namun bisa ditelusuri di sini, sebab sumbernya sama http://www.triptrus.com/news/letusan-krakatau-kramat-karam-dan-klenteng-tjoe-soe-kong Fatalnya, paragraf berikutnya tidak nyambung dengan hlm 67 lalu 68, catatan kaki: 72 Ibid dan 73 Ibid. Sebab penasaran, saya menelusuri pada skripsinya, adanya dari http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3135/tanjidor : tidak bisa diakses (di skripsi diakses 14 Mei 2017), dan Djennar memperbaharui datanya pun tidak dapat diakses pada http tersebut (sepertinya tidak melakukan, hanya mengganti tahunnya saja 14 Mei 2019), tengok hlm 64. Namun dapat ditelusuri di sini https://jakarta.go.id/artikel/konten/4770/tanjidor (diposting hari Rabu, 01 Februari 2017 00:00 WIB). Maka Ibid 72 dan 73 pada buku AAT hlm 68 secara otomatis salah, sebab jumputan datanya bukan dari http “kedua” di atas, dan salah lagi kalau dirujuk catatan kaki 69 hlm 65, karena pengambilannya dari data http “kedua” terakhir. Atau Djennar malah mengacaukan sumber data skripsi. Di bawah inilah yang menjadikan awalnya saya janggal, baca paragraf hlm 67 buku AAT, skripsi hlm 57, kurang lebih sama:
“Selain berkembang di daerah Jakarta dan sekitarnya, ternyata kesenian ini juga berkembang dan tersebar di daerah-daerah luar Jakarta seperti daerah-daerah yang masuk dalam pembagian regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Kulon dan Pesisir Wetan menurut Koentjaraningrat. Daerah-daerah tersebut ialah daerah Indramayu, Cirebon, Pemalang, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Jepara, Rembang, Tuban, Gresik, dan Lamongan. Dengan keterangan, daerah Cirebon ke arah timur hingga ke daerah Demak masuk dalam regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Kulon, sedangkan daerah Demak ke arah timur hingga ke daerah Gresik dan Surabaya masuk dalam regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Wetan. Hal ini, dikarenakan para pemain pertama kesenian ini dulunya tidak berasal dari satu daerah saja, melainkan dari daerah-daerah lain di sepanjang Pulau Jawa. Bahkan kesenian ini berkembang di daerah Kalimantan Barat dan pernah berkembang juga di daerah Kalimantan Selatan. Berikut peta tematik persebaran kesenian tanjidor di sepanjang Pulau Jawa bagian utara yang masuk dalam pembagian regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Kulon dan Pesisir Wetan.”
Sumber aslinya tidak menyebut nama-nama kota lain, selain Jakarta, Cirebon, Tangerang, dan Indramayu, atau lewat tiupan ajaib bim salabim “menurut Koentjaraningrat,” muncullah kata-kata tersebut. Ini semacam upaya pencarian pembenaran, meski secara realitas tanjidor ada di kota-kota itu misalnya. Atau bentuk pengayaan dari sumber data seyogyanya tidak dioplos seenaknya, agar pihak yang meneliti tidak kecewa oleh kabar pengembangannya terlepas dari sumur keasliannya. Apakah http yang tidak bisa diakses mengunggah kebenaran skripsi, dan buku AAT? Saya sudah biasa kelola website sejak 2008, maka rujukan http yang saya sodorkan bisa dikonfirmasi ke admin websitenya, kalau pembaca ragu kebenaran berita postingannya. Dari penelusuran ke sini, terlihat mencoba menambah kabar, tapi terasa mengawang, disaat merujuk peta penyebaran tanjidor dari Jakarta ke Lembor, lihat hlm 68. Padahal atas kota-kota disebutkan itu, seyogyanya diberikan sedikit gambaran perkembangannya, sehingga logika maupun realitas terbangun dari teks yang disuguhkan, tidak ngambang serupa titel lagunya Gombloh, “Di angan-angan.” Dari hlm 69 ke akhir Bab III hlm 92, hasil wawancaranya sangat berarti bagi kemajuan data.
Buku AAT pernah diresensi oleh M. Riyadhus Solihin di koran Radar Bangsa 10-19 Desember 2019 bertitel “Alur Alun Tanjidor : Sebuah Usaha Permulaan Penulisan Kesenian Tradisional Rakyat yang Merdu.” Namun tanpa memberitakan mulanya dari skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2017 atas nama Raudlotul Immaroh, perempuan kelahiran Lembor 14 April 1995. Dan lantaran kritik ini meski baru slentingan di fb, pada 31 Desember 2019, Radar Bangsa kembali kabarkan buku AAT lewat judul “Tanjidor Lembor Meriahkan Festival Sunan Lesbumi PWNU Jatim 2019” dengan mendahulukan nama Raudlotul Immaroh, dilanjutkan A.H. J Khuzaini, yang seakan malah jadi asistennya.
Akhirnya, sebagai kritikus amatiran, saya tidak tega melucutinya satu-persatu setiap paragraf sambil melihat catatan kaki menelusuri sumbernya, jika merujuk sebuah karya bersebut pikiran pengarang bernama penulis. Maka, saya cukupkan dengan menghirup udara mengambil napasan besar, La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim. Bab IV hingga akhir buku ini, profil dua penulis hlm 163, anggaplah baik-baik saja. Di sini mungkin saya agak khawatir timbul lagi kecewa, atau maka bacalah tanpa merujuk sumbernya, dan sudahlah…
*) Pengelola website Sastra-Indonesia.com pemilik PustakapuJAngga.com yang tinggal di LA.
[Catatan ini pemantik bedah buku AAT pada tanggal 17 Januari 2020, di Sanggar Pasir, dengan alamat Mulyosari, Banyuurip, Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur].