Ulasan novel “Ular Tangga”
Endhiq Anang P
Harian Fajar, 30/9/2018
Dalam sastra Indonesia, setidaknya ada dua novel yang memberikan panduan seni pemberontakan. Yaitu, Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer dan Ular Tangga karya Anindita S. Thayf. Bila dalam Arok Dedes sebuah pemberontakan harus bertopang pada Empat Kaki Nandi, dalam Ular Tangga bertumpu pada Empat Kaki Gajah-Satu Belalai.
Empat Kaki Gajah meliputi uang, senjata, kerja sama, dan kesempatan. Uang adalah modalmu melakukan operasi besar-besaran. Senjata adalah alat melakukan operasi, juga untuk pengamanan. Sedangkan kerja sama sangat dibutuhkan dari kawan dan lawanmu agar semua berjalan lancar. Adapun kesempatan lebih mirip arloji yang memberitahu kapan saat yang tepat itu akan tiba,” tulis Anindita dalam Ular Tangga. Sedangkan Satu Belalai adalah keajaiban.
Bila mengulik Ular Tangga lebih dalam, konsep pemberontakan dalam novel tersebut mengikuti pemikiran tokoh revolusioner Rusia, Vladimir Ilyich Lenin. Dalam tulisannya Apa yang Harus Dikerjakan?, Lenin menuliskan bahwa dibutuhkan sebuah organisasi revolusioner untuk menjalankan pemberontakan (revolusi). Organisasi tersebut harus memiliki struktur yang ketat dengan diisi oleh kader-kader terbaik. Fungsi organisasi revolusioner adalah untuk menstrukturkan pemberontakan agar berjalan secara terorganisir. Organisasi revolusioner inilah yang akan menjalankan konsep Empat Kaki Gajah-Satu Belalai.
Sanggar Merah yang dipimpin oleh Bung Anu dalam Ular Tangga merupakan salah satu sel. Kata merah dalam sanggar tersebut merujuk pada organisasi kiri yang bersandar pada pemikiran Santo Jelata. Merah merupakan warna yang identik dengan gerakan kiri. Sanggar Merah merupakan salah satu Cabang Kecil Persekutuan Bawah Tanah. Organisasi tersebut menggunakan sistem sel yang disebut Satu-Pusat-Banyak-Cabang-Dan-Lebih-Banyak-Anak-Cabang.
Sebagaimana yang ternarasikan dalam Ular Tangga, sistem sel bekerja di mana satu anak cabang terbawah, termasuk pemimpinnya, hanya mengenal orang-orang dari cabang yang berada langsung di atasnya; tidak tahu siapa saja orang-orang yang ada di Cabang Kecil lain, apalagi yang duduk di Cabang Besar atau Cabang Pusat, terlebih yang berada paling atas. Dengan sistem sel tersebut, organisasi diharapkan bisa aman dari serangan lawan dan bisa luwes bergerak.
Sebagai salah satu kader Persekutuan Bawah Tanah, Bung Anu ditugaskan sebagai pimpinan Sanggar Merah yang bertempat di Perkampungan Tepi Rel dan Tepi Sungai yang menjadi latar Ular Tangga. Di perkampungan inilah para lumpen proletariat berada, yaitu kaum yang termarjinalkan secara ekonomi, sosial, politik. Mereka bekerja apa saja dan mendapat penghasilan pas-pasan.
Dalam analisa Marxis, lumpen proletariat tidak termasuk dalam kategori proletariat karena masih memiliki alat produksi. Misalnya tokoh Kerakbasi yang memiliki gerobak kopi, Ratu Bakul yang mempunyai gerobak sayur atau Sangdewi yang menguasai sepetak lapak di Stasiun Proyek. Satu-satunya proletariat dalam Ular Tangga adalah Sol yang bekerja sebagai buruh pabrik. Mereka inilah yang disebut kaum miskin kota, yaitu masyarakat miskin yang menempati wilayah perkotaan. Sebagai bagian dari yang tertindas, Bung Anu dan kawan-kawannya bertugas mengorganisir mereka sebagai bagian dari pemberontakan.
Setelah organisasi revolusioner terbentuk, Lenin dalam artikelnya Dari Mana Kita Mulai? membabarkan pentingnya Koran Partai. Fungsi koran tersebut serupa perancah yang menghubungkan sisi-sisi bangunan. Dalam Ular Tangga, bentuk Koran Partai adalah Selebaran dengan kode (K). Selebaran ini muncul sejak hari pertama novel dimulai, dan terus ada selama 99 hari ke depan. Selebaran inilah yang menghubungkan para jelata yang tinggal di sekitar Pusat Ibukota.
Pinggiran Mengepung Pusat
Mao Zedong, pemimpin Partai Komunis Tiongkok, merumuskan kosep desa mengepung kota untuk melakukan pemberontakan. Daerah-daerah merah mesti dibangun di pedesaan-pedesaan dengan bertulang punggung kaum tani. Setelah basis-basis di pedesaan siap, mereka akan digerakkan untuk mengepung kota. Dalam Ular Tangga, konsep ini dimodifikasi menjadi pinggiran mengepung pusat.
Para lumpen proletariat yang berada di pinggiran kota disiapkan terlebih dahulu oleh Bung Anu dan Persekutuan Bawah Tanah menjadi daerah-daerah merah. Selama bertahun-tahun, mereka mengakrabi daerah itu lewat berbagai pendekatan. Fungsi Sanggar Merah selain sebagai pos komando juga berperan untuk kerja-kerja pembasisan. Senjata dalam konsep Empat Kaki Gajah bukan hanya alat semacam bedil atau granat, melainkan kekuatan massa yang tertindas. Ketika satu gajah (kesempatan) sudah muncul, ribuan senjata berupa kaum jelata inilah yang digunakan untuk melempuhkan pusat (Istana) kekuasaan.
Seperti yang diceritakan pada bagian akhir Ular Tangga, para jelata yang berada di pinggiran kota digerakkan oleh Persekutuan Bawah Tanah hingga berduyun-duyun menuju Istana tempat Bapak Presiden Kita berada. Hujan yang menderas dan Sungai Purba yang membanjir merupakan satu belalai (keajaiban) yang muncul jelang detik-detik pemberontakan. Kekuatan para jelata tersebut laksana ribuan ekor gajah yang berderap menuju Pusat Ibukota. Empat Kaki Gajah-Satu Belalai mengamuk untuk menggulingkan kekuasaan.
Tidak dapat dilupakan dalam pemberontakan, menurut Lenin lewat tulisan Dua Taktik Kaum Sosial Demokrat dalam Revolusi Demokratik, adalah kerjasama antara gerakan di luar kekuasaan (ekstra parlementer) dan di dalam kekuasaan (parlementer). Selain dengan mereka yang tertindas, satu kaki gajah’ (kerjasama) juga terjalin antara yang berada di luar kekuasaan dengan di dalam kekuasaan. Bila Bung Anu dan kawan-kawannya bertugas di luar kekuasaan maka ada dua tokoh yang ditempatkan di lingkar kekuasaan untuk melakukan kerja-kerja penyusupan. Kemisteriusan dua tokoh ini menjadi salah satu daya pikat Ular Tangga yang membuat ceritanya menarik diikuti hingga akhir.
Satu hal yang diperlukan dalam seni pemberontakan adalah ketetapan membaca kondisi obyektif. Inilah mengapa Ular Tangga menjadi novel yang gemuk (736 halaman) karena harus terlebih dahulu mengulik sejarah panjang sebuah bangsa sebelum tiba di klimaks peristiwa. Dalam tradisi pemikiran Marxis, sejarah dalam Ular Tangga merupakan sejarah masyarakat dan revolusi sebuah bangsa yang disebut Republik Kepulauan. Dengan pembabaran tersebut maka akan diketahui karakter-karakter kelas tertindas dan kelas yang berkuasa. Berlandaskan itulah strategi pemberontakan baru bisa dirumuskan dengan jitu.
Seni pemberontakan dalam Ular Tangga memang tidak mudah ditangkap oleh pembaca. Ibarat bawang merah, seni tersebut terdapat dalam lapisan terdalam novel ini. Pada akhirnya Ular Tangga merupakan novel merah yang mampu mengobarkan semangat perlawanan, bukan novel merah jambu yang menghibur hati.***
*) Editor; Alumnus Filsafat UGM
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10205304559091704