Djoko Saryono
Sekarang umat manusia memasuki zaman yang dipimpin oleh hikmat sains dan teknologi. Hikmat kebijaksanaan dan keugaharian terasa menepi. Dunia memang telah mengalami kemajuan luar biasa — juga kemakmuran luar bisa meski diiringi oleh kesenjangan yang juga kian luar biasa, seperti diulas oleh Thomas Piketty dalam Capital (yang sejenis Das Capital-nya Marx). Tak heran, Fritjof Capra dalam bagian akhir bukunya Science of Leonardo berkata masgul kira-kira begini: “Selama Abad XX dunia memang mengalami kemajuan manakjubkan dan tak terduga luar bisanya. Tapi, juga mengalami kegersangan dan kekeringan makna hidup yang luar biasa pula. Andai kata dulu yang memenangi ‘pertarungan pengetahuan’ bukan Descartes, tetapi Leonardo da Vinci, mungkin dunia kita bisa lebih lebih indah dari sekarang”.
Capra, yang memang pengagum da Vinci, seolah meratapi tergerusnya dan makin terpinggirkannya seni dan dimensi kemanusiaan, bahkan spiritual dalam kehidupan. Kita sebagai homo sapiens tak merasakan hal tersebut karena tengah menari-nari suka cita di tengah kemajuan luar biasa sains dan teknologi. Bahkan kita merasa menjadi makhluk paling pandai, paling cerdas dengan akal budi, seolah-olah telah menaklukkan dunia. Padahal sejatinya sangat banyak hal yang tak kita tahu. Itu sebabnya,Yuval Noah Harari menegur manusia, “Ketidaktahuan: Anda tidak sepintar yang Anda kira!”
Bagi Harari, kita masih belepotan dengan ketidaktahuan akan semesta dan kehidupan. Lebih tegas lagi, Harari bilang, manusia masih penuh kebodohan! Kebodohan manusia inilah yang telah menggerakkan sejarah kehidupan manusia. Kata Harari sebagai berikut: “Kebodohan manusia adalah salah satu kekuatan terpenting dalam sejarah, namun kita sering mengabaikannya… tidak ada hukum alam yang melindungi kita dari kebodohan manusia. Satu obat potensial untuk kebodohan manusia adalah sedosis kerendahan hati” (Yuval Noah Harari, 2018, 21 Lessons for 21st Century, halaman 192-193)
Di zaman disrupsi, yang penuh ketakpastian, kemenduaan, ketakterdugaan, dan kesilangsengkarutan, di manakah mata-air kerendahan hati? Mungkin kita sedang bingung. Kata Harari lebih lanjut, “Bagaimanakah Anda hidup pada zaman kebingungan, ketika cerita-cerita lama telah runtuh, dan tidak ada cerita-cerita baru yang muncul untuk menggantikannya?” (Yuval Noah Harari, 2018, 21 Lessons for 21st Century, halaman 192-193).
#ndlemingsiangmenjelang, 20/02/2020
link terkait: http://sastra-indonesia.com/2020/02/bisakah-seni-memberi-arti-zaman-disrupsi/