D.A. Peransi
Akhir-akhir ini banyaklah diterbitkan roman dan cerita yang dengan jelas sekali menggambarkan fakta-fakta seksual. Beginilah kebohongan-kebohongan terbesar itu dilakukan atas nama kejujuran dan keterusterangan. Penentuan sinis bahwa dunia sudah demikian dan bahwa hal-hal tersebut lebih baik, juga diceritakan, bukanlah kebenaran yang terakhir. Amatlah berfaedah untuk mencoba sampai pada pengertian dan dengan demikian sikap sebenarnya terhadap lektur semacam itu.
Tidak mudah untuk memperoleh wawasan ke dalam persoalan-persoalan batas ini, karena batas-batas ini memang terbatas dan memiliki kemungkinan senantiasa berubah dan bergeser. Banyak kata yang dulunya dianggap tak patut diucapkan kemudian dipakai masuk dalam rangka penggunaan umum. Betapa sering mode wanita dikatakan tidak susila, untuk kemudian dipakai setiap wanita. Keterbatasan norma inilah yang menjadi titik bertolak serta spekulasi mereka yang pro kebebasan-kebebasan baru, dengan tak ingat bahwa ketidakmampuan untuk menentukan norma/ kaidah secara tepat dan mutlak, tak selalu berarti tidak ada norma.
Untuk kita yang hidup masa kini soalnya menjadi ekstra sukar, karena orientasi kita terguncangkan. Kita baru saja keluar dari hidup kemasyarakatan yang diikat oleh kaidah-kaidah susila tradisional, yang kurang punya tempat dalam rangka hidup modern. Tidak sedikit orang yang tergelincir dan terjerumus. Penerangan seksual yang dulunya hampir tak ada, tak perlu, semakin akut dan mendesak keadaannya dalam kurun waktu di mana dalam seni, pakaian dan bahasa tak lagi jelas perbedaan anatomis antara wanita dan pria. Kiranya tak ada zaman yang lebih tepat daripada masa ini, di mana misteri seksual begitu hidup.
Zaman-zaman berubah. Begitu pula norma-norma.
Penolakan dan reaksi terhadap tradisi nenek-moyang kita berlangsung secara teratur dan umumdan didukung oleh beraneka faktor hingga tidak begitu gampang untuk mensketsakan rupanya. Reaksi jelas dapat kita saksikan di bidang pakaian (mode), seni, dan hubungan antar-seks, yang secara tegas mengemukakannya. Amatlah menyangsikan seperti misalnya dalam filmdan iklan. Kurang tepat kiranya kalau perkembangan-perkembangan ini terlalu dianggap sebagai kemunduran masa lampau, karena dapat dianggap sebagai keuntungan apabila orang dilahirkan tanpa prasangka dalam hidup kemasyarakatan dewasa ini. Pemungkiran terhadap apa yang lengkap alami tak lagi dipupuk pada mereka, begitu pula rasa ingin tahu yang sehat dan kepura-puraan yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensinya. Dan memang, di masa lampau kenaifan dan ketidaktahuan sering-sering amat menyulitkan.
Orang, terus saja menanyakan: kesalahan apa yang sebenarnya terjadi pada penelanjangan yang diarahi? Bukankah di daerah-daerah tropis orang hampir tak berpakaian? Di manakah letak kesalahannya, apabila wanita dan pria saling bertemu dan berhubungan dalam keadaan seperti ketika mereka diciptakan?
Pertanyaan-pertanyaan yang mula-mula menimbulkan guncangan-guncangan tertentu lambat-laun tak lagi diperhatikan, dan persoalannya dianggap sudah selesai. Mungkin penelanjangan ini bisa berlaku bagi patung-patung batu, tapi tidak buat manusia.
Batas yang membedakan apa yang diperoleh dan apa yang tidak, memang bergeser, tergantung pada waktu dan tempat. Tetapi bagaimanapun juga: Ada batas yang tak dapat dilalui, tanpa kita merasa bersalah. Telah dicoba untuk menyisihkan rasa malu dengan menyodorkan alasan-alasan praktis, dan yang bersifat anti-prasangka agamawi. Pada hakikatnya ini tidak lain daripada melarikan diri secara panik dari misteri yang meliputi kelainan diri-sendiri, dan manusia sesama. Tidak lain daripada penyerahan tak bersyarat dan gagap terhadap apa yang disebut cinta. Ketidakmaluan tidak lain dari familiaritas yang kesusu.
Dari sebab itu, patung bisa telanjang tapi manusia mesti berpakaian.
Dengan mengambil apa yang dipaparkan sebagai latar belakang itu mesti kita tinjau perkembangan roman.
Kita di sini berhadapan dengan pelbagai gejala yang berkembang secara paralel, yang secara radikal telah merombak tata susila dewasa ini. Dari sebab itu penilaiannya pun harus berbeda-beda. Bahasa kini dipergunakan dengan lebih berani. Hal-hal yang dahulu tidak boleh diucapkan sekarang telah masuk rangka penggunaan umum. Rasa malu terhadap penelanjangan kian hari kian berkurang. Baik dalam seni rupa maupun dalam natura. Pergaulan anak anak yang berbeda kelamin lebih bebas.
Kalau fakta-fakta ini kita pandang secara lepas, tampaknya memang tak berarti sama sekali. Tapi ini tak lain daripada gejala-gejala berubahnya, bergesernya suatu pandangan terhadap manusia. Orang tidak mau lagi melihat manusia sebagai roh yang diinkarnasikan, sebagai Geist-in-Welt yang justru malu karena ia juga merupakan badan, daging. Dewasa ini manusia juga menghargai badannya. “Aku bukan mempunyai badan, tapi aku adalah badan.” Dan amatlah menyangsikan kalau orang melanjutkan, “Aku adalah hanya badan.”
Bahwa dalam pandangan-pandangan ini tersimpul penolakan terhadap pandangan-pandangan tradisional, sudah jelas. Lebih-lebih karena opini-opini tersebut mengarah pada satu tujuan, yakni hasrat untuk menikmati secara lebih intens. Dalam gejala-gejala setiap hari hal tadi kita temukan. Reklame tak henti-hentinya menyerukan bahwa nilai dan hidup manusia justru terletak dalam memperoleh kenikmatan badani secara lebih banyak, bahwa nilai dan makna wanita justru terletak pada penonjolan keindahan badannya secara terbuka. Dan yang terletak sentral padanya adalah penghayatan (beleving) dari kenikmatan-kenikmatan badan manusia yang paling tinggi, yaitu seksualitas.
Dengan jelas sekali affiche-affiche film dan alat-alat kecantikan mengarah pada seksualitas tersebut. Tidak saja untuk film tetapi juga untuk alat-alat rumah tangga, transport dan lain sebagainya.
Roman mempunyai kurve perkembangan sendiri yang secara kasar dapat digambarkan sebagai proses perkembangan dari penemuan Aku (diri). Janganlah ini dianggap terlampau simplistis.
Dengan ini bukan dimaksud untuk mengatakan bahwa generasi-generasi lampau tidak menangkap apa yang tersembunyi di balik manusia, tapi roman meraba-raba dengan percobaan-percobaan persona fiktifnya kemungkinan-kemungkinan aku dan manusia. Dalam petualangan mencari diri-sendiri manusia mengorientasikan diri pada situasi kultural di mana ia ada. Barangkali karena ia lambat-laun akan menjadi manusia-massa dengan lebih intens, dan dengan sadar ia mencari individualismenya.
Kalau ia hidup dalam struktur ekonomi yang pada pertamanya ditunjukkan pada produksi alat alat penikmat dan bukan pada alat-alat pemenuh kebutuhan, maka dalam fantasi ia tak henti-hentinya mencari kenikmatan-kenikmatan yang lebih tinggi. Apabila perang mengajar padanya bahwa eksistensi badannya adalah sesuatu yang tragis sekali, maka bertambahlah hasrat untuk menghayati hidup ini, seintens-intensnya.
Kalau tabu-tabu masyarakat mulai runtuh maka manusia akan berpetualangan dalam lapangan baru yang baru saja ia peroleh, yakni: Kebebasan. Sebagai kosmopolit maka ia dalam eksperimen-eksperimennya mencoba memiliki adat-istiadat negeri-negeri lain. Tidak mengherankan apabila hampir semua garis perkembangan menuju ke daerah erotik, karena di lapangan tersebut kenikmatan badan dapat dikecap tanpa belenggu, dan seintens-intensnya, juga karena avontur individu yang terbesar dialami dalam pertemuan-pertemuan amoreus antarseks.
Di pihak lain dicoba untuk merencanakan suatu erotik sebagai stelsel yang sama sekali buta terhadap kesucian atau pun dosa.
Pertanyaan akan keuntungan atau ruginya, menentukan jalan-jalan yang akan kita tempuh. Pandangan-pandangan baru ini mempunyai satu tendens kemasyarakatannya yang asasi: mereka berpihak pada penghayatan seluas-luasnya dari erotik; mereka anti-larangan yang menyebabkan erotik berkeliaran dalam ruang yang gelap. Tendens yang sama inilah yang juga dengan leluasa mengajar, kadang-kadang dalam pembicaraan-pembicaraan liris, sering pula dengan sifat ilmiah pembicaraan yang minta kebebasan untuk mengadakan eksperimen dan sekaligus pula untuk menyesalkan adanya kesadaran dosa yang hanya menyulitkan manusia.
Kita bisa temukan ini pada D.H. Lawrence, Henry Miller atau buku-buku poket yang tersebar di setiap toko buku. Dengan penggambaran ekstatis dan detail dari permainan erotis ini sekaligus pula muncul motif seberangnya: kemualan terhadap tradisi yang menyebut ini dosa. Semua buku itu menggali temannya dari konflik antara roh dan daging, hukum dan alam. Pahlawan modern tidak lagi mempunyai pertentangan-pertentangan dalam hatinya. Ia tidak sentimental, pun tidak dingin. Ia adalah petualang yang mempunyai pengalaman banyak dengan wanita yang dihampirinya secara kasar. Rasa-rasa telah digantinya dengan kejujuran. Ia tidak berjanji, tidak meminta, tapi cuma merebut dan membuang. Katanya: atas nama kebebasan dan alam.
Bisa dimengerti bahwa dari pihak lain kesangsian tradisi merencanakan jaringan larangan dengan hasil yang terletak di seberang maksud semula. Roman adalah gambaran dari pergerakan ini. Apa yang diceritakan sudah lama atau belum pernah terjadi. Pembacalah, yang memberi hidup pahlawannya. Dan yang ingin dengan sugesti pengarang mengadakan eksperimen dengan masa depan pahlawan ini. Begitulah, secara teratur terpupuk kebebasan erotik.
Manusia memang makhluk yang senantiasa melampaui batas-batas pemberian alami. Dunia yang diberikannya, yang alami, diubahnya dengan alat-alat yang ia temukan. Dengan demikian dunia dimanusiakannya, setiap kali ia memungkiri eksistensi momen-nya. Ia membangun diri dalam arti bahwa ia tidak terlalu membebaskan diri dalam pemuasan kebutuhan-kebutuhannya, yang bersifat kebinatangan. Binatang tidak mengenal pembatasan.
Tapi manusia bekerja, ia tahu akan lahir dan matinya. Manusia melarang dirinya sendiri untuk menjadi binatang. Tentang larangan tadi kita kini sedikit sekali membicarakannya. Larangan tersebut telah menjadi umum dan usang. Kalau manusia bisa maka ia akan memungkiri kebinatangannya. Dengan kematian dan perkembangbiakan manusia berada dalam alam, di mana bukanlah individu yang memegang peran tetapi hidup daripada jenis-jenis. Manusia memungkiri ini dan mencemoohkan ketelanjangan yang membelenggu dirinya, untuk apa sendirian.
Dalam semua kebudayaan, seksualitas dipagari dengan larangan-larangan, di mana incest adalah larangan yang paling nyata. Di seberang kenaifan kebinatangan berdirilah aktivitas seksual dari manusia yang diwarnai dengan rahasia dan larangan. Masyarakat tidak mengorganisasikan seksualitas tapi mengatur pelarangan-pelarangan terhadap larangan agak berat sebelah, tapi tidak seluruhnya salah, adalah definisi Baudelarie yang mengatakan, bahwa: Kenikmatan paling tinggi dan cinta terletak pada kepastian melakukan yang salah (dilarang), seperti korban adalah pelanggaran dari larangan untuk membunuh, begitulah perkawinan adalah kadar ritual dari seksualitas yang diperbolehkan.
Dalam arti yang paling absolut larangan ini berkisar pada ketelanjangan. Pelarangan terhadapnya adalah tema umum dari erotik. Erotik adalah penelanjangan sebagai dan menyangkut kebalikan dari suatu gaya hidup yang telah ditentukan sebagai satu-satunya gaya yang benar. Tapi di belakangnya terdapatlah rasa-rasa bagian-bagian dan gerak-gerak badan yang bisa memalukan kita. Memang, ini adalah sebagian dari eksistensi manusia, tapi toh bagian yang mesti dirahasiakan. Terlampau naif kiranya apabila orang berpendapat bahwa seksualitas bagi kita amat alami, dan tak bermasalah, dan bahwa kita sebaiknya berhenti malu-malu. Tapi justru bidang seksualitas inilah yang merupakan lapangan, di mana keganasan dan kehalusan saling bertetangga; di mana mati secara samar-samar hadir dalam hidup pun mulai berkembang.
Erotik dan etik saling membantu dan mengisi, tapi tak pernah bisa didamaikan.
Apa yang terpapar di atas sudah cukup jelas untuk menyimpulkan, bahwa apa yang diserukan oleh nabi-nabinya yaitu kebebasan dan alam tidaklah insani dan dengan demikian tindak susila. Tidak itu saja. Tapi juga illusoir sekali, a fool’s paradise dalam arti harfiahnya. Akhirnya apa yang mereka arahi bukan tidak berbahaya karena pengejaran kenikmatan membawa mereka kepada keganasan.
Perang sabil terhadap pornografi tidak gampang karena para pramukanya yang memperjuangkan kejujuran absolut tak lain dan tak bukan merupakan penipu-penipu besar. Film-film yang terus terang menggambarkan ketidaksusilaan dan keganasan tak menyembunyikan apa-apa pada publik, juga tidak bagaimana tokoh-tokohnya sampai pada ajal. Penulis crime stories dan cerita-cerita cinta penuh naluri tak banyak berbeda. Koleksi foto-foto telanjang dijual dengan alasan: memenuhi kebutuhan seniman akan model. Cerita-cerita fantasi dengan momen-momen erotis ditulis secara massa-produksi, katanya untuk memperluas wawasan orang.
Kalau pornografi kita batasi sebagai kesenjangan untuk melukiskan yang obscene dan untuk menimbulkan rasa-rasa yang bersangkutan dengan itu pada pembacanya, maka tentu akan ada satu yang boleh muncul, tapi faktanya adalah bahwa pencetakan buku-buku itu disertai oleh motif-motif kuasi baik. Begitulah obscene ini menjadi pengertian relatif, seluruhnya tergantung pada situasi kultural dan kemampuan pembaca.
Sebagai akhir mesti kita simpulkan: Pornografi yang jujur tidak ada. Sementara pornografi yang tidak jujur itu karena licinnya bisa meloloskan diri dari tanggapan masyarakat yang mau membela diri terhadap keruntuhan batin. Dipermudah lagi karena dalam kurun zaman di mana norma-norma seksual memegang peran besar, kita amat sukar membatasi dengan jelas apa sebenarnya yang disebut obscene itu.
Tidak bisa kiranya kita harapkan tindakan-tindakan yang bersumber pada hukum. Persoalannya jangan diisolasi dengan hasil kehilangan proporsi. Apakah kita bisa menahan percobaan yang disodorkan oleh pornografi, tergantung dari pertanyaan apakah kita memiliki kesadaran akan harga diri, apakah kita dengan memaklumi kebadanan kita, menolak untuk merosot ke arah niveau binatang.
Itu memang soal kata hati, yang mesti dijaga terhadap profanisasi! Begitulah kesusilaan berarti penyadaran norma-norma etis dan estetis. Estetis, karena dipertimbangkan segi-segi kualitatif yang menjaga harga kita. Etis, karena mendorong kita ke arah yang baik.
Nritya Sundara, akhir April 1961
[Dikutip dari Sastra No.5 Tahun II, 1962, hlm. 29-30]
Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/tuhan-imajinasi-manusia-dan-kebebasan-mencipta/
Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).
One Reply to “Eros dan Sastra”