Selayang Pandang Semesta Sastra Mojokerto


Anjrah Lelono Broto *

Pendahuluan

Pembacaan terhadap semesta sastra Mojokerto merupakan sebuah pembacaan yang tidak bisa diceraikan begitu saja dari perjalanan sejarah bangsa ini dan perkembangan sastra Indonesia dari generasi ke generasi. Mengingat, karya apa, siapa yang berkarya, serta siapa pembacanya merupakan lingkaran tanpa putus identitas sastra itu sendiri. pendekatan reseptif sastra (rezeptiongeschichate) memberikan penandasan adanya lingkaran ini dengan meletakkan karya sastra dalam keterlibatannya dengan karya lain maupun kedirian pengarangnya, berdasarkan horizon harapan pembaca (Jabrohim, 2015:109).

Menelisik eksistensi Mojokerto dalam peta sastra Indonesia umumnya, dan peta sastra Jawa Timur khususnya, pada awalnya seakan memberikan penebalan pada fenomena dikotomi sastra kota besar dan sastra pedalaman. Menilik letak geografisnya, tentu semesta sastra Mojokerto eksis berada dalam lingkaran sastra pedalaman. Padahal jika dicermati lebih mendalam lagi, tanpa perlu memicingkan dahi, sejatinya banyak sastrawan-sastrawan yang lahir dan atau berproses kreatif di Mojokerto yang karya-karyanya menembus peta sastra Indonesia, bahkan masuk dalam catatan jurnal-jurnal sastra internasional.

Nama-nama empu (sastra) di era Majapahit, Iesmanieasieta, Hardjono WS, Max Arifin, Chamim Kohari, Suyitno Ethex, Dadang Ari Murtono, Moch. Asrori, Mufa Rizal, Niken Haidar, Iwan Abdillah, Moh. Saroni, dll merupakan barisan panjang para sastrawan Mojokerto yang memberi warna pada perkembangan semesta sastra di Kota Onde-Onde ini. Tentang warna apa yang ditorehkan, serta sejauh mana tarikan garisnya dalam menorehkan warna tersebut, ada baiknya mencermatinya dari paparan berikut ini.

Era Majapahit

Widarmanto (2013:93) mengatakan bahwa kemustahilan tradisi sastra muncul begitu saja, pasti ada tradisi yang telah terbentuk bertahun-tahun lamanya sebelumnya. Artinya, menjamurnya kelahiran karya sastra dan terbentuknya massa penikmat karya sastra di sebuah masa merupakan sebuah keniscayaan dari tradisi yang telah terbentuk sebelumnya. Artinya pula, semesta sastra yang dapat dinikmati dari Mojokerto saat ini merupakan salah satu bentuk metamorfosa dari tradisi yang telah berkembang di era-era sebelumnya. Salah satunya, tentu saja, era Kerajaan Majapahit.

Tradisi sastra di era Majapahit merupakan tradisi mapan di kalangan istana dan menjadi salah satu piranti pengendali massa dan menempatkan penguasa sebagai karakter setengah dewa yang untouchable dan dosa besar jika dikudeta. Dua karya sastra yang menjadi masterpiece di era keemasan Kerajaan Majapahit, Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular menasbihkan pandangan ini.

Judul Negarakertagama sendiri yang secara harfiah bermakna ‘negara dengan tradisi (agama) yang suci (Slamet Muljana, dkk, 1953:03) membawa pesan bahwa kerajaan Majapahit merupakan sebuah negara (kerajaan) yang bersendi tradisi (agama) yang mengikat raja dan rakyatnya. Raja Hayam Wuruk yang banyak dikisahkan dalam karya sastra berbentuk kakawin ini digambarkan sebagai pribadi yang arif dan bijaksana, manusia setengah dewa, dan kebijakan-kebijakan pemerintahannya merupakan perpanjangan tangah kehendak dewa yang menjadi sesembahan rakyat pada masa itu.

Di tahun 2008, UNESCO menetapkan Negarakertagama sebagai salah satu karya memori dunia (kompas.com). Penetapan ini tentu telah melewati sekian tahapan kuratorial dan motif yang menempatkan karya sastra yang lahir dari jantung bumi Mojopahit ini layak menjadi rujukan dalam membangun peradaban untuk generasi di masa mendatang.

Sedangkan karya sastra lainnya, Sutasoma, membawa spirit toleransi yang menjadi arah politik pemerintahan kerajaan Majapahit baik ke dalam maupun ke luar. Penobatan frasa bhineka tunggal ika sebagai semboyan NKRI yang dinukil dari kakawin karya Mpu Tantular ini bukan tanpa latar belakang. Selain menjadikan toleransi sebagai spirit yang direaktualisasi, menjadikan karya sastra sebagai media arah kebijakan pemerintahan sendiri pun dinapaktilasi oleh para founding fathers negara ini. Ternyata tidak hanya sejarah yang menjadi milik penguasa, karya sastra pun bisa menjadi ‘milik penguasa’, keberadaan Sutasoma  menjadi petandanya.

Mojokerto di era Kerajaan Majapahit telah meletakkan pondasi tradisi sastra yang kuat. Selain ditandai dengan dua karya sastra di atas, sekian banyak karya sastra (baik lisan maupun tulisan) pun berkembang pesat di era ini. Folklor Ken Arok-Ken Dedes, Panji, maupun Calon Arang berkembang pesat di era Majapahit. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa kisah-kisah folklor itu bersetting Kerajaan Singasari dan Kerajaan Kediri, namun menemukan pesatnya persebaran justru di era Kerajaan Majapahit (Indriati, 1998:53). Sedangkan karya sastra yang berbentuk tulisan pun tercatat ada beberapa lagi selain di atas, di antaranya adalah Arjunawijaya, Kunjarakarna,Parthayajna, Pararaton, Sudayana, Sorandakan, Ranggalawe, Panji Wijayakrama, Usana Jawa, Tantu Panggelaran, Korawasrama, dll. (Darusuprapta, 1986:02).

Greget Gregah

Sesirnanya Kerajaan Majapahit dari percaturan sejarah diikuti pula dengan surut (bahkan raibnya) progresivitas semesta sastra di bumi Mojokerto. Seiring dengan masuk dan perkembangan agama Islam dan lahir-kembangnya Kerajaan Demak beserta pesisir utara Laut Jawa, bumi Mojokerto pun mengalami kesunyian dari hiruk-pikuk semesta sastra. Bahkan, hingga datangnya kolonialis Belanda dan imperialisme Jepang, tidak ditemukan tanda-tanda berarti geliat semesta sastra di kota ini. Lain lagi, jika di lain waktu ditemukan informasi yang memberikan informasi dan keakuratan data pendukung yang memberikan fakta lain.

Hingga kemudian terbetiklah sebuah nama yaitu Iesmaniesieta (1933-2000), perempuan kelahiran Terusan, Gedeg, Mojokerto bernama lengkap Sulistyo Utami Djojowisastro ini menjadi pembangkit gregah-nya semesta sastra di Mojokerto dengan melahirkan karya-karya luar biasa. Dengan mempergunakan Bahasa Jawa sebagai media penyampaiannya, tak kurang dari 500 judul puisi, 100 judul cerpen, dan 10 cerita bersambung menghiasi media-media berbahasa Jawa yang terbit dengan lingkup nasional, di antaranya adalah Jayabaya, Panjebar Semangat, Djaka Lodhang, Mekarsari, Tjrita Tjekak, Tjandrakiranan, Mekarsari, dan Waspada (Suwondo, 2004:15).

Proses kreatif kepenulisan seorang Iesmaniesieta yang mewarnai semesta sastra Mojokerto diawali dari usia kemerdekaan Indonesia yang masih seumur jagung, di sekitar tahun 1950-an. Beberapa buku karyanya adalah Kidung Wengi Ing Gunung Gamping (1958), Kringet Saka Tangan Prakosa (1974), Kalimput Ing Pedhut (1976), Mawar-Mawar Ketiga (1975), dll. Peraih penghargaan Rancage di tahun 1999, ini namanya sebelumnya tercatat di Dictionary of Orienthal Literature (George Allen and Unwinn Ltd., London, 1974) dan Javanesse Literature Since Independen (J.J. Raas, 1976) (sastra-indonesia.com).

Gregah-nya sosok perempuan penyair dan cerpenis ini pun bak gayung bersambut dengan migrasinya beberapa nama sastrawan ke bumi Mojokerto. Meskipun di wilayah sebelumnya, beberapa nama berikut telah menunjukkan kegenialan dalam proses kreatif kesusastraannya, namun dalam perikehidupan selajutnya di Mojokerto, justru kegenialan tersebut semakin menjadi dan tidaklah berhenti. Beberapa nama sastrawan tersebut adalah Aming Aminoedhin, Harjono WS, dan Max Arifin. Semesta sastra Mojokerto pun kian menemukan denyut kehidupannya setelah sekian abad mati suri.

Syahdan Aming Aminoedhin adalah penyair kelahiran Ngawi, 22 Desember 1957. Pria yang bernama asli Mohammad Amir Tohar ini mengawali jejak kesusastraannya dari tanah kelahirannya, lanjut ke Surabaya, dan di awal tahun 2000 terdampat di bumi Mojokerto. Eks anggota Teater Persada Ngawi, pengurus Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPJS), dan penggagas Forum Sastra Mojokerto (Forasamo) ini telah menelurkan ratusan karya puisi dan dibacakan di beberapa kota di Indonesia. Karya-karyanya tersebar di media-media massa nasional seperti Republika, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Horizon, Jawa Pos, dll serta beberapa media yang diterbitkan oleh lembaga kesenian dan kebudayaan di Jawa Timur. Kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain; Husst, Nyenyet, Wajah Bertiga, Reportase Sunyi, Pagelaran, Malsasa; Surabaya Kotaku, Memo Putih, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Semangat Tanjung Perak, Kabar Saka Bendulmrisi, Drona Gugat, dll. Sedangkan buku puisi tunggal pria yang dijuluki sebagai ‘Presiden Penyair Jawa Timur’ oleh (alm) Prof. Suripan Sadi Hutomo ini adalah; Berjamaah Di Plaza, Mataku Mata Ikan, Sajak Kunang-Kunang Dan Kupu-Kupu, Embong Malang, Tanpa Mripat, Kereta Puisi, dan Sketsa Malam (amingaminoedhin.blogspot.com).

Lain Aming Aminoedhin, lain pula Max Arifin (1938-2007). Pria kelahiran Sumbawa Besar, 18 Agustus 1938 ini lebih dikenal sebagai seorang teaterawan ketimbang sastrawan. Meskipun dari tangannya banyak lahir karya-karya naskah drama dan buku-buku tentang teori perteateran, baik karya sendiri maupun terjemahan. Di antaranya adalah  Teater, sebuah Pengantar (1990), Putri Mandalika (naskah drama) 1988-1990, Matinya Demung Sandubaya, Badai Sepanjang Malam (1988), Teknik Baca Puisi, sebuah Pengantar (1990), Balada Sahdi Sahdia (naskah drama) (1992), Tumbal Kemerdekaan (naskah drama) (1987), dll. Sedangkan, beberapa buku terjemahan karyanya adalah Pemberontak oleh Albert Camus (2000), Seratus Tahun Kesunyian oleh Gabriel Garcia Marquez (2003), The Shifting Point, Teater,Film dan Opera oleh Peter Brook (2002), Menuju Teater Miskin oleh Jerzy Grotowsky (2002), Seribu Burung Bangau oleh Yasunari Kawabata (1978), maupun Orang Aneh oleh Albert Camus (1980), dan masih banyak lagi lainnya yang belum diterbitkan (www.majapahitan2.blogspot.com). Seniman yang memiliki nama asli Mohammad Arifin ini berdomisili di Perumahan Japan Raya, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto hingga tutup usia di usia 71 tahun.

Sedangkan Harjono WS (11 Maret 1945 – 23 Januari 2013) tidak kalah menariknya. Teaterawan kelahiran Bondowoso ini dikenal dunia seni peran Indonesia sebagai salah satu pencetus madzab “teater anak (pelajar) adalah teater bermain”. Madzab ini sadar atau tidak banyak dijadikan landasan kelahiran dan proses kreatif komunitas-komunitas teater pelajar di tanah air. Pribadi bersahaja yang menjadi penjabat pertama Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto ini hingga akhir hayatnya mengabdikan diri pada dunia seni dengan Padepokan Seni di Desa Jatidukuh, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto. Selain sebagai seniman teater, ternyata seorang Hardjono WS juga seorang sastrawan dan perupa yang produktif. Karya-karya puisi dan esainya menempati laman sastra media-media lokal hingga nasional. Sedangkan beberapa karyanya yang dibukukan adalah Yuk Bermain Teater, Celoteh Para Tikus dan Merpati (1995), dan beberapa lainnya.

Sekedar menambahkan, sederet prestasi beliau memang layak menginspirasi, di antaranya adalah Juara cipta puisi Jawa Timur versi Dewan Kesenian Surabaya. Tiga naskah teater anak-anak juara Jawa Timur versi Dewan Kesenian Surabaya. Tiga naskah teater anak-anak juara nasional versi Dewan Kesenian Jakarta dan Pengembangan Kesenian di Jakarta. Dua naskah teater dewasa juara nasional masing-masing versi Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan dan PGI di Jakarta.Naskah televisi juara nasional versi TVRI Surabaya. Juara puisi nasional versi sebuah harian di Jakarta. Naskah teater anak anak dan remaja juara Jawa Timur versi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur di Surabaya. Dua naskah cerita pendek juara Jawa Timur versi Dewan Kesenian Surabaya. Naskah Dongeng juara Indonesia versi BP7 Pusat Jakarta. Naskah novel (cerita bersambung) Titik Akhir juara indonesia versi harian Suara Pembaruan di Jakarta. Dua naskah drama menjadi pemenang dalam Lomba Penulisan Naskah Drama Remaja oleh Taman Budaya Jawa Timur, masing-masing Nimok Aku Cinta Kamu dan Srikandi Edan. Award khusus Teater dari Lembaga Indonesia Amerika. Naskah drama anak Layang-layang diterbitkan UNESCO Together In Dramaland bersama empat belas pengarang Asia Pasifik mewakili penulis teater anak di Indonesia (henrinurcahyo.wordpress.com).

Tiga nama di atas memang merupakan sebagian dari sastrawan-sastrawan yang bermigrasi ke Mojoketo dan meramaikan semesta sastranya. Selain mereka juga ada nama Mohammad Asrori. Lahir di Surabaya, , 24 Juni 1981. Guru SMN 2 Kota Mojokerto ini menulis cerpen, puisi, dan esai. Puisi keroyokannya terhimpun dalam Festival Bulan Purnama Majapahit (DKKM, 2010), Gugat (IKA Unesa, 2011), Berdoa Bersama (Tadarus Puisi DKKM, 2014), Memo untuk Presiden (FSS, 2014), Menebar Asa di Enam Musim (Pena House, 2014), Sang Peneroka (Gambang, 2014), Merangkai Damai (Nitramaya, 2015), Luka-Luka Bangsa (PMU, 2015), Ensiklopegila Koruptor (FSS, 2015), Kata Cookies Pada Musim (Satu Kata, 2015), Kalimantan, Rinduku yang Abadi (Pustaka Senja, 2015),  Memo Anti Terorisme (FSS, 2016), Gebyar Kasusastra, Antologi Geguritan (Balai Bahasa Jatim, 2016), Makta (FSS, 2017), dan Sang Perawi Laut (2018). Buku kumpulan puisi tunggalnya Tiga Postur Kota (Sarbi, 2015).

Ada juga nama Akhmad Fatoni, penerbit, peneliti, penulis, dan editor yang juga penyair ini memiliki perhatian terhadap teater, musik, fotografi, dan film. Ia juga penggiat KAJ (Komunitas Arek Japan). Selain itu, juga aktif di beberapa komunitas, di antaranya Forseda (Forum Sebrang Dalan), grup musik STL (Sampan Tanpa Lautan), dan Teater Lirih. Ia juga terlibat aktif dalam beberapa organisasi seperti di Lesbumi cabang Mojokerto sebagai wakil ketua (2013-2018), Lesbumi Jatim sebagai biro sastra (2013-2018) dan Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM) sebagai sekretaris bidang program (2014-2019). Lulusan S-2 Unair Surabaya ini juga mendirikan Rumah Budaya Akhmad Fatoni (RBAF) untuk pengabdiannya pada dunia literasi, kesusastraan, seni, dan budaya. Karyanya pernah dimuat di buletin Tinta, majalah Tera, majalah Ekspresi, Majalah Sarbi Kita, Majalah As-Syarif, Majalah Widyaswara, Jurnal Rabo Sore, Jurnal KAJ, Jurnal Pena Indonesia, Radar Mojokerto, Surabaya Post, Jawa Pos, Santri News, Pos Bali, dan Denpasar Post. Beberapa puisinya juga bisa dibaca di antologi bersama, di antaranya Duka Muara (KRS, 2008), Pesta Penyair Jawa Timur, (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), Si Pencari Dongeng (Dewan Kesenian Surabaya, 2010), Tabir Hujan, (Pustaka Ilalang, 2010). Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit, (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2010), Antologi Puisi Penyair Mojokerto, (Wahyu Pustaka, 2011), Pedhut Lirang, (KKL, 2012), Piknik Becak Cinta, (KKL, 2013), Tasbih Hijau Bumi (Lesbumi Jatim, 2014), Ojek Payung dan Puisi Kami (KKL, 2015). Kalau cerpennya dalam antologi bersama bisa dibaca pada, Tentang Kami Para Penghuni Sorter, (KKL, 2011) dan Pada Suatu Senja yang Mesrah (KKL, 2015). Sedangkan buku puisinya yang telah terbit yaitu Lengan Lirang (KKL, 2012) dan Tembang Dolanan (Oksana Publising, 2015). Buku esai tunggalnya Kredo Mimpi (Griya Pustaka, 2014). Sementara, buku antologi cerpennya adalah Meja Nomor 8 (MNC, 2016).

Sebenarnya masih banyak nama sastrawan muda lainnya yang mengharu biru semesta sastra Mojokerto dengan aksi-aksi tak putus dalam Komunitas Arek Japan (KAJ), Forasamo, Forseda, LISSTRA, maupun lainnya, serta dalam agenda periodik Terminal Sastra. Di antaranya adalah Syaiful Bachri, Nasrullah Habibi, Suyitno Ethex, Ira Suyitno, Chamim Kohari, Mufa Rizal, Aris Rahman Yusuf, Alvi N Dyna, Bagoes Sambudi, Bagus Mahayasa, Pungki Wardhani, serta lainnya. Akan tetapi, terbatasnya ruang ini tak dapat dipungkiri membelenggu hasrat untuk menghadirkan keseluruhan wajah semesta sastra Mojokerto di hari ini.

Namun menjadi tak lengkap jika membaca semesta Mojokerto dengan melewatkan sebuah nama yaitu Dadang Ari Murtono. Cerpenis, Novelis, dan penyair flamboyan kelahiran Sajen, Pacet, Mojokerto, 28 Maret 1984 ini hampir setiap bulan ada saja karyanya berulang kali menembus media massa nasional. Lelaki yang baru saja mengakhiri petualangan kelajangannya ini juga baru saja mengikuti program Residensi Penulis Indonesia 2018 yang diselenggarakan Komite Buku Nasional dan Beasiswa Unggulan Kemendikbud. Beberapa karyanya Wisata Buang Cinta (2013), Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu (2015), Ludruk Kedua (2016), Samaran (2017). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan bermigrasi ke Surabaya.

Puber Kedua

Ada gejala yang menarik dua tahun ini di semesta sastra Mojokerto, yaitu merebaknya gejala puber kedua. Gejala ini secara kasat mata terlihat dari meruahnya buku-buku karya sastrawan baru dalam semesta sastra Mojokerto, namun kebaruan wajah ini berbanding terbalik dengan jumlah usia masing-masing dari mereka. Mereka tak muda lagi, mereka bukan generasi milenial yang mengagumi quote-quote Tere Liye. Mereka adalah Mohammad Saroni, Annis M Tarom, Agus Pramono, Niken Haidar, Lilik MH, Sri Wahyuni Utami, Supriyadi Bro, Nur Chasanah, Damanhuri, Siti Rohmah Wahyuni, dll.

Berangkat dari kegelisahan masing-masing yang kemudian diwadahi dalam sebuah agenda workshop kepenulisan yang diampu Dadang Ari Murtono di tahun 2017, para ibu-ibu dan bapak-bapak, ini seakan menemukan oase berupa kebersamaan dalam pergesekan proses kreatif kesusastraan. Adalah sebuah fenomena unik bahwa di usia yang tak lagi muda ternyata hasrat untuk menulis cerpen maupun puisi ternyata masih meruap-meluap. Namun, latar belakang status profesi berikut atribut sosial kemasyarakatan terkadang mengurangi keliaran tumbuh-kembang imajinasi kreatif. Baru, ketika merasa bahwa ‘mereka tak sendiri’ imajinasi itu mampu dilahirkan dalam karya-karya yang menawan hati pembacanya.

Dalam kurun waktu yang relatif singkat, kurang dari dua tahun terakhir ini, belasan buku karya bersama dan atau tunggal lahir dari pribadi-pribadi yang menemukan cintanya kembali dalam fase usia puber kedua. Beberapa buku yang merupakan karya bersama di antaranya adalah Cerita-Cerita Dari Empunala (2017), Sehimpun Cerita Vania dan Velita (2017), Lelaki Kupu-Kupu dan Sahabat Sania (2017), Jurnal Cinta (2017), Bupati Roller Coaster dan Sandal Jepit Ayu (2017), Sang Perawi Laut (2018), Sepasang Merpati dari Bukit Tsur (2018), Melipat Waktu (2018), Cerita-Cerita Dari Kranggan (2018), dll. Sedangkan, beberapa karya tunggal di antaranya adalah Mohammad Saroni Surat Cinta Untuk Aimel (2017), Kata-Kata Lelaki (2017).

Adalah satu yang patut disayangkan bahwa semesta sastra Mojokerto hanya bisa dinikmati selayang pandang. Mungkin jika tak ada aral yang melintang, semesta itu akan hadir dalam sebuah wacana yang lebih utuh (lagi).
***

Trowulan-Mojokerto, Agustus 2018.

*) Penulis, Founder Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA).

Daftar Pustaka:

Darusuprapta. 1986. “Periodisasi Sastra Jawa Berdasarkan Sejarah sastra Jawa”, makalah pada Seminar Bulan Bahasa 23 Oktober 1986 di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.

Indriati, Made Sri. 1998. “Keterkaitan Penyebaran Cerita Panji dengan Migrasi Penduduk Jawa”, dalam Jurnal Aneka Widya, STKIP Singaraja, No. 2 Tahun XXXI, April.

http://amingaminoedhin.blogspot.com/2008/06/profil-saya.html (diakses pada tanggal 02 Agustus 2017).

https://henrinurcahyo.wordpress.com/2013/01/28/hardjonoisme-hardjono-ws/ (diakses pada tanggl 14 September 2016).

http://majapahitan2.blogspot.com/2006/05/biodata-max-arifin.html (diakses pada tanggal 04 Maret 2017).

https://nasional.kompas.com/read/2008/05/24/08444424/negarakertagama.diakui.sebagai.memori.dunia (diakses pada tanggal 16/09/2013).

http://sastra-indonesia.com/2009/04/mengenang-st-iesmaniasita-mutiara-yang-terlupakan-dari-mojokerto/ (diakses pada tanggal 22 Juli 2016).

Jabrohim, dkk. 2015. Teor Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muljana, Slamet, dkk,. 1953. Prapantja: Nagarakretagama. Jakarta: Balai Pustaka.

Suwondo, Tirto, dkk. 2004. Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Widarmanto, Tjahjono. 2013. Masa Depan Sastra: Mosaik Telaah dan Pengajaran Sastra. Sidoarjo: Satu Kata Books.
***

Catatan Tambahan:

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah KIDUNG – Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) edisi 40 Desember 2018.

Dadang Ari Murtono sekarang mukim di Yogyakarta per akhir 2019.
***

Leave a Reply

Bahasa »