Mulanya saya benar-benar pesimis jika mengaitkan kota kecil saya dengan potensi sastrawannya. Pasalnya di kota saya tidak ada toko buku semacam Gramedia atau Toga Mas yang banyak teman-teman temui di kota-kota besar. Kedua, saya tidak menjumpai seseorang tengah terdiam membaca buku di tempat-tempat umum, entah itu alun-alun kota, atau warung kopi yang kian hari kian menjamur di kanan kiri jalan raya. Ketiga, orang-orang di sini kurang lebih mirip orang-orang di dalam novel Tempat Paling Sunyi, atau Tanah Surga Merah.
Namun ketika saya akhirnya lulus kuliah, dan masih tidak ke mana-mana saya benar-benar salah besar. Kota kecil saya ternyata memiliki karya sastra dan sastrawan yang barangkali tidak bisa dipandang sebelah mata. Mulanya saya bertemu dengan Persinggahan Bayang-bayang, buku kumpulan puisi Bambang Kempling. Saya tidak pernah bertemu dengan Pak Bambang bahkan saya sempat berpikir Pak Bambang sudah tidak ada dan hanya Pseudo-Fiksi, bahwa di kota kecil saya pernah ada seorang penyair. Namun beberapa bulan kemudian akhirnya saya bisa melihat Pak Bambang, saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya hanya bisa melihatnya sambil mendengarkan ia berbicara dengan orang lain, tentang tombol on/off smartphonenya yang baru saja lepas dari tempatnya.
Selanjutnya kabar yang benar-benar membuat saya kian mencintai kota saya adalah kabar tentang adanya toko buku kecil di suatu kecamatan yang dikelola oleh seorang yang benar-benar mencintai sastra. Ia juga mengelola suatu situs yang menghimpun tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Sastra Indonesia. Dan sebenarnya toko buku itu pula yang telah menerbitkan buku kumpulan puisi Ngaceng, Mashuri ini. Tapi hingga hari ini (22/3) saya belum bisa berkunjung ke sana. Beberapa hari ke depan jika tuhan memberi kesempatan, saya akan berkunjung ke toko buku kecil itu untuk menemukan buku-buku menarik seperti Ngaceng, karya Pak Mashuri ini.
Nama Mashuri sendiri saya kenal saat membaca koran Kompas di tahun 2015, beberapa puisinya berhasil dimuat di sana. Saya membaca habis puisi-puisi itu. Namun saya lupa judul puisi-puisi itu. Tapi, secara keseluruhan puisi-puisi Mashuri menyenangkan untuk dibaca, hingga di ujung puisi, saya menemukan biodata penulis, saya menemukan kata Lamongan terselip di paragraf yang menjelaskan sekelumit tentang penulisnya. Entah berlebihan atau tidak saya benar-benar tercengang sekaligus senang ada orang Lamongan yang menulis puisi hingga berhasil dimuat Kompas.
Sejak saat itu saya diam-diam menyoroti Nama Mashuri, hingga akhirnya beberapa hari yang lalu saya menemukan buku beliau terselip di rak buku tua berdebu. Saya menemukan Ngaceng, kitab 99 puisi Mashuri. Ngaceng sendiri sebenarnya adalah bahasa lokal Lamongan, yang memiliki arti ereksi, bersangkutan dengan kelamin laki-laki. Pertama kali membaca judulnya saya terbayang perkara-perkara yang binal. Namun ketika membaca isinya, beliau seperti sedang mengantarkan saya ke tempat-tempat yang gelap, asing, namun saya seolah menikmati perjalanan itu dan secara tidak langsung juga berhasil melihat keindahan tempat-tempat itu. Mungkin hal itu boleh juga disebut sebagai pengalaman bawah sadar saya selama membaca Ngaceng.
Dalam puisi itu saya seolah melihat kelihaian seorang Mashuri melompat dari satu tempat ke tempat yang jauh. Jika lompatan dari satu imaji ke imaji yang lain butuh kekayaan kata atau fantasi yang berlebihan, diibaratkan sebagai kaki, maka Mashuri menurut saya telah memiliki kaki yang sangat kuat untuk melompat sejauh itu. Tidak hanya itu saja, dalam buku kumpulan puisi ini Mashuri seperti telah menunjukkan bagaimana puisi yang padat. Mungkin jika diibaratkan dengan rumah Mashuri telah berhasil memanfaatkan ruang dengan sangat efektif, tak ada ruang sia-sia di dalamnya. Dan tentunya dengan dekorasi yang menyenangkan, ia menyeleksi dengan sangat ketat benda-benda yang ingin ia masukkan ke dalam rumah. Menimbang dengan seksama apakah benda-benda itu diperlukan atau tidak. Bahkan ia juga berani memasukkan gajah ke dalam ruang tamu jika memang ruang tamu itu membutuhkan gajah. Saya menganggap Mashuri telah bekerja seperti itu dalam membangun puisi-puisi dalam buku Ngaceng.
Sementara istilah Ngaceng sendiri seolah memberi imaji pada sesuatu yang nakal, bahkan bisa dibilang kotor atau jorok, kata itu juga tentu saja tidak pantas untuk diucapkan di depan umum. Sebab memiliki makna ke arah perkelaminan, dan ketika membaca satu persatu puisinya, imaji-imaji itu terkesan baru dan tentu saja bertaburan kata-kata yang berdekatan dengan perkelaminan: payudara, farji, selangkangan. Namun buku kumpulan puisi ini seperti berusaha menunjukkan imaji-imaji yang indah dari perkara-perkara yang kerap dianggap itu suatu yang kotor dan hina. Menurut saya Mashuri telah berhasil menunjukkan imaji-imaji yang menyenangkan, baru, juga metafora yang tidak klise. Begitulah barangkali yang telah dilakukan Mashuri dalam membangun puisi-puisinya dalam Ngaceng, Kitab 99 Puisi Mashuri.
Terakhir sebagai catatan, buku puisi ini diterbitkan oleh penerbit PUstaka puJAngga yang diasuh oleh Nurel Javissyarqi, lelaki yang kata beberapa orang sangat berperan banyak dalam pertumbuhan sastra di Lamongan. Dan buku ini saya temukan di Kedai Baca Pustaka Ilalang, yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi.
25 Maret 2019
________________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com