Penyair ‘Jawa’ Iman Budhi Santosa


Helmi Mustofa *
caknun.com, 11 Jul 2019

Bersama penyair mantra-magis berakar kuat pada bahasa Melayu Sutardji Calzoum Bachri dan penyair saleh nan teduh Taufiq Ismail, penyair ‘Jawa’ Iman Budhi Santosa akan hadir di Kenduri Cinta 12 Juli 2019 ini untuk menerima Ijazah Maiyah. Ijazah Maiyah adalah sebutan di dalam lingkaran masyarakat Maiyah bagi prosesi pengungkapan penghargaan kepada sejumlah orang yang dicintai, dihormati, dan dipujikan atas otentisitas, dedikasi, keistiqamahannya dalam memberikan makna dan teladan bagi masyarakat menurut pandangan nilai Maiyah.

Pada usia 71 tahun saat ini, sebagaimana kepada dua penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, puji syukur Allah senantiasa melimpahkan anugerah kesehatan kepada Pak Iman—begitu biasa beliau dipanggil—sehingga ke mana-mana beliau masih oke mengendarai sepeda motor. Bersilaturahmi, memenuhi undangan diskusi, atau acara-acara lainnya di seputar sastra di Yogyakarta. Di kediamannya pun, beberapa anak muda atau mahasiswa datang untuk ngobrol dan nyantrik kepadanya. Anak-anak muda itu, sebagai rasa hormat, memanggil Pak Iman dengan Romo.

Seperti kita tahu, Pak Iman adalah salah satu eksponen utama Persada Studi Klub (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi yang bertitik-melingkar di Malioboro pada 1970-an. Hingga kini, 44 tahun terbilang sejak fase kreatif itu, Pak Iman masih setia di jalur (huh…kenapa mesti disebut jalur!) sastra dan kepenyairan. Dia juga orang yang menginisiatifi kumpul kembali alias reuni para sastrawan (alumni) Malioboro, dan mewartakannya kepada Mbah Nun yang juga alumnus PSK. Di situlah, Mbah Nun dengan cepat merespons positif, dan dari situ pula lahir buah bernama Majalah Sastra Sabana. Pak Iman terlibat total di dalamnya.

Pada masa-masa membidani dan menjalankan terbitnya setiap edisi Sabana dengan rapat rutin di Kadipiro, saya kerap bertemu beliau. Sekali dua kali saya juga sowan ke tempat beliau. Kendatipun sudah mulai saya rasakan sejak lama, pada awal 2000-an saat kali pertama saya berjumpa beliau, tetapi pada saat sering ke Kadipiro itulah, saya mulai merasakan lebih dalam, bahwa dalam batas keawaman saya mengenai sastra, saya merasakan Pak Iman adalah penyair yang punya kelekatan dan perhatian kuat kepada ‘kehidupan orang Jawa’.

Puisi-puisinya amat puitis-halus-indah dalam menggambarkan ragam suasana, keadaan, dan kehidupan orang Jawa. Empati dan simpati kepada mereka tertancap kuat di dalamnya. Salah satu buku yang bisa kita baca tentang susana kehidupan Jawa ini ada pada buku mungil beliau yang terbit dwibahasa (Indonesia dan Inggris) oleh Flying Island Books (2014) berjudul Wajah-wajah Jawa. Kita nikmati dua di antaranya:

Lagu Orang Bukit

Menyandarkan bukit pada langit
doamu diikuti segala rumput
pori-pori tanah
dan kabut. Sepertinya aku
menemukan pelangi
dari setiap kelopak bunga
dan mata air
di setiap dada. Kepada semak
kepada hutan menyebut saudara
rumahku juga rumahmu
kita bernapas dan senapas
mencintai bumi dari waktu ke waktu.

Orang-orang pasar malam petang sebelum berdandan

Siapakah mereka, ketika matahari
Masih ada, ketika tenda belum bercahaya?
‘Benar, kami hidup dari lampu ke lampu.
Bukankah kalian suka begitu?
Sekarang ia merasa hitam, sembunyi
di balik dinding bambu kecoklatan.
Sekarang menganyam harapan, menyanyi
Terpuruk dengan tutur keseharian.
Sekarang merenungi tikar, mencari
sisa perhitungan belum terbayar.
‘Pergilah matahari,’ mereka berbisik
Sambil menisik wajahnya dengan jarum bekas peniti.
‘Biarkan kami cantik
sejenak menari…’
Ladang hanya tanah lapang
hidup seperti belalang
sebentar kembali
meniti seutas tali
tanpa menoleh ke belakang.

Pak Iman tidak hanya menulis puisi. Beliau menulis buku, cerpen, dan artikel atau makalah-makalah lain untuk berbagai keperluan. Satu buku yang amat mengesankan buat saya adalah Profesi Wong Cilik: Spiritualisme Pekerja Tradisional di Jawa (1999). Ini buku yang apik karena menceritakan bagaimana dunia batin orang Jawa di balik jenis pekerjaannya seperti: pemikat perkutut, dukun bayi, juru kunci, pemetik teh, pemanjat kelapa, bong supit, tukang becak, penggali sumur, jamu gendhong, jagal sapi, dll. Pak Iman memotret bagaimana mereka itu memandang hidup, memahami pekerjaan dan rezeki, atau memaknai tantangan hidup. Beberapa jenis pekerjaan itu mungkin sudah tak banyak kita jumpai. Sebut satu di antaranya: penjual jamu gendhong, yang dulu kerap kita jumpai berjalan di sore hari misalnya dengan mendatangi satu rumah demi satu rumah.

Demikianlah, satu contoh mengenai kelekatan Pak Iman kepada wong cilik di Jawa. Yang belum lama ini, yakni pada 2017, Pak Iman meluncurkan sebuah buku tebal berjudul Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan. Ini juga bukan hanya apik tapi sangat langka temanya. Buku ini menyadarkan kita bahwa manusia Jawa, khususnya wong cilik, punya hubungan khusus dengan tumbuh-tumbuhan bukan sekadar berkaitan dengan mata pencaharian, atau kesukaan dan klangenan, tetapi interaksi mereka dengan tumbuhan itu menjelma sebuah dunia tersendiri.

Dalam buku itu, kita diajak berjalan menapak bagaimana selama ini tumbuhan dipahami dan didayagunakan oleh orang Jawa di dalam mengungkapkan relasi sosial, dipakai untuk menyusun peribahasa, dan yang tak kalah pentingnya adalah berlimpah nama desa atau tempat di Jawa yang diambil dari nama tumbuh-tumbuhan. Misalnya, ada pohon bernama Rawe, dan kita temukan salah satunya nama desa Gondangrawe di Boyolali; pohon Randu, lalu kita jumpai banyak tempat menggunakan Randu:, Randugading (Tajiran-Malang), Randusongo (Gerih-Ngawi), Randublatung (Blora), Tegalrandu (Ngluwar-Magelang); pohon Sulang, menjadi nama desa Sulang kecamatan Sulang (Rembang); dan lain-lain. Dengan tekun Pak Iman mencatat semua ini, dan memberikan catatan ringkas akan sejarah (sosial) tumbuhan itu.

Dua buku di atas sekadar contoh di antara buku-buku yang telah lahir dari rahim kebertempatan Pak Iman sejak lahir dalam sebuah dunia bernama Jawa. Jangan lupa pula, sebuah buku lain yang unik dari beliau. Buku tentang merokok menurut tradisi orang Jawa, makna dan fungsinya. Buku itu berjudul: Ngudud: Cara Orang Jawa Menikmati Hidup (2012). Pak Iman bukan seorang antropolog akademisi, namun perhatian karya-karyanya pada dunia Jawa dapat menyadarkan kita (baik kita Jawa, Bugis, Madura, maupun suku bangsa lainnya di Nusantara ini) akan hal-hal yang kita mungkin telah jauh lupa, atau bahkan tak kita tahu apa-apa, tentang lekuk dunia batin dan semesta simbolik yang dulu melahirkan kita. Hal-hal yang tak semua antropolog kontemporer melayangkan pandangan sama jelinya dengan Pak Iman. Sudah begitu, beliau piawai menulis puisi. Jadilah komplet. Esai, artikel, dan tulisan panjang bahan buku berperhatian pada dunia Jawa, demikian pula dengan puisi-puisinya.

Akan tetapi, Jawa bukan satu-satunya denyut nadi hidup dan perhatian Pak Iman. Beliau juga menulis buku tebal lain, sekitar 635 halaman, yang menghimpun peribahasa-peribahasa nusantara, peribahasa dari berbagai daerah di Indonesia. Buku itu berjudul Peribahasa Nusantara: Matar Air Kearifan Bangsa (2016). Tampak terang pada akhirnya dari karya dan concern yang digelutinya sebenarnya Pak Iman adalah seorang penjaga dan pelestari. Menjaga dan melestarikan khasanah falsafah, kesadaran budaya, dan simbol-simbol dunia Jawa dan Nusantara. Seluruh butir permata itu memang tak seharusnya hilang, lenyap, atau punah. Dan Pak Iman diam-diam telah berdiri di garis penjagaan itu.

Kalau lagi berbincang-bincang dengan beliau, saya suka memperhatikan kata-katanya yang di sela berbahasa Indonesia juga kerap beliau berbahasa Jawa, tentunya. Kosakata bahasa Jawa yang meluncur dari bibirnya adalah koskata sederhana dan saya mengerti artinya, namun jarang menggunakannya. Kata-kata seperti naliko, unen-unen, dan wiyar. Saya merasa diingatkan lagi akan ragam kosakata yang dulu pernah saya dengar, entah dari orangtua, kakek-nekek, atau orang-orang di masa kecil saya. Konon, salah satu penyebab melemah dan punahnya sebuah bahasa adalah karena makin sedikit pemilik bahasa itu dalam menggunakannya. Karenanya, Pak Iman telah menolong saya menjaga bahasa itu supaya tak lenyap dalam diri saya.

Tidak hanya soal kosakata. Tentang maksud bebarapa ungkapan dari pendahulu kita, saya juga beroleh pemahaman lebih jelas dari beliau. Kadangkala ungkapan itu sudah terlanjur disalahpahami atau kurang tepat dimengerti. Misalnya, alon-alon waton kelakon. Ini bukan gambaran kemalasan atau ke-lelet-an dalam bekerja atau melakukan sesuatu (mosok juga ungkapan dirancang untuk mengajak orang malas!), melainkan gambaran dari jangka panjangnya orientasi hidup orang Jawa dalam bercita-cita. Antargenerasi skalanya. Seorang ayah berkata pada dirinya: biar nggak tercapai oleh saya, mudah-mudahan tercapai oleh anak-cucu saya. Yang penting sabar, istiqamah, pelan-pelan, jatuh bangun lagi, dan terus berjalan dengan fokus yang kuat pada cita-cita. Itulah makna alon-alon waton kelakon.

Demikian juga salah satu bagian dari ungkapan sangat populer dari Raden Mas Sosrokartono: Sugih tanpa bondo, sekti tanpo aji-aji, nglurug tanpo bolo….Bagian ini yang saya maksud: Sugih tanpo bondo. Kaya tanpa harta. Selama ini umumnya kita mengira ini semacam pesan tentang tak punya uang atau harta tak soal, yang penting hatinya kaya atau hatinya baik. Juga anggapan akan tidak pentingnya harta, aset atau sumber daya. Menurut Pak Iman, bukan demikian maksudnya. Kata sugih di situ tetap bermakna punya harta, sebab kalau tidak, tidak bisa disebut sugih. Tetapi sugih-nya, atau hartanya, tidak dipakai untuk dirinya sendiri saja, melainkan didermakan bagi kepentingan masyarakat atau orang lain yang lebih membutuhkan.

Menurut Pak Iman, begitulah hidup Raden Mas Sosrokartono sendiri sebagai bangsawan. Kekayaan yang dimiliki dipakai untuk membiayai kegiatan masyarakat di sekitarnya, tak hanya untuk kebutuhan dirinya. Dia punya uang, tapi uang tidak dipegang di tangannya, tetapi diserahkan kepada orang lain untuk dimanfaatkan bagi kehidupan orang banyak. Sehingga, petikan ungkapan Sosrokartono tadi adalah ajaran kedermawanan.

Bersama Pak Iman Budhi Santosa, saya disadarkan pelan-pelan akan khasanah Jawa dan Nusantara seperti itu, sejak kosakata hingga falsafah, yang kalau tak ada yang menjaganya akan hilang perlahan-lahan. Semoga teman-teman jamaah Kenduri Cinta bisa turut merasakan dan menyerap khasanah itu dari Pak Iman. Syukur-syukur Pak Iman berkenan membaca puisi-puisinya tepat di jantung ibukota Jakarta di malam Kenduri Cinta besok.

Tanda petik pada Jawa dalam judul tulisan ini saya maksudkan untuk menekankan kekhususan semesta dalam karya-karya beliau, bukan sekadar sebagai identitas etnis atau suku bangsa yang melekat pada diri beliau. Dengan begitu, saya sendiri dapat melihat dengan gamblang bahwa Allah masih sayang sama kita semua dengan menganugerahi kita Pak Iman sebagai guru dan sosok yang sebagai pribadi berdiri pada posisi menjaga Jawa-nya, sehingga saya dan barangkali teman-teman semua sebagai generasi yang telah mengalami mixed dan hibrida secara budaya, tetap menemukan acuan (marja’) mengenai akar-akar Jawa dan Nusantara, pada beliau Pak Iman Budhi Santosa.

Selamat menerima Ijazah Maiyah, Pak Iman.

Yogyakarta, 11 Juli 2019

*) Staf pada Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng, anggota redaksi CAKNUN.COM
https://www.caknun.com/2019/penyair-jawa-iman-budhi-santosa/

Leave a Reply

Bahasa »