Tamasya Buku


Lukman Santoso Az

Membincang buku merupakan membincang hal istimewa bagi saya. Karena istimewanya, buku selalu hadir dalam tiap langkah dan sudut hati saya. Ada yang mengatakan bahwa setiap buku mempunyai pembacanya sendiri. Dan ketika saya menyebut buku ‘A’ bagus belum tentu menurut orang lain juga menilai bagus. Dalam hal ini saya sepakat dengan M. Husnaini (2016) yang mengatakan bahwa tidak ada buku yang “paling” bagus. Karena hadirnya sebuah buku memang untuk saling melengkapi buku lainnya. Sehingga saya lebih senang menyebut bahwa setiap buku istimewa.

Buku, bagaimanapun merupakan benda istimewa. Saya mengenal buku secara serius, juga di kota yang istimewa: Yogyakarta. Banyak perubahan yang terjadi dari hidup saya, yang merupakan dampak dari membaca buku. Dan buku yang akan saya ulas ini merupakan satu dari sekian buku yang mempengaruhi cara pandang saya dalam memaknai dinamika hidup dan kehidupan. Membincang buku, saya jadi teringat pernyataan Muhammad Hatta ketika dipenjara, yang pernah menulis begini: “Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas.” Pernyataan Hatta tersebut setidaknya menegaskan bahwa, meski badan terpenjara dengan membaca buku pikiran dapat bebas menjelajahi dunia.

Setiap buku terlahir juga merupakan karya istimewa bagi penulisnya. Saya jadi teringat dengan salah satu buku berjudul “Musyawarah Buku” karya Khalid Abou el-Fadl (2002) yang menurut saya istimewa. Buku tersebut mengantarkan saya pada pengetahuan tentang khasanah manuskrip Islam yang beragam yang bentuk aslinya belum pernah saya baca sendiri. Dari buku ini pulalah saya semakin yakin bahwa peradaban emas di masa lalu dibangun oleh ribuan perjumpaan, percakapan juga perdebatan orang-orang yang intens membaca buku dan begitu mencintai buku.

Demikian pula halnya dengan Kemerdekaan Indonesia, saya kira merupakan salah satu contoh dimana buku memiliki peran signifikan dalam ‘mendidik’ generasi muda untuk menjadi manusia dan bangsa yang berfikir merdeka. Sebut saja misalnya Soekarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, dll merupakan tokoh-tokoh pecinta buku, yang kemudian menjadi generasi pendobrak kolonialisme melalui perjuangan fisik dan melalui buku. Mereka sadar bahwa dalam situasi sulit dan pemenjaraan sekalipun, salah satu cara efektif untuk menebarkan gagasan kemerdekaan adalah melalui tulisan dan buku.

Dari inspirasi sebuah buku segalanya bermula. Demikian setidaknya ketika buku mampu mengalirkan energi inspiratifnya. Novel berjudul “The Alchemist” karya Paulo Coelho adalah salah satu contohnya. Novel ini saya baca di medio 2008, saat itu saya masih menempuh S1, dan sudah publish di media massa cetak.

The Alchemist diterbitkan pertama kali di Brazil pada tahun 1988 dalam bahasa Portugis sekaligus merupakan salah satu novel Coelho yang fenomenal. Pada tahun 1993, buku ini hadir dengan bahasa Inggris. Dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia serta diterbitkan pertama kali secara resmi oleh Gramedia di tahun 2006. Novel ini telah diterjemahkan dalam 56 bahasa dan memenangkan Guiness World Record sebagai novel yang paling banyak diterjemahkan dimana penulisnya masih hidup.

Novel ini adalah karya Coelho yang paling terkenal diantara karyanya yang lain. Berkisah tentang seorang bernama Santiago. Seorang lelaki penggembala yang tinggal di sebuah desa di Andalusia. Pilihannya menjadi seorang penggembala tidak lepas dari keinginan untuk berkelana ke seluruh penjuru dunia dibanding menetap di desanya.

Pengalaman “mengasuh” domba selama bertahun lamanya membuat ia begitu mengerti perihal apa saja yang diinginkan dan dilakukan domba-dombanya. Hingga pada suatu hari, lelaki yang amat tertarik untuk selalu membaca buku-buku tebal ini pun didatangi sebuah mimpi. Santiago bermimpi, bahwa ia akan mendapatkan harta karun yang bertempat di dekat piramida Mesir. Perjalanan Santiago membawanya ke Tangier serta padang gurun Mesir, dan di sanalah dia belajar tentang Jiwa Dunia, cinta, kesabaran, dan kegigihan. Perjalanan itu pulalah yang membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.

Salah satu kutipan percakapan Santiago dengan sang Alkemis adalah ketika Ia bertanya, “Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?”. Sang Alkemis menjawab, “Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada.” Pesan bijak ini mengantarkannya mengikuti suara hatinya dan berkelana mengejar mimpi.

Novel ini memberikan pesan mendalam tentang makna sebuah mimpi dan bagaimana mewujudkannya. Diksi yang digunakan penuh dengan unsur semiotika, namun dengan pengemasan yang cukup sederhana sehingga mudah dimengerti dan dapat membawa pembaca ke dalam alur ceritanya. Namun proses menuju ending itulah yang sebenarnya menjadi inti di novel ini. Bagaimana Santiago, si pengembala domba tersebut menghadapi sebuah pilihan, mengatasi masalah, hingga berisi tentang bagaimana seseorang harus memaknai cinta.

The Alchemist banyak menjelaskan tentang bagaimana sebuah takdir dan kemungkinan-kemungkinan itu ditentukan oleh diri masing-masing. Misalnya, apa yang diungkapkan oleh raja Salem kepada Santiago perihal kemungkinan alam semesta akan membantu di saat usaha sepenuhnya dijalankan dengan baik, sebenarnya dapat juga dilegitimasi dengan kehidupan dalam dunia nyata. Artinya ketika kita menjalankan hidup tanpa ada sedikitpun rasa pesimistis dan sugesti optimis terus di bangun maka semesta akan mempermudah upaya kita.

Novel ini juga dipenuhi dengan pesan-pesan moral tentang kehidupan yang dikemas dalam bentuk kutipan-kutipan bijak. Pesan-pesan yang disampaikan sedikit banyak dapat menginspirasi saya. Dari situlah Coelho kaya akan apresiasi. Sisi lain menariknya dalam buku ini adalah adanya interaksi antara budaya Moor (Arab) yang bersinggungan dengan budaya Spanyol, bahkan Coelho, menunjukkan kefasihannya mengenai ajaran Islam.

Selain itu, jika dikaitkan pada konteks latar belakang si pengarang, novel ini jelas akan lebih menarik untuk dianalisa secara mendalam. Pasalnya, kisah yang terdapat pada novel The Alchemist ini, dapat dikatakan sebagai representasi kehidupan Coelho sendiri. Konon, sebelum menulis novel ini, Coelho melakukan perenungan sekitar 11 tahun lamanya. Pengembaraan hidup Coelho sendiri terbilang cukup dramatis. Kehidupan Coelho sangat penuh liku dan menghadapi perjuangan yang tidak mudah, yang sangat menguras tenaga, batin dan bahkan akal sehat dia. Namun melalui proses perjalanan hidup itu, Coelho mendapat pencerahan yang luar biasa, dalam mengejar impiannya untuk menjadi seorang penulis.

Membaca Buku ini, seperti melihat rangkaian lika liku perjalanan hidup saya sendiri, yang telah saya lalui, sedang saya lalui ataupun bahkan sebagai suatu gambaran dan pembelajaran terhadap perjalanan hidup yang akan saya lalui di masa depan.

Mengulas sebuah buku adalah persfektif, termasuk mengulas buku novel ini. Dan tak ada perspektif tanpa menuliskannya kembali agar menjadi manusia tercerahkan. Pun saya kira penting novel ini dibaca oleh generasi saat ini!

Leave a Reply

Bahasa »