BERGURU PADA DESA

Mashuri *

Ada tiga buah desa yang sering saya dengar waktu masih kecil. Dulu, tak ada getar apa-apa, bahkan ada kesan menyepelekan. Kini, seiring laju waktu, saya tergetar sendiri ketika mendengarnya. Apalagi setelah hijrah dari kampung halaman. Ini memang soal nama, tetapi ada sesuatu yang panjang di baliknya. Sok serius nih. Aslinya, ngablak. Judul status ini pun kemoncolen.

Mungkin saya termasuk manusia Indonesia poskolonial yang magak. Yup, saya menempuh pendidikan dari tahun 80-90-an ketika Orde Baru dengan slogan pembangunan sedang di atas angin. Memang, metode pendidikannya sok modern, tapi pola pikir saya tetap kampungan. Walhasil, saya seringkali mengabaikan hal-ihwal yang berbau ndesit dan memuja yang bernama kemajuan. Mungkin karena itulah, pengetahuan saya pada khasanah tradisi compang-camping.

Centini. Saya mendengarnya sejak kecil. Ini nama desa yang terletak di kecamatan tetangga. Saya karib dengan nama desa itu, karena banyak para pekerja sawah di desa saya yang berasal dari Centini. Mereka dikenal sebagai pekerja akas dan ulet. Tak heran, sejumlah perawan desa saya kepincut, dan pada akhirnya menikah dengan orang Centini. Ketika saya di Surabaya, saya baru tahu bahwa yang bernama Centini adalah karya legendaris dalam sastra Jawa. Ketika saya menemani kawan Mario F Lawi dan F Aziz Manna berbicara tentang sastra klasik tempo hari, dan saya bicara agak banyak terkait khasanah sastra Jawa klasik, termasuk Serat Centini, saya dikejutkan oleh pengakuan ketua Dekesda (Dewan Kesenian Sidoarjo) bahwa dia dari Centini.

Pendowo Limo. Sebuah nama desa di Kecamatan Glagah. Saya mendengarnya karena di sana ada makam keramat. Pun dulu, ada pedagang ikan di kampung, yang mengaku dari sana. Ketika SMA saya baru paham bahwa itu adalah sebutan untuk anak-anak Pandudewanata dalam lakon Mahabarata dan wayang purwa. Ketika blusukan di Situbondo, di antara kampung-kampung baru yang banyak orang Madura-nya, saya terhenyak ketika menemukan dua buah naskah yang bernama Pendowo. Satu bernama Pendowo Limo, satunya lagi Pendowo Telu.

Babat. Sebuah desa yang menjadi kota kecamatan. Secara geografis, Babat memang persimpangan, selain dikenal sebagai tempat perdagangan dan wingko, juga langganan banjir. Ada budayawan Lamongan yang mengelirukan sejarahnya dengan Lapangan Bubat, tempat perang Majapahit-Sunda. Ternyata, banyak sekali naskah kuno yang berparaf babad atau babat, karena merupakan salah satu genre sastra sejarah lama. Apapun itu, saya menyukai Soto Babat. Ehm!

Cebolek. Saya mendengar keberadaan desa ini dalam waktu 12 tahun belakangan ini, ketika sering bermain ke Pati. Alhasil, ternyata desa tersebut memang tidak dapat dilepaskan dari Syekh Mutamakkin. Ia menjadi nama khasanah Serat Cebolek, meskipun secara kirata basa adalah sebagai olok-olok: cebol dan elek, atau sebentuk eufemisme, meskipun ada yang menawarnya dengan makna lain: cebol melek.

Demikianlah. Mungkin, masih banyak nama desa yang dulu tidak membuat saya tergetar, dan belakangan menyajikan nuansa berbeda. Mungkin seperti kawan perempuan pada masa kecil yang lama tidak berjumpa, tetapi ketika bersua lagi menerbitkan getar-getar di dada dan di bawahnya. Ups!.

Gituh sajah.

On Sidokepung, 2020.

_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *