HARAPAN DI BELANTARA KERISAUAN


Taufiq Wr. Hidayat *

Lantaran harapan untuk hidup, seseorang pun hidup. Tidak melakukan hal-hal yang dapat mencelakakan dirinya. Dan tidak menantang celaka.

“Mongko urip-uripo siro. Den urip jati, tan keno pati,” kata kearifan Jawa. Maka hiduplah, tuturnya. Bahwa hidup yang sebenar hidup, ialah hidup yang tak bisa mati.

Namun siapa yang sanggup hidup tak bisa mati? Tak ada! Semua manusia mati. Mati adalah pasti. Walau manusia tidak ingin mati, ia tetap saja mati. Mau tidak mau. Ketika mati dipikirkan dan dipertanyakan, jawaban akhirnya mati. Tidak dipikirkan pun, tetap saja mati. Menurut kawan saya, manusia tidak perlu mencari “ilmunya mati” atau “dalane pati” (jalan kematian). Karena mati itu pasti. Sedangkan hidup selalu meniscayakan ketidakpastian lantaran ia bergerak dan terus berubah. Di situ ribuan bahkan jutaan kemungkinan dapat terjadi setiap hari sebagai bukti adanya hidup. Besok bisa makan apa dan dapat dari mana? Nanti kita tetap sehat atau tiba-tiba jatuh sakit? Apa rencana, apa kerja, apa yang akan diolah? Apa yang harus ditempuh, dan bagaimana menjaga tanggungjawab kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali lebih penting dipikirkan, karena jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu penuh ketidakpastian, penuh kemungkinan, dan menyimpan begitu banyak peluang. Jadi buat apa mencari pengertian mati? Tanya kawan tadi. Sebab jika orang takut mati, akhirnya ia mati. Jika orang berani mati, ia malah cepat mati. Kawan saya tertawa.

Kadangkala manusia gemar menyelamatkan dirinya sendiri meski harus mencelakakan sesama. Di setiap kelakuan orang untuk saling mengungguli, sejatinya ia lemah lantaran tak ingin diungguli. Dan setelah semua pertarungan diselenggarakan, yang tersisa hanya risau dan sepi. Lantaran mati akan merenggut segala pencapaian yang dibiayai dengan penindasan dan penghancuran yang bersusah payah diselenggarakan tanpa ampun. Melihat kematian dan penderitaan, seolah parodi sejarah yang tak pernah selesai tatkala orang mencoba memasuki kesadaran kemanusiaan dan menemukan pertanyaan yang sangat mendalam dalam dirinya: “buat apa semua ini?”

“Itu bukan urusan-Ku!” kata Tuhan sambil tertawa.

Kerisauan itu pun agaknya dirasakan Ingmar Bergman, seorang sutradara mashur Swedia yang pintar. Kerisauan iman atau jiwa yang mendalam, terjadi dalam filmnya “The Seventh Seal” (1957). Di tengah kekejaman, kebusukan, ketegaan perang dan kenyataan kecarut-marutan yang mustahil, manusia patah hati pada agama. Dalam keadaan mengerikan, keterhimpitan yang tak punya jalan keluar, kemelaratan yang menyedihkan, penyakit yang mematikan, agama dan iman tak dapat memberi jawaban mendalam dan selesai atas kerisauan sejarah. Agama atau iman justru jadi alasan paling ampuh melakukan kehancuran, memupuk kebencian yang mengobarkan perang, demi kejayaan ekonomi dan kehormatan suatu bangsa. Pada yang tak tampak namun berdampak, kepanikan terjadi. Seperti virus. Orang percaya surga yang tak tampak dari seorang agamawan dan teks suci agama. Seperti orang yang percaya penyakit yang tak terlihat mata pada pakar medis dan teks perihal penyakit. Tapi kepercayaan itu, seringkali disalahgunakan. Dan orang pun terjebak pada tipuan informasi yang menderas tanpa batas. Lantaran kebenaran seringkali ditumpangi kepentingan dan tiba secara terpenggal-penggal. Orang yang sempat menyadarinya, bagai tak lagi percaya pada kebenaran yang ditampilkan, tapi memilih kemungkinan untuk meraba kenyataan. Bagi Ingmar Bergman, iman cemas di dalam dada. Risau. Dan tak terjangkau. Buat apa iman beserta segala ketetapannya jika manusia harus menyerahkan nasib pada kenyataan tanpa pembelaan, tanpa peluang dan harapan?

Sahdan, seorang veteran perang Salib, Antonius Block namanya, pulang dari medan laga. Ia telah melihat penderitaan, kematian, mayat berserakan, dan bau daging yang terbakar. Dalam perjalanan pulang, ia dicegat sosok yang tak terhindarkan oleh umat manusia sepanjang sejarah, bernama Maut.

“Waktu hidupmu selesai!” ujar Maut, “dan apakah kau telah siap sedia untuk mati?”

Siapa yang siap? Nyaris tak ada manusia siap dan mau mati. Meski ia siap mati, tapi sesungguhnya ia tidak ingin mati. Jika ada yang siap dan mau mati, barangkali karena tak punya pilihan lain dalam hidupnya. Atau dalam ketakberdayaan. Sedang di lubuk jiwanya, orang ingin berbahagia dan kekal sepanjang masa. Seperti kalimat terakhir dari sebuah dongeng pada malam hari.

Lantaran tak siap dan tak mau mati, Block mencoba melawan Maut. Itu parodi. Ia tentara yang selalu siap mati di medan perang. Tapi ketika mati itu datang hendak menjemputnya pada sisa atau di luar perang, ia justru takut menemui yang selalu tak ingin ditemui setiap orang, yakni mati. Apakah seorang pembunuh adalah orang yang melawan maut dengan pembunuhan? Tentara menembak agar dirinya tak tertembak? Alangkah sia-sianya! Itulah mungkin yang membuat Block—dalam kisah film garapan Ingmar Bergman yang ambigu itu, mengajak Maut bermain catur. Tentu saja taruhannya adalah hidup dan mati. Lalu apa bedanya permainan pertaruhan hidup dan mati itu dengan perang dan pemusnahan, dengan sikap membiarkan orang lain celaka dan sikap yang anti solidaritas? Kenangan samar namun tegas, keraguan, ketakutan, dan kekhawatiran menyerbu dada Block. Ia melawan Maut di atas meja catur. Alangkah pentingnya hidup. Alangkah berharga satu nyawa di atas meja catur dalam film “The Seventh Seal” itu. Tiap orang menyimpan kenangan dan ingatan berharga yang tak mungkin dilepaskan. Tiap orang memiliki harapan. Yang sesungguhnya tak tampak, namun ia mendampak nyata dalam hidup. Mungkin dengan begitu, ia menyadari betapa berharga hidup ini. Kebersamaan dan bahu membahu dalam maksud bersama, yakni kemanusiaan, jauh lebih berharga daripada kejayaan-kejayaan bagi diri sendiri.

Narasi Ingmar Bergman itu mirip kisah dalam khazanah Islam, yakni tokoh Nazarudin Hoja. Suatu ketika, ia dicegat Maut. Karena tak siap mati, Nazarudin pun bersiasat. Ia mengajak Maut bertaruh dalam suatu permainan.

“Bagaimana mungkin engkau akan mencabut nyawa manusia yang belum siap mati, wahai Maut?” ujar Nazarudin bermain kata-kata.

“Justru aku diutus Tuhan mencabut nyawa orang yang tidak siap mati,” jawab Maut tegas.

“Baiklah. Beri saya kesempatan untuk siap mati.”

“Tak mungkin! Yang saya bunuh pastilah yang tak siap mati.”

“Mari bertaruh! Kita lakukan sebuah permainan sederhana. Coba kau bebaskan istri dan anak-anakku, kawan dan saudara-saudaraku dari kemelaratan, perang, wabah, dan penderitaan. Kita lihat nanti. Jika aku masih belum siap mati, maka ambillah nyawaku.”

Maut menyanggupi tantangan Nazarudin Hoja. Setelah merasa aman dan damai melihat anak-istri, saudara, dan kawan-kawannya tidak kelaparan, Nazarudin pun siap mati. Dan Maut tak dapat membunuh Nazarudin, karena ia sudah tidak masuk golongan orang yang tak siap mati.

Bukankah narasi ini sesungguhnya kerisauan iman di hadapan realitas sebagaimana film Ingmar Bergman “The Seventh Seal” itu? Bagaimana seseorang dapat berpegang teguh pada keimanan tatkala keimanan itu tengah menipis, bahkan runtuh di hadapan kenyataan yang tak terselesaikan? Lalu kenapa Tuhan justru ngumpet di balik janji dan mukjizat yang tak nyata-nyata dapat menyelesaikan persoalan kehidupan, kekejian, derita, dan kematian? Bukankah iman selalu risau menghadapi kematian? Kemudian di manakah manusia, jika ia tak sudi saling menjaga dan melindungi? Kenapa orang gemar menebarkan kerisauan dalam kehidupan, padahal menebarkan harapan cukup ampuh meruntuhkan segenap kerisauan yang tak pernah selesai mencekam kenyataan?

Pertanyaan-pertanyaan itu pelan-pelan larut dalam secangkir kopi yang pekat, kental, dingin, dan pahit.

Tembokrejo, 2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »