Membaca Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono


Fatah Anshori *

Jadi teringat guru saya yang sudah tampak tua dari raut wajah hingga warna rambutnya. Ketika mengajar atau sedang memberikan perkuliahan, ianya lebih condong pada nafsunya untuk bercerita. Seolah jadi dalang, yang serba tahu segala cerita, perihal nilai-nilai hidup serta agama. Tentang sejarah juga semacamnya, termasuk perbedaan dahulu dan sekarang.

Seperti itulah naluri bercerita orang tua. Mungkin ketika kita tua nanti, akan lebih senang bercerita, ketimbang memikirkan hal-hal rumit terkait pemerintahan, kasus politik, kapitalisme, neo liberalisme dan semacamnya yang sangat teoritis itu. Dan jika terlalu lama dibicarakan, perkara-perkara rumit tersebut, tak menutup kemungkinan akan membuat rambut jadi rontok. Maaf, agak menyimpang ini, dampak dari membaca novel Hujan Bulan Juni.

Ketika novel ini terbit, kakek Sapardi Djoko Damono sudah berumur 75 tahun. Bayangkan,… dan sekarang ketika saya menuliskan ini, Kakek Sapardi sudah berusia 77 tahun, dan tujuh bukunya yang belum saya baca baru saja terbit. Sebelumnya, saya ucapkan selamat ya kakek, kembali berjumpa pada angka yang sama lagi—menyontek ucapan selamat @katakerja. Dan selamat untuk tujuh buku barunya. Semoga kelak saya bisa membacanya. Amiin.

Sebenarnya Hujan Bulan Juni adalah sebuah puisi, tentu saja kalian sudah tahu. Namun di buku ini, puisi itu diubah menjadi novel. Dari awal, saya tertarik dengan buku ini, karena ingin tahu bagaimana menovelkan sebuah puisi, tapi ketika awal-awal membacanya, saya mendapatkan lebih. Beberapa kalimat di buku ini, serupa larik-larik puisi yang dinarasikan. Sehingga saya menganggapnya memuisikan novel. Kalimat yang paling saya ingat ialah:

…menatap mata Pingkan yang selalu dibayangkannya sebagai sepasang jendela yang kalau sedang terbuka sering menampakkan sapuan warna perbukitan ketika cahaya pertama muncul. (Hlm. 10)

Dan sebagaimana orang tua yang suka bercerita ngalor-ngidul tentunya di dalam cerita-cerita itu, jika kita jeli akan menangkap pesan-pesan penting terkait nilai kehidupan. Begitulah kakek Sapardi berkelakar dan saya harus menyimaknya sebagai pendengar yang baik, serta sesekali merenungi apa yang ia sampaikan. Agar kakek tidak kecewa juga marah pada saya, he…he….

Sebenarnya tidak hanya itu saja di novel yang saya katakan tipis ini, banyak sekali percikan-percikan berharga semisal tentang sejarah Jawa. Dan kebudayaan antara Jawa dengan Manado. Pun Perkara-perkara yang bersangkutan dengan dua daerah itu.

Sebetulnya novel ini menceritakan tentang kisah cinta Sarwono dengan Pingkan. Sarwono orang Jawa asli, sementara Pingkan orang Manado yang juga memiliki darah keturunan Jawa. Mungkin seperti itu, maaf agak kesulitan menangkap arus cerita dalam novelnya. Cerita ini dituturkan oleh narator yang serba tahu, atau seperti Tuhan ia bisa tahu segala hal, termasuk apa-apa yang ada didalam kepala setiap tokohnya. Sehingga cara berkelakarnya berlarian kesana kemari. Cara berpindah yang terkadang tidak saya sadari. Itulah yang mungkin membuat saya agak keteran mengikuti cerita tersebut.

Namun tetap menarik untuk diikuti. Masalah mulai muncul ketika Pingkan jadi berangkat ke Jepang dan bertemu dengan Katsuo. Saat itulah kisahnya semakin menarik untuk disimak. Dan tentunya di sini saya tidak akan menceritakan, bagaiamana keseluruhan novel Hujan Bulan Juni ini.
***

_______________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Bahasa »