Mashuri *
“Kelintjahan gaya adalah kekuatan Boesje jang barangkali sukar ditjari tandingannja…”
—H.B. Jassin, Mingguan Angkatan Bersenjata.
Endoors dari paus sastra Indonesia tersebut terdapat pada sampul depan novel Motinggo Boesye, atau dalam ejaan kini ditulis Motinggo Busye, berjudul “Nafas Perempuan”. Kutipan pernyataan tersebut se-asolole tampilan cover novel yang mirip poster film Indonesia tempo doeloe: menggairahkan. Novel ini terbit pada 1968 oleh Mitra Books. Adapun pertama kali disiarkan pada 9 September 1968 sebagai cerita bersambung dalam harian Pelopor Baru, dan pada akhir novel, halaman 170, terdapat catatan bahwa novela tersebut berdasar pada cerita pendek “Psikopat” (1965).
Sebagaimana judul novel terkait dengan kaum hawa, ada dua tokoh perempuan, yaitu Salmi dan Zus Jul, yang membuat protagonis Kardin kalang-kabut. Kedua tokoh perempuan memiliki latar belakang berbeda, tetapi memiliki kesamaan, yaitu cantik dan seksi, dan sama-sama bernafas: kesepian.
Salmi, adalah isteri Sugeng, seorang sarjana yang menjadi pegawai sebuah kantor yang tertangkap basah menilep uang Negara demi Salmi. Setelah dibebaskan dari dakwaan berkat salah seorang anggota keluarganya yang punya kuasa, Sugeng menjadi pengangguran. Ia dihidupi Salmi. Runyamnya, ia tak lagi bertaji di ranjang. Akhirnya, ia ditinggalkan Salmi, yang mabuk kepayang pada Kardin —seorang seniman kaya yang suka ngobyek orang gedongan, dan memiliki masa lalu keluarga yang suram.
Zus Jul berbeda. Ia adalah isteri Santoso, anggota DPR GR —o iya, latar waktunya pada tahun 1965-an— yang sering ditinggal suaminya pergi dengan alasan sidang. Padahal suaminya –sebagaimana alasan klise dalam rangka sidang marathon– punya banyak gebetan. Zus Jul pun merasa tidak dihargai keberadaannya, dan dirundung sepi yang membuncah. Pada akhirnya, terjadilah… Ehm-ehm.
Selain “Nafas Perempuan”, terdapat beberapa novel Motinggo Busye yang nangkring di rak buku saya. Saya mengenal namanya dari judul buku puisi Subagio Sastrowardoyo “Keroncong Motinggo”, yang konon desas-desusnya menyatakan bahwa judul itu terilhami oleh perut Motinggo yang kerap keroncongan, naskah drama “Malam Jahanam”, dan novel filsafat “Sunu Infinata Kembar”. Konon, pengarang satu ini menjadi pionir penulisan novel picisan yang berbau seksis di Indonesia, lantaran ‘hidup’ dalam sastra serius tidak dapat diandalkan. Dari dialah, akhirnya muncul genre sejenis Freddy S-an, dan seterusnya.
Tersebab BDR, alias bekerja di rumah, akhirnya saya dapat menikmati novel-novel lezat karya Motinggo itu dengan lebih hikmat. Diantara novel lainnya, yaitu “Karena Njala Kasihmu” (Lokadjaja, Djakarta, 1967), Trilogi Tante Marjati, yaitu “Tante Marjati, Kerinduan Melawan Sepi Hati diantara Bentji dan Kekerasan” (Cetakan Kedua 1967/Cetakan Pertama 1966), “Dik Narti, Kasih Sajang Menghadapi Lelaki2 jang Gemas dan Garang (Cetakan Kedua 1967/Cetakan Pertama 1966), dan “Dipintumu Aku Mengetuk” (1967, tapi buku masih jalan-jalan, alias belum di tangan). Ketiga trilogi tersebut digarap pada 1963—1965.
Dari “Nafas Perempuan” saya mendapatkan kemiripan tema dengan salah satu cerpen atau cerkak St. Iesmaniasita, yang terhimpun dalam kumcer “Kidung Wengi Ing Gunung Gamping” (Balai Pustaka, 1958). Penulis perempuan fenomenal dalam jagat sastra Jawa modern asal Mojokerto tersebut menyajikan tema-tema keseharian, dan absurditas cinta dan nasib dalam kumpulan cerkaknya. Diantaranya yaitu Kembang Melati Segagang, Wengi ing Pinggir Kali, Lingsir ing Pesisir, Gerimis, Lagu Kang Wekasan, Djigrug, Ing Suraning Rembulan, dan Ing Sawidjining Wengi.
Persoalan yang dialami Salmi—Sugeng—Kardin dalam “Nafas Perempuan” hampir sama dengan persoalan yang melingkupi Suryatinah—Wisnu—Hardiman dalam “Gerimis”, yang dalam bahasa ngakademik disebut sebagai relasi intertekstual. Suryatinah, yang sudah diperistiri Wisnu pun berpaling pada Hardiman karena alasan ekonomi. Namun, penggambaran Iesmaniasita lebih mengiris dalam “Gerimis”. Hal itu karena endingnya: Suryatinah mati di depan rumah di bawah gerimis, tanpa diketahui siapapun. Dan, cerkak-cerkak Iesmaniasita dalam kumpulan cerkak tersebut memang selalu terkait dengan hubungan laki-laki dan perempuan, yang berakhir muram dan tragis semua.
Kedua karya tersebut adalah produk budaya pada era di bawah tahun 1970 dan dalam perspektik Sastra (dengan S besar) yang kini mulai agak bergeser, dapat dikelompokan sebagai ‘sastra marginal’ alias sastra subordinat —meskipun pandangan tersebut, konon, dapat bergeser sewaktu-waktu tergantung pada banyak hal. Novel-novel karya Motinggo kadung dikotak sebagai sastra popular dan karya St. Iesmaniasita dikotak sastra daerah (Jawa).
Ada satu lagi yang masuk ‘sastra marginal’ pada zamannya, dan sering dilabeli sebagai sastra tradisional, terutama yang ngendon dalam manuskrip kuno. Salah satunya berikut ini, apalagi juga ada label: kontraversial. Meski dianggap marginal, tetapi karya ini telah melahirkan banyak karya dahsyat dalam jagat sastra Indonesia modern, yaitu Calon Arang, alias Si Janda dari Girah.
Poerbatjaraka, yang karib disapa Pak Poerba, telah menerjemahkan cerita tersebut dari manuskrip kuno koleksi Juynball berbahasa Jawa Kawi ke dalam Belanda dan diterbitkan KITLV. Selanjutnya, pada 1969, tulisan Pak Poerba dialihbahasakan oleh Soewito Santoso ke dalam Bahasa Indonesia. Pada tahun 1975, diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Dalam bagian ketiga, terdapat sebuah gambaran yang menakutkan mirip Corona: “Mahisa Wadana masuk rumah melalui dinding, dan orang seluruh rumah menjadi sakit. Wokcirsa masuk ke tempat tidur orang-orang melewati atap dengan membuka langit-langit, meminta korban darah mentah dan daging mentah….” (h. 29).
Lalu apa hubungannya karangan Pak Poerba dengan karya sebelumnya. Kayaknya antara ada dan tiada. Mau mikir dulu, seperti anjuran Cak Lontong. Hmmm.
Gitu ajah.
On Sidokepung, 2020.
_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.