PENYAIR YANG BERDARAH-DARAH

https://www.youtube.com/watch?v=Q04WKnlCp7E
Taufiq Wr. Hidayat *

Seorang tokoh fiksi dalam sebuah drama radio karya agung S. Tidjab yang termashur, pada tahun 1989, berjudul “Tutur Tinular”, menggemparkan udara dengan puisi-puisinya. Dialah Arya Dwipangga, seorang penyair legendaris dan nyaris menjadi mitos, dengan jejuluk Pendekar Syair Berdarah. Kehebatannya dalam berpuisi, membuatnya menjadi penyair istana Prabu Jayanegara. Arya Dwipangga mendapat jejuluk baru yang penuh kewibawaan, yakni Resi Mahasadu, yang bermakna lurus dan baik. Ia bertobat dari “jalan gelap”. Agaknya sebagai penyair, Arya Dwipangga menemukan terang setelah ia habis ditelan dan disiksa kegelapan jiwa. Sungguh dramatis!

Sahdan, Empu Hanggareksa dikarunia dua orang putra, yakni Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu. Arya Dwipangga tidak gemar kanuragan, ia tak suka kekerasan. Jiwanya lembut. Ia punya minat pada puisi. Ia menciptakan puisi-puisi. Pada tahun 1989, puisi-puisi Arya Dwipangga menggelegar merobek langit dari suara radio-radio yang diputar nyaris di setiap rumah, warung kopi, dan pasar yang ramai. Puisi-puisi awal Arya Dwipangga itu, ia tulis untuk menaklukkan perempuan cantik berkulit langsat, kembang desa yang bersih dan segar, bernama Nari Ratih. Padahal Arya Dwipangga tahu, Nari Ratih adalah kekasih Arya Kamandanu, kakaknya. Nari Ratih terjatuh diserang puisi-puisi asmara Arya Dwipangga. Gadis kembang desa yang segar itu hamil, melahirkan anak laki-laki bernama Panji Ketawang. Ia pun memperkosa Mei Shin, gadis Mongolia yang putih, lantaran puisinya tak sanggup menjatuhkan Mei Shin ke dalam pelukannya. Mei Shin melahirkan anak dari sang pendekar penyair itu, bernama Ayu Wandira. Sebab klasik perang dan kebencian dalam sandiwara radio yang disiarkan dan dipancar-luaskan oleh PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) ini, seolah mensahihkan watak dasar kekuasaan hingga hari ini. Perang tak hanya sebab ekonomi. Ia hanya alat untuk menguasai, dan penguasaan terbesar adalah penguasaan manusia atas manusia.

Dendam Arya Dwipangga membuatnya membocorkan keberadaan perempuan Mongolia yang cantik bernama Mei Shin di rumah Empu Hanggareksa. Mei Shin adalah buronan Kerajaan Kediri, lantaran ia telah membawa lari Pedang Naga Puspa, karya agung Empu Ranubaya. Empu Ranubaya ditawan dalam kerajaan Kubilai Khan. Ia menciptakan pedang Naga Puspa dalam penjara. Namun pedang sakti itu menjadi rebutan para pendekar, karena kesaktian pedang tersebut akan menghancurkan siapa saja yang melawannya. Senjata menjadi alat berkuasa. Empu Ranubaya memberikan pedang itu pada sepasang pendekar bernama Lo Shi Shan dan Mei Shin. Empu Ranubaya berpesan, agar pedang Naga Puspa jangan sampai jatuh ke tangan pendekar yang berwatak jahat. Karena senjata yang digunakan manusia jahat, akan memusnahkan. Narasi klasik ini tak habis hingga zaman berganti-ganti.

Di bawah pimpinan Empu Tong Bajil dan Dewi Sambi, para prajurit Kediri membumihanguskan rumah Empu Hanggareksa. Mei Shin selamat. Namun Empu Hanggarekasa dan Nyi Rongkot tewas di tangan Empu Tong Bajil, pendekar jahat yang selalu meludah ketika berbicara. Arya Kamandanu marah. Ia menghabisi kakaknya, Arya Dwipangga, yang telah menyebabkan keributan tersebut. Arya Dwipangga babak belur. Terjatuh dalam jurang. Ia diselamatkan Ki Watukara. Ki Watukara inilah yang mengajarkan kanuragan pada Arya Dwipangga. Ki Watukura adalah orang berumur tua yang ganjil dan asing. Ia digambarkan pula seorang yang menggemari puisi. Ki Watukara mengajarkan kesaktian pada Arya Dwipangga, yakni Ajian Kidung Pamungkas, dan mewariskan senjata Pedang Bulan Sabit Kembar. Ia pun dijuluki sebagai Pendekar Syair Berdarah.

Perjalanan panjang seorang penyair yang bernama Arya Dwipangga dalam sandiwara radio yang mashur ini, begitu berliku. Pada akhirnya ia mengalami kebutaan karena terkena kutukan Resi Wisambudi. Kebutaan inilah yang membuat puisi-puisinya semakin kelam, gelap, dan absurd. Arya Dwipangga kembali ke jalan akhir hidupnya dengan penyesalan yang panjang. Ia menjadi penyair istana, berjuluk Resi Mahasadu.

Barangkali benar, puisi adalah cermin suatu zaman. S. Tidjab sepertinya hendak menumpahkan kegelisahannya melalui puisi-puisi Arya Dwipangga dalam sandiwaranya. Dalam sandiwaranya itu, Arya Dwipangga berpuisi.

Ketika kata-kata sudah tidak bisa menjawab tanya
Maka bahasa pedanglah yang bicara, bahasa para ksatria
Bahwa bumi menuntut sesaji darah manusia
Pedang!
Taring Betarakala sedang diamuk murka
Amarahnya menelan rembulan jadi gerhana
Bumi!
Gelap pekat menangis air mata merah
Gemerlap kilat pedang menusuk dunia
Darah mengalir dari ujung pedang kekuasaan
Tergelar dari ujung pedang
Sebagaimana derita juga tergelar dari ujung yang sama

Barangkali teror adalah suatu pernyataan yang diulang-ulang seperti sebuah kebenaran. Orang diteror informasi yang berulang-ulang menjejalkan tekanan. Apa yang sesungguhnya tidak ada, akan tampak sangat nyata, lantaran kebohongan yang diulang-ulang oleh informasi itu terus menerus meneror kesadaran dengan mempernyatakan yang sesungguhnya omong kosong. Ia pun menjadi “tahayul modern”, menjadi mitos yang diyakini kebenarannya.

Afrizal Malna menulis puisi “Penyair Anwar” dalam kumpulan “Abad yang Berlari” (1984). Ia seolah hendak menyindir, ada mitos di balik sosok seorang penyair. Ada mitos di balik bahasa. Ada mitos dalam kehidupan sehari-hari. Ada hantu di situ. Ada tahayul di sini.

PENYAIR ANWAR
Afrizal Malna

Aku mengaji, anwar anwar
Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang tanah yang ditutup senja, anwar anwar
Berlari seperti kura tak henti membawa jagat
Irama abad, anwar anwar
Berdentang-dentang dalam dagingku
Minta perawan dalam sesaji langit yang jauh
Anwar membelah tubuh jadi kota mengalir
Menyimpan tanah dari hujan dan padi-padi
Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging
Dihembus pasar ke pohon-pohon sunyi
Jadi penyair seribu tahun. O
Makani Tuhan dalam kuburmu anwar anwar
Aku orang sunyi berlalu dalam cerita
***

Langit pun senja. Ketika seorang penyair ingin hidup seribu tahun lagi, kata Anwar. Dan di balik kegelapan, entah siapa tertawa. Diam-diam menyimpan komedi dalam sunyi.

Sobo, 2020

_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »