PERAHU DAN ORANG-ORANG YANG MENANGIS


(Penari, Lukisan Ndix Endik, Cat minyak di kanvas)
Taufiq Wr. Hidayat *

Apa gerangan yang memiliki ciri-ciri mirip manusia dan mirip binatang, tetapi tak tampak oleh mata? “Bongso alus” kata orang Jawa. “Tan kasat mata” katanya. Ia boleh saja virus atau bakteri. Namun bagi orang Jawa, jenis jasad renik seperti virus atau bakteri, bukanlah “bongso alus”. Melainkan “bongso kasar” yang bentuknya kecil tak tampak secara mata telanjang. Ia akan tampak dengan cara tertentu. Yang “alus” itu—bagi orang Jawa, tak lain segala gerak dan “owah-gingsir” (perubahan) dalam pikiran dan jiwa manusia.

Di situ kecemasan dan kegelisahan, harapan, dan juga kehendak-kehendak yang tak bersuara dan sebelum kata-kata. Itu kiranya yang mengasingkan manusia, bahkan dari dirinya sendiri. Atau yang menyatukan dirinya dengan mengenali kediriannya yang sejati. Wedhatama mencatat kegelisahan manusia yang terasing dalam hiruk-pikuk dunia, kehendak tanpa batas yang justru membuktikan ketakberdayaan yang rapuh, ketaksanggupan meraih apa yang sudah di depan mata. Kehendak dan kemelimpahan di depan mata, di sekeliling, justru tak menjadi sarana meraih keutuhan dengan yang lain. Selalu realitas terjadi di luar dugaan dan pengandaian. Manusia tak sanggup bertahan dalam sepi, pun tak dapat mengalahkan kehendak dan keinginan dalam kesibukan waktu. Atau ketakutan dan merasa terancam. Ia mesti melihat dirinya yang hanya terlihat pada diri lain, pada kenyataan yang sering dikacau ambisi saling menguasai.

tan samar pamoring suksmo
sinuksmo winahyo ing ngasepi
sinimpen telenging ati

Di dalam sepi yang melubuk-hati, Wedhatama mencatat kemanusiaan yang seharusnya dikokohkan upaya-upaya sepenuh jiwa, dengan kasih-sayang, di mana ia berkenalan dan mengenali jatidirinya. Mendengarkan suara halus tidak dengan telinga.

Di dalam waktu, segala makhluk, yang baik dan yang jahat, berenang. Sejatinya manusia itu memang baik. Adanya kejahatan lantaran manusia kehilangan yang baik dalam dirinya, bagaikan kegelapan yang hakikatnya keadaan tanpa cahaya. Dalam jungkir-balik baik-jahat, cinta-dendam-benci, manusia tetaplah pusat dan dirinya sendiri. Seyogianya ia kokoh dengan nilai kemanusiaannya. Dalam waktu beserta penanda-penandanya, manusia mengisi ruang, menciptakan peristiwa. Orang Jawa menembangkan nada “sekar pangkur gedhong kuning” pada puisi magis “Singgah-singgah” yang termashur, mantra pengokoh jiwa melewati realitas ruang-waktu dan peristiwa.

singgah-singgah kala singgah
pan suminggah
durgakala sumingkir
sing-asirah sing-asuku
sing-atan kasat mata
sing-atenggak sing-awulu sing-abahu
kabeh pada sumingkira
balio ing telenging jalanidi

aja anggodha lan ngrencana
apaningsun ya sun jatining urip
dumadiku saka henu
heneng henenging cipta
singgangsana ing tawang-tawang prajaku
sinebut pura kencana
bebetenging rajeg wesi

Enyahlah! Enyahlah segala celaka waktu, bencana, kejahatan, kekejian yang menjelma wujud “malih rupa” (berubah-ubah) pada diri manusia; yang berkepala, kaki-tangan, yang tampak, yang tak tampak, berbulu binatang. Semua terkandung dalam diri manusia, mencemari kala setiap peristiwa, setiap jelma. Doa atau mantra itu dipanjatkan seraya menyadari kelemahan diri, menyandar Sang Hyang Murbheng Dumadi. Janganlah keji kebinatangan mendesak dan bersiasat jahat pada manusia, sebab manusia sejatinya hakikat hidup, terbentuk dari sifat ketuhanan. Dalam diam, ia sanggup melakukan apa pun, dari langit kerajaan asal, yang istana kencana, dibentengi pagar besi kekokohan. Ke mana diusir kekejian dari kehendak jahat manusia itu? Ke lubuk samudera! Pada muasalnya. Ke dasar kehidupan, ke dalam lubuk jiwa yang sepenuhnya gelap, tanpa cahaya. Ia perlu diterangi kesadaran, agar menjelma daya membela hidup yang layak. Sebentuk upaya, yang dalam teks suci: “minadh-dhulumati ilan-nur” (dari gelap menuju cahaya).
***

Dalam karyanya “Im Horizont des Unendlichen” (Dalam Horison Ketidakterbatasan), Nietzsche mengibaratkan segala nilai adalah perahu. Bukan kapal yang kokoh dan mapan. Keruntuhan nilai hanya dapat dicapai tatkala manusia meniadakan segala nilai. Dengan perkataan lain: dibongkar. Terciptalah nihilisme. Namun dalam menghadapi ketiadaan atau keruntuhan nilai itu, ia tak bersikap diam (pasif). Tatkala ia telah mengafirmasi keruntuhan makna dan nilai, ia ternyata tak dapat menanggalkan kenangan dari nilai dan makna yang lampau. Ia seharusnya menyelenggarakan “pembalikan nilai”, menjelma yang aktif, yang kritis. Ia senantiasa mempertanyakan segala nilai segala makna yang telah mapan. Pun setiap peristiwa dan perubahan. Ialah melakukan penilaian ulang segala nilai yang telah ada dan mapan, yang menjadi beku bagai berhala—apakah ia yang bersumber dari kekuasaan maupun keyakinan. Tak ada nilai dan makna absolut dan mutlak yang ditanggung kebenaran dan manfaatnya oleh Tuhan. Atau kekuasaan. Ia harus membebaskan diri dari yang absolut yang menangung keselamatan dirinya dan dunia. Dan saat segala nilai menjelma absolut, manusia perlu meninggalkannya. Maka ia bagai menumpangi sebuah perahu yang sejatinya rapuh untuk mengarungi samudera ketakberhinggaan. Tak ada akhir dari pelayaran, tak hendak mencapai sebuah pulau untuk berlabuh dan merasa aman. Melainkan terus-menerus dalam pelayaran. Terus-menerus dalam gelora kesadaran menghadapi samudera tanpa batas. Dan jika “perahu nilai”—yang memang rapuh tersebut, mengalami rusak, ia harus membuangnya kemudian mengganti “perahu nilai” itu dengan “perahu nilai” yang baru.

Di tengah segala yang tak selalu menyajikan kebenaran secara utuh, apa yang dibentuk oleh media, harus dipertanyakan, dibongkar, dan dinilai ulang ketepatannya di tengah kehidupan. Lantaran segala ketakutan tak lain karena tiap orang selalu ingin merasa aman tanpa aktif menciptakan keamanan yang sesuai dengan keadaan hidupnya. Sedang dunia bukanlah tempat yang aman dalam diam. Melainkan ruang pergulatan tiada tara, tiada muara. Dan di dalam segala pergulatan itulah, keamanan diciptakan. Bukan diandaikan. Orang takut penyakit, tapi ia tak pernah berani meyakini dirinya sebagai makhluk berakal yang dapat mengatasi penyakit. Tanpa keberanian dan kemantapan sikap memedomani nilai baru yang ditegakkan dari reruntuhan nilai lama atau yang menindas, keamanan hanyalah ilusi dan khayalan. Lantaran “ilusi keamanan” itu diselenggarakan atas kuasa dan ancaman. “Keamanan yang didasarkan pada senjata dan kekuasaan adalah penindasan,” ujar WS. Rendra. Senjata, penyakit, dan kesempitan adalah ancaman. Sedang kekuasaan menertibkan pandangan orang banyak pada satu pengertian yang seragam. Samudera tanpa pantai dalam Nietzsche itu, seolah digambarkan dalam pengertian spiritualitas Jawa. Orang Jawa berkidung.

samudro agung tanpo tepi angrambahi endi kang aran Alah
tan loro tetelu
kawulane tanno wikan
sirno luluh kang aneng datullajati
kang aran segoro purbo

sembahyang ngiras nyambut damel
lenggah sinambi lumampah
lumajeng salebeting kendel
ambisu kaliyan wicanten
kesahan kaliyan tilem
tilem kaliyan melek

samudera luas tanpa tepi
mencari di mana sebenar berjuluk Tuhan itu
bukan yang kedua atau yang ketiga
manusia tak mampu mencapai
melainkan musnah dalam zat Tuhan sejati

sembahyang sekaligus kerja
duduk juga berjalan
berubah-gerak dalam diam
bisu sambil bicara
bepergian sembari tidur
tidur sekaligus terjaga

Dalam segala pergulatan, selalau banyak orang yang menangis, kata Hamid Jabbar. Penyair agung Indonesia itu, menuliskannya dalam sebuah puisi. Masih boleh manusia berharap, menghikmati air mata, kemudian berangkat melanjutkan hidup, mengolah hidup, memperjuangkan hidup, tak ada ketakutan dan ancaman. Hidup adalah hidup saja. Baiknya puisi Hamid Jabbar itu ditulis utuh di sini.

BANYAK ORANG MENANGIS KEKASIH
Hamid Jabbar

banyak orang menangis, kekasih, banyak orang menangis sepanjang gang sepanjang hari-hari menangis seperti ayam, di matamu, banyak orang mengalir sepanjang lambai sepanjang sangsai meleleh di pipimu, kekasih, di pipimu sayang banyak orang dalam tangis rasa-tak-sampai membadai

badai orang begitu perih menangis sepanjang gang badai ayam begitu letih berkotek berkandang-kandang badai pipimu begitu pedih meraih sesayat terang kekasih, sementara hanyalah ini: gerimis sunyi dan sekalah matamu dan eramlah telur Columbusmu benua sayang surga yang hilang!

1981

Sumber: Horison, No. 4. Th XVIII, April 1983

Kemudian siapa yang jatuh menderita di dalam ketakutan? Tak lain orang-orang yang kerja sehari buat makan sehari. Sedang para raksasa diam-diam tertawa atas ketakutan yang menimpa umat manusia. Tapi hidup tetap terus harus dikerjakan, kekhawatiran harus dilawan, dan ketakutan musti ditundukkan. Meski “badai pipimu begitu pedih meraih sesayat terang kekasih,” katanya.

Sobo, 2020

_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *