SASTRA PANDEMI-INFODEMI COVID-19 (2)


Djoko Saryono *

/3/
Bisa dikatakan, sekarang seluruh dunia sedang dihempas-kandas gelombang badai wabah pandemi virus korona baru yang mendatangkan penyakit virus korona baru (yang disingkat COVID-19 – COronaVIrus Disease 2019). Semua orang, masyarakat, pemerintahan, wilayah, dan atau negara merasakan kecepatan dan keluasan hempasan COVID-19 sehingga mengalami kepanikan moral, sosial, ekonomi, dan politik akibat tidak siap, kurang siaga, dan kurang daya sangka. Semua kalangan tidak ada yang benar-benar siap dan siaga mengantisipasi, menanggulangi, dan mencegah pandemi COVID-19 yang memiliki daya biak dan daya tular cepat sekali. Tidak tersedia sistem manajemen krisis kesehatan dan sistem migitasi bencana yang siap digunakan untuk menanggulangi dan mencegah secara efektif wabah pandemi penyakit menular COVID-19. Di samping itu, juga tidak tersedia sistem pengetahuan siap pakai untuk mengatasi COVID-19 karena sebagai penyakit baru deskripsi tentangnya masih minim, alam proses, dan terus berubah. Secara global semuanya – baik individu, institusi, komunitas, maupun negara – terdampak COVID-19 beserta segala ikutannya. Tak heran, ketakutan, kecemasan, dan kesilangsengkarutan yang masif dan internsif terjadi di mana-mana dan di kalangan siapa saja. Paradoks, kontradiksi, dan ambiguitas merebak dan marak dalam pikiran, langkah, dan tindakan individu. Bisa dimengerti kalau Slavoj Zizek kemudian menulis buku Pan(dem)ic! COVID-19 Shakes The World (Maret 2020, New York: O/R Books) – seluruh dunia sedang tergulung-guncang COVID-19.

Selain berbagai negara, institusi, korporasi, dan komunitas, individu dan kelompok masyarakat sudah pasti tidak tinggal diam. Semua tidak mau menyerah begitu saja, “lempar handuk begitu saja” berhadapan dengan jazad renik mikroba bernama virus korona baru. Sesuai kapasitas, otoritas, kemampuan, kesempatan, dan kesempatan masing-masing, mereka berupaya, berbuat, dan bertindak untuk melakukan sesuatu guna mendukung penanangan, penanggulangan, dan pencegahan pandemi COVID-19. Kalangan pemerintahan, kalangan bisnis dan perusahaan, kalangan profesi, kalangan pekerja, kalangan masyarakat awam, kalangan komunitas, dan lain-lain bahu-membahu (kadang bersinggungan, kadang bertabrakan akibat kekalangkabutan) melaksanakan berbagai kegiatan untuk menanggulangi dan mencegah COVID-19 beserta dampak ikutnya; baik kegiatan preventif maupun kuratif, bahkan antisipatif.

Kalangan kesenian (baca: pekerja seni atau seniman) merupakan salah satu kalangan yang ikut terdampak gempuran badai dahsyat COVID-19 yang dengan sekuat daya dan upaya disertai semangat kuat melakukan kegiatan baik kegiatan berkenaan dengan penanggulangan COVID-19 (boleh dibaca: kegiatan kerelewanan dan filantropi) maupun kegiatan kesenian (boleh dibaca: kegiatan profesional) di tengah gempuran cepat pandemi COVID-19. Di tengah bayangan-bayangan (di-/me-)seram(-kan) wabah pandemi COVID-19 yang merambat melalui media sosial dan media digital/elektronis, sensibilitas, sensitivitas, dan bahkan responsivitas kalangan kesenian atau pekerja seni diejawantahkan ke dalam karya seni mereka dengan berbagai modus dan medium yang mungkin. Perupa, penari, pemusik/pencipta musik/penyanyi, sastrawan, dan lain-lain berusaha berkarya di bidang masing-masing secara kontekstual. Di tengah himpitan situasi batas dalam pengertian Karl Jaspers (sok gaya saja!), mereka merespons berbagai peristiwa dan atau pengalaman berada di dalam dan berhadapan dengan wabah pandemi COVID-19 di dalam karya seni mereka masing-masing. Sekadar catatan tambahan, Jaspers (sang filsuf eksistensi – bukan eksistensialis – dari Jerman itu) berkata bahwa manusia selalu berada di dalam situasi batas umum dan khusus – situasi batas umum berupa faktisitas dan nasib dan situasi batas khusus berupa kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan. Jadi, di dalam berbagai situasi batas yang tersedia di tengah kepungan fakta-fakta dan tafsir-tafsir/imaji-imaji wabah pandemi COVID-19, masing-masing pekerja seni atau seniman menciptakan karya seni sebagai respons pandemi global COVID-19.

Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan beberapa karya seni sebagai wujud respons pandemi global COVID-19 yang dihasilkan oleh beberapa cabang seni. Pertama, sebagaimana tampak pada akun FB, Cak Marsam Hidayat membuat kidungan jula-juli berjudul Ngidung Jula-Juli ndik Omah Ae [Menembang Jula-Juli di Rumah Saja] (lihat postingan 17 April 2020 di akun Cak Marsam Hidayat) dan Ngidung Jula-Juli Korona (lihat postingan 22 Maret 2020) sekaligus menembangkannya. Selama masa darurat pandemi COVID-19, Cak Marsam hampir setiap hari menciptakan kidung Jula-Juli berkenaan dengan wabah pandemi COVID-19 dan diunggah di akun FB-nya. Kedua, Sawir Wirastho membuat lukisan-lukisan berbahan cethe (ampas kopi) yang berkenaan atau berkaitan dengan dimensi-dimensi wabah pandemi COVID-19. Lukisan-lukisan itu sering diunggah di akun FB Sawir Wirastho. Selain pelukis, berdasarkan resepsi dan persepsi serta pilihan objeknya, ada pula para kartunis yang membuat kartun-kartun tentang berbagai aspek dan dimensi wajah pandemi COVID-19. Ketiga, dengan mendayagunakan teknologi digital yang terjangkau dan memungkinkan, pencipta lagu atau pemusik menciptakan lagu atau musik berkenaan dengan aspek tertentu COVID-19. Bimbo menciptakan lagu Corona Datang yang sempat heboh karena berkembang informasi sudah dicipata 30 tahun lalu. Redy Eko Prasetya melalui Saling Silang Bunyi Online Music Room mengajak kawan-kawan pemusik berkolaborasi memainkan komposisi tertentu sebagai respons COVID-19 melalui medium digital. Keempat, dengan difasilitasi oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbud melalui pertunjukan daring yang disiarkan lewat Youtube, berbagai seniman pertunjukan (tari, teater, musik, lukis, dan lain-lain) menggelar pertunjukan digital guna merespons situasi pandemi COVID-19. Keempat ilustrasi di atas menggambarkan kreativitas dan inovasi para seniman di tengah situasi batas wabah pandemi COVID-19. Terobosan-terobosan kreatif atau inovatif dilakukan oleh seniman atau pekerja seni di antara guncangan global COVID-19.

/4/
Dalam situasi-situasi batas yang dihadapinya, penulis sastra atau lebih khusus sastrawan (di) Indonesia juga merupakan kalangan kesenian yang dengan penuh semangat dan semarak ikut merespons wabah pandemi COVID-19. Berbagai peristiwa yang berkenaan dengan gonjang-ganjing wabah pandemi COVID-19 disaring dan disuling sedemikian rupa untuk dijadikan pokok persoalan karya sastra yang mereka anggit. Demikian juga berbagai pengalaman baik psikologis, personal, subjektif maupun sosiokultural, sosial, dan objektif diolah begitu rupa menjadi teks sastra berbentuk puisi dan fiksi. Sensibilitas, sensitivitas, dan atau responsivitas para pengarang (di) Indonesia terhadap “seribu wajah” pandemi COVID-19 tertuang dalam karya sastra terutama puisi dan cerpen. Sampai tulisan ini dibuat memang belum tersiar kabar ada novelis menggarap novel dengan pokok persoalan COVID-19. Kita berharap kejadian luar biasa yang menyedunia ini juga sedang memantik rangsang kreatif para novelis sehingga kemudian akan lahir novel-novel, melengkapi puisi dan cerpen tentang “tragedi kemanusiaan” wabah pandemi COVID-19.

Puisi dan cerpen seputar gonjang-ganjing pandemi COVID-19 yang dihasilkan oleh para penyair dan penulis cerpen (baca: cerpenis) Indonesia dapat berisi refleksi, resepsi, persepsi, interpretasi, bahkan prediksi “seputar pagebluk COVID-19” yang tentu saja diolah dengan imajinasi dan stilisasi tertentu oleh pengarang. Di samping itu, puisi dan cerpen itu kadang menjadi tempat dan ruang memori, kadang menjadi tempat dan ruang testimoni nostalgia atas suatu peristiwa atau pengalaman “bencana kemanusiaan” yang disebabkan oleh COVID-19. Puisi dan cerpen tersebut sudah banyak yang dipublikasikan di media cetak, media digital, dan atau media sosial di samping direncanakan dibukukan dalam antologi. Mungkin oleh karena sifatnya, media digital dan media sosial tampak demikian sigap dan cepat menyiarkan puisi dan cerpen tentang “kehidupan di dalam pandemi dan infodemi COVID-19. Jika kita sisir dengan mesin pencari Google akan kita temukan laman Kompasiana.Com, nu.or.id, kuninganmass.com, dan lain-lain sudah menyiarkan cerpen atau puisi tentang COVID-19. Saya yakin berbagai media digital dan media sosial lainnya juga memiliki juga menyediakan ruang atau rubrik untuk menampung sensibilitas, sensitivitas, dan atau responsivitas literer atau puitik tentang COVID-19.

Sebagai ilustrasi, laman Cakradunia.Co menyediakan menu Budaya yang berisi ruang atau rubrik khusus puisi dan cerpen COVID-19. Penyair dan cerpenis dari berbagai tempat negeri, malah negeri jiran mengirimkan puisi atau cerpen mereka dan secara melewati kurasi laman Cakradunia.Co menyiarkannya selama masa Pandemi COVID-19. Selama Maret-April 2020, terpantau Cakradunia.Co telah menyiarkan “puisi dan cerpen COVID-19” yang dibuat oleh penyair dan cerpenis Indonesia dan Malaysia. Tercatat nama-nama penyair dari negeri jiran Malaysia seperti Siti Zainon Ismail, Haryatie AB Rahman, Mohamad Saleeh Rahamad, dan Djaslam Zainal. Dari berbagai daerah Indonesia tercatat nama-nama seperti Mahwi Air Tawar, DE Kemalawati, Isbedy Setiawan, Rita Jassin, dan Nazar Sah Alam. Juga ada cerpenis Mezra Pollendou, Fanny J Poyk, dan Herni Fauziah. Di dalam puisi dan cerpen mereka tergambar pokok persoalan COVID-19 dengan pilihan berbagai sudut pandang, tema, dan sebagainya terkait dengan “semesta” COVID-19. Di samping itu, tersirat pula berbagai gambaran multidimensial dan multiaspektual peristiwa atau pengalaman “bencana kemanusiaan” atau “dramaturgi pagebluk” COVID-19. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa, pada satu sisi, para pengarang memiliki sensibilitas dan sensivitas literer atau estetis untuk mengeksplorasi peristiwa dan atau pengalaman berkenaan dengan pandemi COVID-19 beserta dampak ikutannya dan pada sisi lain menunjukkan media digital dan media sosial memiliki responsivitas untuk memublikasikan karya sastra mereka. Di sini kita melihat ada simbiose literer antara pengarang, media, dan pembaca media digital/media sosial – yang dapat ditambah unsur komunitas sastra/literasi.

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »