KISAH PENAFSIR NASKAH RE YANG CLAUSTROPHOBIC

: Sebentuk Surat Kreatif kepada Akhudiat Sebagai Penulis Re


Mashuri *

Sekelompok Sufi pernah
ditanya, “Apakah kalian senang mati?”
Mereka menjawab, “Kembali kepada Tuhan
yang selalu diharapkan kebaikannya
adalah lebih baik daripada menetap
bersama orang yang tidak dapat
diharapkan kebaikannya.”
–Abul Qasim Al Qusyairi An Naisaburi

Cak Diat yang terhormat

Beberapa tahun lalu, begitu diminta membedah naskahmu ‘Re’, aku langsung terkesiap, apalagi di bawahnya tertera subjudul ‘teater eksperimen’ dan embel-embel acaranya bertajuk sangar: ‘membedah etika dan estetika teater eksperimen’. Pertama, dalam lamat-lamat ingatku aku pernah mendengar ‘Re’ berbicara tentang kematian dan ketika aku membacanya, ternyata ‘Re’ memang sedang menimbang hal-ihwal maut. Dalam konteks ini, aku masih seorang yang claustrophobic –sejenis pobia akut pada ruang sempit dan tertutup, karena bagiku maut selalu terkait dengan ruang lahat yang membuat seorang anak Adam terkotak, terbatas, ruang ‘kebebasannya’ disekat dan dihimpit. Sungguh, aku belum sampai pada derajat pembebasan bila berkoar soal maut.

Kedua, subjudul ‘teater eksperimen’ selalu menuntut begitu banyak perangkat dan sejarah pembacaan yang kompleks untuk mengungkitnya dan kondisi ini menimbulkan pobia yang lain. Dalam satu minggu terakhir, setelah naskahmu aku terima dan kubaca dengan seksama, aku terjangkit insomnia. Aku merasa begitu butuh waktu untuk meraba peta dan jejaring yang tertebar di naskahmu, dan begitu sukar merunut pikiran-pikiranku yang memadai soal itu, yang tentu saja dalam jelajahku, aku menemukan alur-alur nonlinear dan absurd, bahkan surrealis.

Ketiga, sebenarnya sejak awal aku ingin mengupas dari segi literer naskah saja, tetapi seringkali aku merasa bahwa itu sama sekali ‘tidak maksimal’ karena naskahmu ini berbeda dengan tiga naskahmu yang pernah aku baca lainnya, mulai dari Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh, Bui, hingga Jaka Tarub. Agar aku bisa selamat dari jerat pobia itu, aku berikhtiar menuliskan sekelumit tafsirku pada ‘Re’ dalam sebentuk surat kreatif. Mungkin lewat cara ini, aku bisa bersua dengan ‘Re’, menangkap hal ihwal yang bisa aku tafsiri meski hanya sekedar berpapasan lalu melenggang ke arah yang berbeda. Namun, inilah bentuk ikhtiarku. Aku akan mengungkai ketiga problemku itu sebagai sejenis terapi untuk keluar dari pobia ini.

Cak Diat yang terhormat.

Membaca ‘Re’, mau tak mau, aku teringat pada tiga naskahmu yang sudah pernah aku baca: Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat, Bui, juga Jaka Tarub, sedangkan naskahmu yang lain, seperti Grafitto dan lainnya, belum bisa aku runut karena terbatasnya waktu. Dari tiga naskahmu itu, aku menemukan hal yang sama, tetapi juga ada hal yang berbeda dengan ‘Re’. Perbedaan yang sempat aku tangkap adalah persimpangan antara gairah untuk hidup dan mati. Dalam ketiga naskah lainnya, gairah untuk hidupmu begitu tinggi, sedangkan dalam ‘Re’, gairah untuk mati (tanatos) begitu menguasai. Inilah pangkal soal yang begitu sulit untuk aku urai dari ‘Re’ dengan lebih ekstrem karena jiwaku selalu menolak untuk menyelaminya lebih dalam, sehingga aku merasa terbelah.

Ihwal maut, aku memang masih begitu berdaging. Aku bukanlah golongan mereka yang tergambar dengan trengginas ‘mabuk maut’ dalam kitab ‘Risalah Qusyairiyyah’ karya Imam Qusyairi sebagaimana ungkapannya aku nukil di awal tulisan ini. Ia memiliki pandangan yang agak aneh dan nyeleneh ihwal maut, bahkan maut ditanggapi dengan humor, puisi, rindu, dan sama sekali tidak horor atau tragis. Dalam kitab klasik itu, banyak sekali kisah yang dinukil dari proses sakaratul maut para sufi yang digambarkan dengan warna-warna yang jauh dari rasa ngeri atau takut, tetapi sebagai sebuah kondisi yang dinanti. Ajal diumpamakan sebagai gerbang untuk menuju yang dicinta dan dirindui.

Salah satunya adalah ilustrasi saat ajal menjemput Abu Muhammad Ad Dubaili. Sahdan, ketika maut menjemputnya, ada seorang ‘pengabar’ yang mengatakan kepadanya, “Ucapkanlah lailaha illallah!” Tetapi Ad Dubaili tak menirukan tuntunan tahlil itu, bahkan ia menjawab, “Hal ini telah kita ketahui bersama. Dengan kalimat inilah saya beribadah sampai binasa.” Ia kemudian bersyair dua bait, lalu mati. Kisah demikian begitu sarat dalam ‘Risalah’. Maut yang hadir begitu komikal. Tentu saja, kondisi-kondisi kejiwaan demikian tidak bisa diterapkan pada seorang yang claustrophobic, sepertiku. Bagiku maut adalah lahat, dan menyisakan trauma mengerikan.

Aku menjadi teringat beberapa ahli yang ingin menguak maut itu dengan nalar, seperti dalam buku ‘Speak with the Dead’ karya Konstantinos (Llewellyn Publications St Paul, 2001) yang menelusuri bagaimana kehidupan para arwah dengan cara merekamnya, untuk mengetahui keberadaan dan aktivitas manusia setelah ruh meninggalkan raganya. Aku pun mulai menelusuri ingatanku kembali pada beberapa puisi yang merunut dunia ‘di luar sana’, hal-ihwal ajal, dan dunia pasca-maut, mulai dari Milton sampai Chairil Anwar. Dalam prosa, aku pun teringat ‘My Name Is Red’ karya Orhan Pamuk (peraih Nobel 2006), yang mengekplorasi dunia kematian dengan segala perspektifnya. Juga penulis Turki lainnya, Yasmine Ghata dalam ‘Seniman Kaligrafi Terakhir’ (dalam edisi Perancis, La Nuit Les Calligraphes, 2004; terjemahannya diterbitkan Serambi, 2008).

Aku juga kembali teringat pada seorang kawan sarjana psikologi di Surabaya yang pernah menjadikanku sebagai ‘narasumber’ dalam penelitian psikologi sakaratulmautnya, yang akhirnya si sarjana itu mencicipinya dalam ruang ambang antara maut dan hidup setelah mengalami kecelakaan di jalan tol, persis pada saat pengerjaan tugas skripsinya itu, sehingga ia merasa mengalami sendiri. Saya pun kembali teringat pada kitab primbon Jawa yang mengungkai tentang ‘sasmita jati’ atau pralambang orang yang hendak berangkat lebih dulu menghadap Sang Gusti.

Entahlah, membaca naskahmu ‘Re’ aku kembali menyeret ingatan-ingatanku tentang maut. Tetapi di tengah jalan penafsiranku, aku kembali dihantui tanya, sungguhkah ‘Re’ berbicara tentang maut. Jangan-jangan ‘Re’ berbicara tentang hidup tetapi yang dikafani dengan selimut maut, atau jangan-jangan ‘Re’ berada dalam ruang ambang di antara keduanya dan mempermainkannya sebagai peleburan antara oposisi biner: mati dan hidup. Tetapi mengingat bahwa naskah ini kau tulis kembali setelah berpulangnya Sang Isteri, juga adanya beberapa teks yang merujuk pada maut, baik dalam ‘dialog’ maupun dalam lampiran, aku pun meyakinkan diri bahwa ‘Re’ memang berbicara ihwal ‘yang kembali’, ‘pulang’, ‘berputar’, dan tentu saja tentang ambang antara ‘kehidupan yang baru ke yang lama’.

Dari gelibat pikiran itu aku mencoba menarik sebentuk benang-putih: mungkin di sinilah ‘kita’ —orang-orang ‘Timur’, yang menganggap absurd sebuah kematian; yang memiliki bilah yang berbeda dengan ‘mereka’ –orang-orang ‘Barat’, apalagi terhadap kaidah dewanya kaum absurd yaitu almukarrom Albert Camus, sang eksistensialis-atheis itu, yang menganggap bahwa hidup-lah yang absurd, sebagaimana si Sisipus yang harus terus menerus menggulirkan batu ke puncak Olimpus, meski batu itu akan menggelinding lagi ke dasar. Sebuah kehidupan, sebuah rutinitas, adalah absurditas. Memang absurditas bukanlah institusi baru yang ditemukan Camus, karena kaidah ini sudah ada cukup lama berbiak di Eropa, dan bisa dirunut sampai Nietzsche dan kalangan eksistensialis lainnya.

Bertolak dari itu, aku menangkap dalam ‘Re’ terdapat strategi yang membongkar absurditas tersebut. Aku menemukan adanya ikhtiar pembalikan, kontradiksi, ekses, dan ‘pembacaan ulang’ pada atmosfer kematian –dalam bahasa gaulnya sebagai dekonstruksi kematian. Bagi seorang yang claustrophobic, ruang yang terpapar dalam ‘Re’ menjadi ruang terapi untuk menata ulang kembali perspektif tentang yang sempit dan tertutup yang terkait dengan ajal, bahwa dalam menuju ke lahat terdapat gelanggang yang cukup lapang, seru dan ramai dengan suara-suara. Aku melihat inilah sebentuk personifikasi dari ‘yang gaib’ dan tak terjangkau, yang bisa membuka perspektif baru tentang ‘pengaburan’ antara ruh-daging, dan si calon mayat bukan sebuah pribadi tunggal. Dalam dirinya, tersimpan sekian kontradiksi, bersemayam etos dan tanatos yang saling bertalik-ulur dalam ruang hasrat, dalam waktu yang menubuh sekaligus di luar tubuh.

Dalam konteks tersebut, aku melihat ada upaya pengaburan antara hitam dan putih, yang mesti dipahami hanya sebagai atribut bagi yang hidup, karena ‘hitam dan putih, isinya sama’. Juga pengaburan antara makhluk-khalik, karena di sana terdapat ungkapan Sang Maut: ‘Saya Tuhan!’ tetapi porsi ini bukan dalam kerangka ucapan shatahat/ektase Al Hallaj, tetapi terkumpar dalam personifikasi/simbolisasi dari Sang Maut itu sendiri. Dalam kondisi ini, hakekat penyekat laki-perempuan, baik-buruk, dan seperangkat oposisi-biner lainnya, tak lagi menjadi pamuncak utama dari sebuah konstruksi teks karena pada saat-saat tertentu, yang khusnulkhatimah bisa hadir serentak dengan ngelalu, ada mencala putra-mencala putri, dan sebagainya dan sebagainya. Garis demarkasi yang selama ini menjadi pembatas dalam ruang hidup, hablur dalam ruang mati. Antara yang sementara dan yang kekal pun terjungkal, karena kau pun menyulutkan satu desakan hasrat bahwa sungguhkah dalam mati itu ‘hidup’ telah selesai.

Memang dalam beberapa properti yang tersebut dalam ‘Re’ menyaran pada ihwal yang selama ini ‘terpahami’ sebagai mati (yang lokal) sebagaimana adanya kafan, tahlil, talkin dan lainnya sebagai peneguh aura maut, namun aku melihat ada ikhtiar untuk menghapus ‘hantu-hantu’ kematian itu sendiri. Mungkin Ibnu Qayyim al Jauzi sudah bicara panjang lebar tentang hakekat ruh, tetapi di sini, ruh terprofankan dalam konteks hantu, juga kesurupan, dan ini merupakan usaha untuk mendialogkan tentang sebuah dunia yang tak teraba, yang absurd, dari sebuah proses ‘kembali’ dengan realitas kekinian.

‘Re’ pun menjelma menjadi sebuah arena sirkus tentang ritus maut. Ritus yang bagi orang awam dan claustrophobic terlihat hanya sebagai pribadi tunggal itu ternyata bias dan menyuguhkan sebuah perayaan. Di dalam/di luar yang tunggal tersebut tersimpan begitu banyak keriuhan menyangkut sang maut, kehidupan hidup, pengabar, juga mereka/musik: suara-suara. Posisi mereka bisa saling tarik, ulur, jumpalitan dan bermain akrobat untuk meneguhkan siapa yang bertahan dan siapa yang akan terjerembab ‘keluasan kegelapan’. Aku menemukan tak ada ruang previliese dalam ‘ajang’ sekarat tersebut. Di sinilah, aku melihat esensi dari absurditas ‘yang lain’. Ritus untuk mati ternyata mewakili sebuah lingkaran yang serba rutin. Ia telah menjadi siklus dan akan terus bergulir.

Dari situlah aku menyadari, meski ‘Re’ menggunakan atribut maut dengan nuansa-nuansa sakralitas itu tetapi sesungguhnya tersimpan sebuah ‘maksud tersembunyi’ bahwa ritus dan sirkus maut itu akan selalu terjadi dan terus berulang. Sang maut akan terus menggelindingkan batu ke titik maut, berulang-ulang. Sang maut adalah Sisipus dalam konteks Camus, dan ‘kita harus membayangkannya bahagia’. Dan, inilah inti sang absurd itu. Dalam ‘Re’ sang absurd bukan terletak pada Sang Hidup, tetapi pada Sang Mati, ini adalah pembalikan dari konsepsi Camus.

Cak Diat yang terhormat.

Masalah kedua adalah ihwal subjudul teater eskperimen. Embel-embel itu juga sempat membuatku sedikit tergagap. Bagiku, kerja kesenian apalagi teater, selalu merujuk pada eksperimen. Kerja kreatif memang menuntut percobaan, kebaruan, kedalaman visi, dan tentu saja pembacaan yang tidak biasa pada fenomena kemanusiaan. Namun, begitu melihat sejarah teater ‘modern’ di Indonesia —yang masih terbilang ‘muda’ aku pun jadi mengerti, bahwa yang dimaksud di sini bisa jadi adalah teater non-liniear, yang membebaskan diri dari jajahan teater deskriptif dan naratif —sebagaimana slogan Artaud.

Saya sendiri tak hendak mengupas lebih dalam tentang teater eksperimen ini karena itu bukan wilayahku. Namun yang jelas dari kemunculan pertama ‘Re’ ini di tahun 1977, memang spirit teater Indonesia modern, masih dekat dengan teater-teater eksperimen, bahkan absurd, sebagimana Rendra yang menyuarakan ‘minikata’ mulai tahun 1968. Untuk saat ini, berbicara teater di ruang publik adalah sebuah kemewahan tersendiri. Hanya orang-orang yang memiliki ‘syahadat’ yang berbeda, yang akan teguh dalam menapaki jalan teater ini sampai ujung.

Terlepas dari soal itu, sebagaimana yang sudah aku singgung dalam penafsiranku tentang maut, dari empat naskahmu yang sempat aku baca, aura posmo, bahkan dekonstruksi, sangat mendominasi. Naskah-naskahmu dengan seenaknya membaurkan antara yang fakta-fiksi, bermain-main antara penonton-pemain/kru, sakral-profan, ‘tradisi’-modern, dan yang terpenting: kau memaknai ‘modernitas’ yang sedang mewabah saat itu (1974—1978),dengan cara yang sangat lugas: bahwa kekinian adalah membaca ulang masa lalu. Aku pikir itu lebih dari sekedar kitsch, tetapi sebuah kebutuhan dalam menjalankan strategi kebudayaan kita.

Meski sudah lama, tetapi hal itu kini belum juga usai. Strategi itu masih sangat dibutuhkan. Pasalnya, kita mengalami sebuah kondisi modern yang akut. Rasionalitas, kuasa-nalar, prediksibel, ternyata hanya ‘narasi besar’ yang ompong dan tak menyisakan ruang kebebasan dalam anggitan ketimuran kita. Ia menyisakan bias-bias yang mendalam dalam kehidupan kemanusiaan secara universal sehingga yang tersulut hanya ‘perang’ dan peniadaan manusia dalam gelibat zaman. Dalam kondisi demikian, kesenian yang memang berada dalam wadah eskperimen dan tak tabu menguak absurditas manusia adalah tempat yang paling jitu untuk melakukan rekonsiliasi terhadap diri kita. Teater absurd dan non linier masih sangat kita perlukan dengan proyeksi-proyeksi tentang kekomplekan manusia di awal abad ini. Hal ini bukan dalam konstelasi Indonesia saja, tetapi juga dunia. Saya teringat pada Artaud yang mencoba untuk menguak ihwal sisi dalam dari manusia ‘modern’, setelah melihat ‘teater Bali’ pada awal abad ke-20. Ah, mohon maaf, aku tak mau terperosok ke wilayah ini begitu dalam. Biar orang-orang teater yang akan merunut dan mengalkulasi kebutuhan itu dari pola-pola yang berserak menjadi sebuah pakaian dengan jahitan yang sempurna.

Cak Diat yang terhormat.

Dalam ‘Re’, aku melihat ada beberapa hal literer yang menarik untuk ditafsirkan lebih dalam, di antaranya adalah adanya balutas religius, dengan atribut-atribut yang sangat Islami yang mengiringi ritus maut, sebagaimana yang sudah kuungkap tadi yaitu adanya tahlil, talkin, juga adanya pantun, puji-pujian, juga senandung. Hampir semuanya tadi berbicara tentang mati atau seputar kematian. Oleh karena itu, di awal tulisan ini tadi, aku meyakinkan diriku bahwa naskahmu ini berbicara tentang maut, dan tentu berdasar pada latar sosial dan kultur yang ada.

Di antara yang tak kalah menariknya adalah adanya alih-kode dan campur kode di sekujur tubuh ‘Re’, yang bisa mengungkai banyak hal tentang lokalitas. Gaya Suroboyoan yang khas berbaur dengan banyak hal yang ‘asing’, juga tokoh-tokoh yang fiktif-fakta, global-lokal dan lain-lainnya, membanjiri ruang pembacaan. ‘Re’ seperti merenggut sekian teks untuk dijadikan teks montase, penuh hipogram —yang tentu saja, perlu digali lebih jauh dengan kaidah-kaidah intertekstualitas. Tentu untuk kerja ini dibutuhkan begitu berlembar-lembar lagi tafsiran.

Sebagai langkah pamungkas dari penafsiran ini, aku hendak menakik sedikit lampiran-lampiranmu, karena di situ, aku menemukan simpul-simpul yang lain dan tentu sama menariknya dengan teks-teks utama, karena lampiran itu juga bagian dari teks-teks utama. Lampiran 1, berisi talkin. Bagi kaum nahdliyyin atau alawiyyin atau lainnya, talkin adalah sebuah ‘penuntun’ bagi sang mayat ketika di alam kubur. Mungkin bagi orang di luar tradisi tersebut, talkin hanya memiliki dengung yang berbeda; aku teringat pada berbagai upacara di berbagai belahan dunia yang memiliki ragam yang berbeda dalam memulai ‘hidup’ baru ini. Mungkin ada yang mengiringinya dengan musik requiem atau betotan Celo sebagaimana orang Bosnia Herzegovina saat menguburkan jasad, atau lainnya.

Lampiran 2, puji-pujian tentang sifat 20 Tuhan —bisa ditemui dalam kitab-kitab tauhid, dan di masyarakat santri dalam syair aqidatul awam, yang diselingi dengan tembang tentang maut dan diakhiri dengan tahlil. Tembang mautnya: ‘ono tangis layung-layung/tangise wong wedi mati/wong mati moso wurungo/yen wis pasti moso luputo’. Lampiran 3, dua bait pantun, tentang hal yang mengarah pada mati, yang berisi: ‘hutang emas bisa dibayar, hutang budi dibawa mati’ satunya berisi: ‘kalau ada kata yang salah, jangan simpan dalam hati’.

Lampiran 4, adalah senandung, yang berujung pada ihwal mati juga, yang terdiri 3 bait, masing-masing bait terdiri dari empat baris. Kau berbicara tentang bagaimana prosesi orang mati, dan bagaimana ruh itu menapaki tangga, menggapai Kursi, dan mendapat hadiah dari malaikat Ridwan. Lampiran 5, tentang cara tangkap hantu, yang sudah kau godok menjadi lebih fleksibel dan terserah si sutradara atau aktor. Aku rasa nada main-main di sini menjadi menarik karena pada dasarnya ‘penangkapan hantu’ memang memiliki akar tradisi dalam masyarakat kita, tetapi dengan memparodikannya akan memberi efek yang substansial terkait dengan tema dan gagasan naskah.

Aku melihat bahwa naskah ini begitu minim dialog. Mungkin karena watak ‘eksperimen’-nya, sehingga dialog tidak diperlukan secara maksimal, sehingga aku kesulitan mengungkai tentang watak sastrawinya. Ada kalanya, pada saat-saat tertentu, teater harus dilepaskan dari sastra. Hal itu karena tujuan estetik naskah ‘Re’ tentu berbeda dan memiliki visi yang lain dari naskah-naskah ‘standar’. Meski demikian, pada saat tertentu, teater harus juga berkarib dan menyetubuhi sastra, karena dalam kualitas naskah/ naskah standar tetaplah penting dalam sebuah pentas. Konon, itulah yang membedakan antara teater ‘tradisional’ dengan teater ‘modern’.

Cak Diat yang terhormat.

Demikianlah, beberapa masalah yang sempat hinggap dalam proses penafsiran dan pembacaan ‘Re’. Tentu dalam ruang dan waktu yang begitu terbatas, terlalu sedikit hasil perjumpaanku dengan naskahmu itu, dan itu pun aku rasa tidak begitu sempurna. Banyak hal yang luput aku tangkap karena ketergesa-gesaanku dalam menjabat akar-akar pikiran yang bergelayuran dan liar dari naskahmu. Semoga dari yang sedikit ini dapat bermanfaat, terutama bagi dahaga pencarianku. Aku menyadari, dalam ‘surat kreatif’ ini, penafsiranku pada ‘Re’ compang-camping dan tambal-sulam. Aku berharap para pembaca naskahmu yang lain menyuguhkan banyak perspektif, sehingga dapat menambal kefakiran pengetahuanku. Wallahu waliyyuthariq!

On Sidokepung, 2020

*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.

Leave a Reply

Bahasa »