Aku heran, kenapa selalu Kiai Sutara? Perbincangan jadi berkepanjangan, seolah tanpa akhir. Seperti sumur tanpa dasar. Terhadap sesuatu yang paling esensial, justru disembunyikannya. Ialah perihal sesosok perempuan perkasa, seorang ibu sejati yang melahirkannya. Tapi, aku maklum, memperbincangkan Kiai Sutara terasa ringan, dan renyah untuk memenuhi hasrat intelektualitas. Seperti makan kerupuk precet ikan Muncar. Sebuah kehausan rasio, sebagai tantangan hidup yang harus melupakan kesedihan.
Kita pastilah banyak kehilangan kata-kata untuk bisa mengungkapkan cinta yang sungguh-sungguh. Cinta yang keras kepala. Sanggup dilakukan hanya oleh manusia, tidak makhluk Tuhan yang lain. Lidah terasa kelu untuk mampu bicara tentang kesedihan yang benar-benar sedih. Tak ada, kata-kata yang tepat bisa mewakili perasaan. Anak yang baik wajar bersikap demikian. Mengisahkan pengorbanan ibu tak selincah mengisahkan sepak terjang Kiai Sutara. Kesadaran anak kepada ibu, lebih di atas dari sendiko dawuh. Kita tak membutuhkan kata-kata, tapi tindakan. Sebuah kesadaran, dan keinsyafan. Sebuah ritual ajeg dengan damar kambang serta doa-doa. Masa yang sudah lampau menjadi pelajaran. Menyenangkan hati ibu, tak bisa lagi dilakukan dengan cara menggerojokinya dengan uang, atau harta benda. Ibu, sudah tidak membutuhkan itu.
Butuh waktu yang tidak sedikit, andai ada niatan menulis perihal perempuan perkasa itu. Tulisan mendalam sekaligus menyentuh. Tapi itu sulit, sulit sekali. Sesulit kita untuk bisa berendah hati, saat berhadapan dengan penguasa yang angkuh dan sombong. Kita bisa saja membungkuk, mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun kita tahu itu hanya pasemon, sikap satir yang harus dibaca sebagai penolakan. Nggih-nggih ning ora kepanggih.
Di mataku, Kiai Sutara ialah laki-laki sepuh yang hidup sebagaimana manusia pada umumnya. (semoga beliau tidak membaca tulisanku ini). Adalah seperti percuma, kita membicarakannya. Dibicarakan maupun tidak dibicarakan, ia tetap Kiai Sutara: tak berpengaruh apa-apa. Secara jasmaniah, Kiai Sutara masih berjalan di bumi. Namun kita tahu, Kiai Sutara selalu melesat ke langit tak terjangkau. Mata kita, tidak mampu menembus jiwanya. Ketika Taufiq Wr. Hidayat sering membicarakannya, aku yakin Kiai Sutara tetap nyetel radio transistornya. Mencari berita BBC London. Aku sudah tahu tanggapannya, pasti ia akan nyeletuk “ngomong opo ae koen Fiq, tak sawat asbak cangkemmu nyonyor!”
Kiai Sutara, tinggal di sudut kampung yang tidak begitu ramai. Lingkungan pedesaan di tanah yang subur. Pohonan tumbuh rimbun, apalagi di musim hujan. Di situ orang tak susah mencari rumput untuk kambing dan sapi. Pategalan yang luas, rumput, dan ramban aneka jenis tanaman perdu membelukar, di bawah pohon kelapa serta sengon. Sungai terus mengalir, mata air kecil muncrat di sejumlah tepian sungai. Sawah membentang seluas mata memandang. Semuanya, membiru di mata orang Madura.
Kalau Anda penasaran dengan sosok Kiai Sutara, bisa tanya ke Taufiq Wr. Hidayat. Meskipun Fiq sendiri akan kerepotan menjelaskan. Yang jelas, beliau tinggal di Banyuwangi. Banyuwangi ijo royo-royo di masa bupatinya perempuan. Sejak tiang-tiang listrik terpancang di pinggir jalan masuk ke desa awal tahun 1990-an, sejumlah penduduknya memiliki televisi. Tapi, kulkas yang dibeli sebelum listrik masuk ke desa, tetap berfungsi sebagai lemari pakaian, yang ditempatkan sedemikian rupa, tampak dari ruang tamu. Perlahan tapi pasti, penduduk desa itu akhirnya tahu padukuhannya masuk wilayah Indonesia. Kiai Sutara tinggal di situ. Tapi saya tak tahu apakah Kiai Sutara asli penduduk padukuhan tersebut. Saya tak yakin. Sebab Kiai Sutara pernah bercerita, bahwa dulu hanya ada tiga rumah di desa itu. Rumah orang tuanya, dan rumah dua pamannya. Perkembangan penduduk di desa itu sangat lambat. Jauh dari jalan besar. Hanya ada gubuk-gubuk sebagai rumah sementara para magersari. Buruh tani yang dibayar untuk menjaga kebun.
Tapi, kita tahu ada tangan-tangan gaib yang bekerja. Tak kelihatan secara kasat mata. Tangan-tangan Tuhan yang membentuk pengetahuan Kiai Sutara. Kiai yang ditakdirkan gemar tafakur. Suka bertapa, tapi tidak brata. Kiai yang ramah, suka tersenyum itu, hanya bisa marah kepada santrinya, Fiq yang menurut kaca mata Kiai adalah santri tolol. Santri yang suka menanyakan sesuatu masalah agama, yang bermasalah.
***
18 Mei 2020
*) Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post. Puisinya yang dimuat di koran Bali Post itulah yang menarik, waktu itu redakturnya Umbu Landu Paranggi. Tahun 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak, besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan tinggi di Yogyakarta, -boleh jadi tradisi berpikir kritisnya terbangun dari sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tidak lepas dari tangan dinginnya. Ia Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, dan pernah mengomandani kelompok budayawan serta seniman yang menolak Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) tahun 2002. Ia bersama gerbong para budayawan “bawah tanah” sempat mendirikan DKB-Reformasi, sebagai tandingan DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak budaya yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa dianggap remeh, terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas secara berkala dan melakukan kajian sastra pula penulisan sejarah Banyuwangi. Tahun 1998, menjadi salah satu dari kelompok muda yang menghadirkan alm. W.S. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi para penyair Jawa-Bali “Cadik”, sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di masa itu bukan main-main mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Di tahun itu juga, bersama penyair dan budayawan lain, ia mengemukakan sikap anti kekerasan menyoal peristiwa “santet” di Banyuwangi.