Potret Tokoh Sastra H.B. Jassin di salah satu ruangan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta, Kamis (8/9). (Republika/Rakhmawaty La’lang)
Muhammad Subarkah *
Setelah rezim Sukarno tumbang seiring dengan tersungkurnya PKI dalam pentas politik Indonesia, rezim Soeharto yang menyebut diri sebagai Orde Baru, naik tahta menggantikannya.
Namun, sebelum ‘lengser keprabon’, pada 27 Januari 1965 Presiden Sukarno menerbitkan Penetapan Presiden Republik Indonesia (Pepres) Nomor 1 tahun 1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Perpres ini kemudian menetapkan menambahkan pasal penodaan agama di dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, Pasal 156 a KUHP. Tujuannya diantaranya adalah untuk menjaga tertib sosial di masyarakat.
Tapi pertanyaannya kemudian: Apakah sinisme terhadap agama –di antaranya Islam– menjadi berhenti? Jawabannya ternyata tidak! Sinisme (bahkan bisa disebut phobia) terus berlanjut.
Sebagai ujian pertama ‘keampuhan’ pasal ini terjadi pada bulan Agustus 1968 atau justru di masa awal Orde Baru. Majalah sastra termuka yang diasuh H.B. Jassin –Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 – mempublikasikan cermin kontroversial ‘Langit Makin Mendung’ karya sesorang yang menyebut dirinya sebagai Ki Panji Kusmin.
Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam saat itu merasa tersinggung dengan cerpen tersebut yang dianggap menghina Islam.
***
Dan memang, bila dibaca memang cerpen ini tampak bersikap pejoratif atau mengolok-olok kesucian Allah, ajaran Islam, Nabi Muhammad beserta sahabatnya. Selain itu, isinya tak jauh beda dengan kisah Gatoloco. Cuma yang membedakannya, cerpen ini dibat pada zaman yang lebih kontemporer.
‘Langit Makin Mendung’ bermasalah serius karena memuat hal-hal yang memantik atau berbau pejotaratif terhadap simbol agama Islam, yaitu posisi keberadaan Allah dan posisi malaikat Jibril. Di cerpen itu bahkan ada penggalan kisah suasana prostitusi di Pasar Senin kala itu meski tak vulgar.
Salah satu contohnya ada pada bagian tengah cerpen tersebut. Penggalan kisahnya seperti ini:
…..Muhammad segera naik ke punggung buraq – kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan Jibrail yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang. Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.
“Benda apa di sana?” tanyanya keheranan.
“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”
“Orang? Menjemput kedatanganku?” (Gembira)
“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”
“Orang-orang malang. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo buraq!”
Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibrail memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik Rusia memang tidak ada remnya. Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Buraq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala-kepala botak di lembaga aeronautic di Siberia bersorak gembira.
“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi…” terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibrail terpental ke bawah. Mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
“Sayang-sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Bisik Muhammad sedih. Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.
“Jibrail, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf.”
(Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung: Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968).
***
Akibat cerpen itu, polemik atau kontroversi pun muncul. Uniknya, menghadapi kontroversi itu, HB Jassin yang diwaktu kemudian namanya dipatenkan’ dengan sebutan ‘Paus Sastra Indonesia’, tetap mau bersikap ksatria. Sadar telah menerbitkan masalah sosial akibat cerpen itu di dalam majalah yang diasuhnya tersebut, Jassin pun bersedia menjalani proses hukum serta hadir di depan persidangan yang mengusut kasus karya Ki Panji Kusmin itu. Dia hadir di sidang sebagai saksi yang meringankan di pengadilan di Sumatra Utara.
Pada sidang itu Jassin menyebut itu tak perlu cerita pendek (cerpen) ini dilarang karena menjadi bagian dari ‘kebebasan berekspresi’ yang dijamin dalam karya sastra. Sikap Jassin ini bisa dipahami karena dia tak ingin lagi mengulang tragedi perlakuan tragis kaum sastrawan seterunya yang dahulu tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang kerap ‘membreidel’ karya sastra yang tak sepaham dengan ideloginya. Jassin pada awal 1960-an adalah tokoh sastrawan Manifes Kebudayaan (diplesetkan oleh ‘orang kiri’ menjadi sebutan ‘Manikebu’) yang menjadi ‘lawan tanding’ Lekra yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun, pengadilan kasus cerpen Ki Panji Kusmin digelar di PN Medan terus berjalan meski digelar melalu sidang in absentia karena terdakwa Ki Panji Kusmin tak dapat dihadirkan. Dan di forum itu HB Jassin diimnta majelis hakim untuk mengungkap identitas Ki Panji Kusmin. Tapi Jassin kokoh menolaknya dengan alasan menjunjung kebebasan berekpresi.
Meski begitu, di akhir persidangan putusan hakim tetap menvonis hukuman berupa berupa kurungan selama satu tahun dan masa percobaan dua tahun kepada seseorang yang menyebut dirinya dengan nama Ki Panji Kusmin tersebut. Ini artinya keputusan hakim menyatakan Jassin diputus tetap bersalah meski tak perlu sampai mendekam di pengadilan.
Dan, setelah peristiwa itu berlalu, Jassin berpuluh tahun kemudian pun tetap tak mau membuka identitas Ki Panji Kusmin. Tapi diujung hayatnya ia pun luluh dan bersedia memberi tahu mengenai identitas orang itu. Salah satu pengelola Gedung PDS HB Jassin Endo Sunggono sempat memberi tahu bila orang itu memang ada.
’’Dia laki-laki. Seingat saya kalau tidak orang Jawa ya orang Sumatra. Ada kok, Pak Jassin sudah pernah menyebutkan orang itu. Saya cari dulu catatanya,’’ kata Endo. Sayang ketika sekarang hendak menanyakan kembali soal itu ke Endo, ia masih dalam keadaan sakit.
Uniknya, seakan hendak menebus kesalahannya, HB Jassin pada pertengahan tahun 1970-an kemudian menerbitkan terjemahan ‘Alquran Berwajah Puisi’. Jassin terdorong menuliskan karya ini karena merasa terjemahan Alquran versi bahasa Indonesia terlalu kaku dan tidak puitis. Padahal, kata dia, Alquran itu dalam banyak hal juga bisa disebut sebagai sebuah karya agung yang memakai diksi layaknya puisi (puitis).
Namun sebenarnya ide Jassin menulis terjemahan Alquran berwajah puisi seperti itu, bukanlah ide yang pertama kali. Sebelumnya, di akhir 1960-an, penyair dan pendiri ‘Teater Muslim’, Mohammad Diponegoro, telah melakukannya. Dalam berbagai perayaan hari besar Islam terjemahan ini kerap dibawakan. Bahkan, sempat pula dibacakan di siaran Radio Australia (ABC).
Teater Muslim ini pun pada tahun 1960-an sangat kondang. Dia menjadi lawan dari teater rakyat yang saat itu banyak berafiliasi ke idelogi komunis dengan menggelar pentas bertema sinis atau anti Tuhan dengan menggelar lakon berjudul ‘Patine Gusti Allah’, ‘Gusti Allah Mantu, dan tema sejenis lainnya. Sutradara film legendaris asal Cirebon Arifin C. Noer adalah salah satu mantan anggotanya. Salah satu karya Arifin yang melegenda sampai sekarang adalah film tentang peristiwa ‘malam tragedi’ pembunuhan para jendral pada 3O September 1965: Film G30S/PKI.
Jadi itulah pengalaman sejarah di awal Orde Baru tentang penyelesaian kasus hukum penodaan agama. Sama dengan pemerintah Hindia Belanda ketika menangani kasus penodaan agama di tahun 1920-an, mereka ternyata juga tidak bisa main-main menyelesaikannya. Apalagi saat itu sudah terjadi rusuh sosial berupa munculnya kasus pembunuhan dan ada pembakaran rumah ibadah di sekitar Surabaya.
Belanda pun sangat trauma terhadap kasus berbau Sara. Dia teringat munculnya peristiwa perang Diponegoro dan perang Aceh yang meluluhlantakan semuanya. Sikapnya kemudian, apapun itu meski hanya sepercik bara dalam sekam, maka itu harus dipadamkan sebelum besar dan membakar seluruh gudang jerami!
*) Muhammad Subarkah, jurnalis Repubilka.