PENYAKIT DI DALAM HATI

Taufiq Wr. Hidayat *

Saya sempatkan mampir ke rumah Kiai Sutara, sekadar agar bisa berbuka puasa bersama beliau.

“Hampir lebaran, Kiai,” ujar saya.

Kiai Sutara tampak tenang, menikmati kopi pahit. Beliau berbuka segelas air putih, kopi pahit, dan rokok.

“Memangnya kenapa? Jika kamu tidak bisa melihat setiap perubahan sebagai kewajaran, berarti dirimulah yang sebenarnya tolol di dalam mengarifi perubahan. Mau lebaran saja ribut. Kenapa?” Kiai Sutara menghembuskan asap rokoknya yang tebal. Azan terdengar tak jauh dari surau depan rumah Kiai Sutara.

“Gini lho, Kiai. Setiap akhir Ramadan, menjelang Idul Fitri ini, bukankah Allah mengampuni orang beriman dan membebaskannya dari api neraka? Mohon penjelasan perihal ampunan dan pembebasan api neraka itu, Kiai,” ujar saya.

“Dengar santri beriman yang ribut! Kamu lihat, setiap malam lebaran, tradisi bertakbir dikumandangkan. Orang-orang berbahagia. Orang beriman yakin, pada hari lebaran Idul Fitri, Allah mengampuni dosa-dosanya yang lampau dan membebaskannya dari siksa neraka. Apa bukti nyata kalau manusia beriman itu diampuni dan dibebaskan dari siksa? Buktinya apa? Jawab!”

“Ampun, Kiai. Wah susah itu, Kiai. Bagaimana mencari bukti konkret ampunan Tuhan dan jaminan pembebasan dari api neraka pada orang beriman yang berpuasa?”

“Goblok! Ditanya kok malah bertanya balik! Mau diserempet sandal kupingmu?”

“Waaah… Ampun, Kiai.” Saya mengatupkan kedua telapak tangan.

“Itulah kalau nyantri modal dengkul kayak kamu. Jelas bahwa ampunan Allah dan jaminan pembebasan siksa yang diimani itu, tak lain adalah rasa atau perasaan spiritual. Yang seringkali mirip mimpi dan khayalan. Dengar baik-baik, santri goblok. Ini penting! Pasang telingamu dengan baik, bukan dengkulmu!”

Kiai Sutara menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya yang tebal dan wangi. Aroma tembakaunya wangi sekali.

Kemudian beliau dhawuh.

“Dengar, santri beriman. Perasaan spiritual akan ampunan dan jaminan pembebasan dari siksa neraka itu selamanya ilusi dan omong kosong, jika kamu tak menyempurnakannya atau menggenapinya dengan sikap hidup yang konkret, yang jelas, dan nyata. Itulah bentuk keniscayaan kesejarahan sebagai manusia. Jika orang beriman mengharap diampuni segala dosanya dan mengharap dibebaskan dari siksa neraka oleh Tuhannya, maka harapan itu akan dibuktikannya atau tercermin pada sikap hidupnya yang mengampuni dan membebaskan penderitaan sesama: saudara, kawan, dan entah siapa lagi. Ia bersaksi dan teguh pada kesaksiannya itu untuk mengentaskan atau meringankan segala penderitaan menurut kemampuan sebagai bukti pembebasan. Ia mempererat kemanusiaan, menundukkan segala keangkuhan dan keserakahan nafsu, sebagai cerminan jiwa yang memang terampuni dan terberkati.”

“Tapi mereka dusta, dan dengan tololnya merasa menipu Allah—entah dengan ibadah, harta, atau apa saja. Padahal yang mereka tipu adalah dirinya sendiri. Celaka tertimpa pada kalian sebagai penyakit yang dalam ayat suci disebut “maradhun” dalam hati; keraguan dan kemunafikan. “Maradhun” itu penyakit, dalam al-Baqarah ayat 10. “Maradhun” yang merupa “isim marfu’” berakhir “dhammah”. Maka “penyakit itu” berkedudukan “mubtada-muakhir”, yaitu kata yang harus dijelaskan, berada pada akhir atau setelah “khabar”. Apa itu? Yakni “quluubihim”, ialah hati mereka. Ngerti kamu, santri?”

“Ampun, Kiai. Kalau masalah tata bahasa Arab, saya banyak lupa, Kiai,” jawab saya cengengesan.

“Lupa-lupa endasmu! Ingatlah selalu, santri! Tanpa penyempurnaan nilai-nilai ampunan Tuhan dan pembebasan dari siksa—sebagaimana yang diajarkan agama itu, pada sikap hidup orang yang beriman dalam kenyataan kehidupannya sehari-hari, maka ampunan dan pembebasan dari siksa neraka, tidak akan pernah terasa nyata kelezatan dan manfaatnya. Hanya akan menjadi seperti hiburan dan omong kosong saja.”

“Paham kamu?”

“Ampun, Kiai. Paham, Kiai,” jawab saya gugup.

Kiai Sutara beranjak meninggalkan saya sendiri di ruang tamunya. Beliau mendirikan sembahyang Maghrib. Namun asap rokoknya masih tersisa tebal di ruang tamunya yang sederhana.

Sobo, 2020

___________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »