Proses Lahirnya Manifes Kebudayaan

D.S. Moeljanto

Naskah Manifes Kebudayaan selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada 17 Agustus 1963 pukul 04.00 WIB. Setelah dipelajari, akhirnya dapat diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut, sebagai bahan yang akan diajukan ke diskusi pada 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh 19 Jakarta. Kemudian naskah tersebut diperbanyak dan disampai­kan kepada sejumlah seniman untuk dipelajari, jika dianggap perlu diberi catatan-catatan sebagai landasan ideal.

Dengan bertempat di Jalan Raden Saleh 19, pada 23 Agustus 1963 tepat pukul 11.00 WIB, diadakan rapat untuk membahas naskah Manifes Kebudayaan. Dalam rapat ini hadir tiga belas orang seniman-budayawan, yaitu: (1) Trisno Sumardjo, (2) Zaini, (3) H.B. Jassin, (4) Wiratmo Soekito, (5) Bokor Hutasuhut, (6) Goenawan Mohamad, (7) Bur Rasuanto, (8) A. Bastari Asnin (datang dari Yogya), (9) Ras Siregar, (10) Djufri Tanissan, (11) Soe Hok Djin (Arief Budiman), (12) Sjahwil (dari Sanggar Bambu), dan (13) D.S. Moeljanto.

Waktu itu Trisno Sumardjo berusia 47 tahun (penerjemah Shakespeare, pelukis, penyair), H.B. Jassin (46, kritikus, esais, redaktur, dokumentator), Zaini (39, pelukis), Wiratmo Sukito (34, esais, komentator budaya RRI), Bokor Hutasuhut (29, cerpenis), Goenawan Mohamad (22, penyair, esais), Bur Rasuanto (26, cerpenis), A.Bastari Asnin (24, cerpenis), Ras Siregar (27, cerpenis), Djufri Tanissan (24, pelukis), Soe Hok Djin (23, esais, pelukis), Sjahwil (25, pelukis) dan D.S. Moeljanto (30, sekretaris redaksi, dokumentator). Dalam kelompok 13 seniman ini, 2 orang berumur 40-an, 3 orang 30-an, dan 8 orang 20-an tahun.

Pertemuan Manifes Kebudayaan tersebut dipimpin oleh Goenawan Mohamad, yang kemudian memberikan waktu kepada Wiratmo Soekito untuk memberi penjelasan pada hadirin tentang arti, sasaran dan rumusan Manifes Kebudayaan, yang pada umumnya sudah tercakup secara jelas dalam naskah Manifes Kebudayaan, yang telah disampaikan lebih dahulu kepada hadirin untuk dipelajari dan ditelaah lebih mendalam. Kemudian lahirlah dalam diskusi ini tanya-jawab, tukar-pikiran dan perdebatan yang terkadang cukup tajam. Soal humanisme universal ternyata adalah masa­lah yang cukup penting dalam diskusi tersebut.

Humanis Universal dan Utopisme

Dalam jawabannya Wiratmo Soekito antara lain memberikan penjelasan sebagai berikut: “Kebudayaan sebagai pernyataan hidup manusia mempunyai tendensi-tendensi ‘universal’, dalam arti bahwa kebudayaan itu bukan hanya untuk satu bangsa saja, tetapi untuk semua bangsa. Dan di samping itu, bukan hanya untuk satu angkatan saja, tetapi untuk semua angkatan. Meskipun demikian harus ditegaskan, bahwa kebudayaan itu titik-tolak dan titik-tolak itu adalah titik-tolak “nasional”. Saya menyetujui sepenuhnya ucapan Dag Hammerskjoeld mantan Sekretaris PBB yang meninggal dunia dalam tahun 1961 yang mengatakan, bahwa kita harus menekankan kepentingan nasional, tetapi kepentingan nasional itu harus ditingkatkan niveau-nya ke arah kepentingan internasional. Dan inilah pengertian tentang humanisme universal, karena itu jenerima humanisme universal dalam pengertian itu.

Bur Rasuanto yang mengajukan pertanyaan: “Mengapa tidak mungkin tercapainya toleransi ideologi?”, dijawab oleh Wiratmo Soekito antara lain sebagai berikut: “Toleransi ideologi tidak ada, tetapi toleransi pendukung-pendukung ideologi selalu mungkin, karena toleransi hanya mungkin dalam arti sosial, yaitu hubungan antarmanusia (human-relations). Jadi, adapun kami sendiri berpendapat, bahwa perbedaan malahan pertentangan ideologi dapat diselesaikan dengan dialog. Bagi kami dialog adalah jiwa demokrasi”.

Bur Rasuanto kemudian mengajukan pertanyaan lagi kepada Wiratmo Soekito sekitar masalah utopisme, dan kemudian Wiratmo mem­berikan penjelasannya sebagai berikut:

“Dalam praktiknya seringkali dicampuradukkan orang pengertian utopisme dengan pengertian utopia. Kita menegaskan perbedaan kedua pengertian itu. Utopia ialah cita-cita tertinggi yang tak dapat dicapai oleh manusia. Utopisme ialah suatu kecenderungan yang menguasai manusia seakan-akan manusia bisa mencapai utopia itu. Oleh karena itu, si manusia bertindak tidak real yang manifestasinya terlihat dalam dua bentuk. Yang pertama ia akan menjadi pengelamun hanya melampiaskan keinginan saja tanpa berbuat sesuatu pun. Yang kedua ia dengan bersikeras-kepala berusaha mencapainya dengan kekerasan, tetapi hasil­nya hanya akan memberikan pengorbanan sia-sia, karena utopia itu tidak bisa tercapai. Adapun kita menyetujui adanya utopia, tetapi menolak utopisme, karena kita meskipun ingin mencapai cita-cita yang tertinggi itu, yang penting bukan tercapainya cita-cita yang tertinggi itu, melainkan bagaimana kita pada setiap saat merasakan kondisi-kondisi yang lebih baik daripada saat-saat sebelumnya. Kecenderungan ini adalah dalam perspektif menaik yang kita sebut optimisme”.

Angkatan ’45 dan Lekra

Bokor Hutasuhut juga mengajukan pertanyaan sekitar masalah: “Apakah yang dinamakan Angkatan ’45 di dalam dunia kesusastraan itu telah arrive?”

Wiratmo Soekito menjawab antara lain sebagai berikut: “Lahirnya Lekra pada 1950 adalah penilaian terhadap Angkatan ’45 yang dianggap­nya tidak memenuhi tugas revolusi. Tetapi dari dokumen-dokumen yang ada pada kita, penilaian Lekra tersebut seringkali berdasarkan fakta-fakta yang tidak otentik. Lahirnya Manifes kita adalah juga penilaian terhadap Angkatan ’45 inklusif penilaian Lekra, dengan perkataan lain penilaian terhadap penilaian Lekra atas Angkatan ’45. Kenyataan sekarang me­nunjukkan, bahwa Angkatan ’45 sebagian besar tidak mempunyai mili­tansi.

Meskipun pada dasarnya gagasan-gagasan mereka cukup bermutu. Namun harus dikemukakan, tidak seorang pun dari mereka itu mempu­nyai wawasan tentang kebudayaan apabila dilihat secara psikologis dan ilmiah. Kalau kita katakan tadi gagasan-gagasannya cukup bermutu itu karena kita melihat dari sudut intuisi mereka. Manifes ini lahir sebagai regenerasi dengan kondisi-kondisi objektif yang baru dan dengan ke­kuatan-kekuatan yang baru pula. Karena itulah, lahirnya Manifes ini bukan atas kehendak kita sendiri saja, tetapi terutama adalah juga kehendak faktor-faktor objektif dalam negara dan masyarakat kita sekarang ini”.

Setelah acara tanya-jawab berlangsung yang terkadang mengalami saat perdebatan yang cukup tajam, dan setelah catatan-catatan H.B. Jassin diterima, dan setelah merasakan sebuah Manifes Kebudayaan sudah saatnya dicetuskan, maka pertemuan memutuskan dapat menerima Ma­nifes Kebudayaan yang disusun Wiratmo Soekito sebagai bahan-dasar yang masih perlu diperinci, disederhanakan dan dipertegas perumusan­nya oleh badan yang ditunjuk sidang.

Sidang kemudian memutuskan membentuk panitia perumus yang terdiri dari: Zaini (Ketua), Bokor Hutasuhut (Sekretaris), Goenawan Mohamad (anggota), A. Bastari Asnin (anggota), Soe Hok Djin (anggota) dan Wiratmo Soekito (anggota).

Rumusan Manifes

Pada 23 Agustus 1963 bertempat di Jalan Raden Saleh 19, diadakan pertemuan lagi yang khusus merumuskan Manifes Kebudayaan di bawah pimpinan Zaini. Dalam merumuskan Manifes Kebudayaan ini, panitia masih tetap mengingat saran-saran yang timbul di dalam sidang dan juga berpedoman kepada catatan tertulis yang disampaikan kepada panitia.

Kemudian sidang panitia perumus yang berakhir pada pukul 02.30 WIB memutuskan, bahwa Manifes Kebudayaan dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: 1. Manifes Kebudayaan, 2. Penjelasan Manifes Kebudayaan, 3. Literatur Pancasila. Hasil rumusan panitia ini akan dibawa ke sidang lengkap yang akan diadakan pada 24 Agustus 1963.

Dengan pimpinan sidang Goenawan Mohamad dan sekretaris Bokor Hutasuhut, pada 24 Agustus 1963 diadakan sidang pengesahan Manifes Kebudayaan bertempat di jalan Raden Saleh 19, dan dimulai tepat pukul 13.00 WIB. Atas nama panitia, Bokor Hutasuhut melaporkan tentang hasil panitia perumus yang telah menetapkan, bahwa Manifes Kebudayaan terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1. Manifes Kebudayaan, 2. Penjelasan Manifes Kebudayaan, 3. Literatur Pancasila. Kemudian dibacakan hasil rumusan dan godogan panitia perumus. Dan tetap diingat tanya-jawab dan pertukaran pikiran yang berlangsung antara Wiratmo Soekito dengan Trisno Soemardjo, Zaini, Soe Hok Djin dan Bur Rasuanto. Secara aklamasi kemudian sidang menerima hasil kerja panitia perumus.

Akhirnya juga diambil keputusan dan ketentuan yang berbunyi:
* Pada prinsipnya Manifes Kebudayaan tidak bisa diubah lagi.
* Manifes Kebudayaan tidak apriori melahirkan Organisasi Kebuda­yaan.

Demikianlah, proses lahirnya sebuah naskah yang bernama Manifes Kebudayaan sebagai landasan ideal dalam melaksanakan tugas bagi kaum budayawan dan karyawan pengarang Indonesia yang kreatif.

(Sumber: Majalah Sastra Nomor 9/10 Tahun III, 1963)

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/04/mencari-tokoh-bagi-roman/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

Bahasa »