(Gandrung, Cat minyak di atas kanvas, Karya Endix)
Taufiq Wr. Hidayat *
Dalam sebuah buku kuno “Uqala al-Majanin” (Perkataan Orang-orang Gila), dikisahkan seorang gila—atau yang dianggap gila, bernama Uwais al-Qarni. Ia selalu bertanya, apakah kebenaran? Baginya kebenaran hanya dari Tuhan. Jika manusia bisa menentukan kepastian dengan ilmu, maka kepastian itu tak bisa diklaim sebagai kebenaran. Dikisahkan dalam buku kuno itu secara “jayyid adh-dhabth” (detil), dari manuskrip yang episteme (muwattsaqah) dan ditulis dalam penerjemahan yang saling menguatkan, yang disebut “balaghah muqabalah”. Lantaran ketaksamaan perilakunya dengan kebanyakan orang, ia disebut gila. Melawan keumuman. Namanya pernah disebutkan oleh seorang utusan Tuhan. Tuan al-Qarni lebih tepatnya orang yang asketis. Ia dianggap gila. Tak punya rumah, compang-camping, dihina dan diasingkan orang.
Eropa pernah memburu orang-orang gila pada abad ke-15, yakni para penyihir yang dianggap mengkhotbahkan kegilaan. Abad ke-19, Freud memperkenalkan perihal bawah sadar. Baginya bawah sadar merupakan gambaran paling akurat dari jiwa manusia. Jiwa akan mengalami guncangan hebat tatkala hasrat dari bawah sadar itu ditekan sampai musnah. Perasaan bersalah menghalangi kegarangan dan hasrat seksual. Tapi seorang manusia menggunakan strategi kejiwaan untuk memanipulasi perasaan bersalahnya. Ia menempuh mekanisme pembelaan diri guna mengubah dosa supaya dimaklumkan atau diterima sebagai boleh. Sehingga di situ terciptalah sikap ambivalen. Ambivalensi tersebut yang membuat waras dan edan dapat terjadi secara bersamaan dalam diri seseorang. Seorang pembunuh keji sekaligus seorang seniman berkarisma dan terhormat, ia tak tertangkap, bahkan dapat meniduri detektif perempuan dengan kemampuan khusus yang ditugaskan menangkapnya. Kisah itu terjadi dalam film “Taking Lives” garapan D.J. Caruso. Film yang menampilkan payudara agung Angelina Jolie yang menyegarkan ini diangkat dari novel karya Michael Pye. Sang pembunuh berganti-ganti identitas atau jati diri. Ia memakai identitas atau jati diri korban-korbannya dari banyak negara. Ia menjadi pembunuh paling berbahaya dan paling sulit ditangkap.
Tentu saja Uwais al-Qarni disebut gila bukan karena ia melakukan kejahatan sebagaimana yang dianggap mengganggu Eropa sejak abad ke-15 sampai hari ini. Ia dianggap gila justru sebab melakukan kebajikan, yakni mengasingkan diri dari segala gelar yang hendak dilekatkan padanya. Kebajikan yang dituduh kegilaan, lantaran melawan atau bertentangan dengan keumuman masyarakatnya. Ia menolak menjadi hakim, menolak gelar cerdik-pandai, dan menghindari kehormatan. Baginya merekalah yang gila.
Tuan al-Qarni dianggap pengganggu, karena ia menolak klaim kebenaran dari ilmu. Semua jenis ilmu baginya adalah kepastian, bukan kebenaran. Kebenaran hanya dari Tuhan sebagaimana ditegaskan dalam ayat suci. Ilmu hanya menghidangkan kepastian, dan kepastian tersebut niscaya bersifat temporal. Ilmu memerlukan perdebatan, dibantah atau disangkal, sehingga ia terus menerus melewati penyempurnaan dari satu tempo ke tempo berikutnya dalam kehidupan manusia. Tanpa demikian, ia tak dapat disebut ilmu. Tapi doktrin atau ketetapan kekuasaan diktator yang harus diterima begitu saja tanpa sarat. Satu ilmu mestilah diperkuat oleh ilmu lain, atau dikritik dan diperbantahkan demi mencapai kepastian bersama yang diharapkan meraih kebenaran. Tak ada satu ilmu yang dapat mengklaim tahu segala-galanya atau menentukan segala-galanya. Jika sains dapat mengklaim paling tahu, ia telah menunjukkan kelemahan dirinya yang sebenarnya paling tidak tahu. Ia tak dapat memecahkan jumlah bintang dan menyembuhkan sejumlah penyakit yang paling berbahaya. Agama pun mengklaim tahu segalanya perihal alam semesta, kehidupan dunia dan kehidupan sesudah hidup di dunia. Tapi agama pula yang seringkali menciptakan kekacauan kehidupan dengan mengutuk sains, menghukum Galileo atau memasung al-Hallaj. Artinya pelbagai jenis ilmu mestilah berdialog guna menemukan komposisi kepastian untuk mendekati kebenaran.
Pikiran al-Qarni itu—pada masanya, dianggap gila. Barangkali ia dianggap gila lantaran ketaksanggupan berdialog dengan masyarakatnya, dengan kekuasaan, atau dengan struktur sosial. Namun tak sedikit orang-orang yang mendalami khasanah keilmuan Islam menemuinya diam-diam, mencoba meminta berkah ilmunya yang cemerlang. Betapa tipis batas antara waras dan gila. Juga betapa dekatnya orang gila dan orang waras, sehingga keduanya kadang-kadang saling mencari dan membutuhkan satu sama lain.
Tembokrejo, 2020
_________________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.