Heroisme dengan Diskursus

Ayenni Afriyani

Demonstrasi mahasiswa dari tahun ke tahun agaknya tidak pernah terlewatkan. Semangat muda mungkin memunculkan jiwa heroisme, dan demonstrasi itu dilakukan sebagai salah satu wujud peran mahasiswa, yaitu agen perubahan. Mereka berusaha menyampaikan tuntutan untuk pemerintah yang dirasa kurang adil kepada rakyat kecil. Ya, mereka ingin perubahan untuk rakyat, saat demonstrasi biasanya diselingi jargon “Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia”.

Tapi, segala hal yang lebih praktis membuat hidup demonstran zaman kini dan zaman sebelumnya berbeda. Misalnya dalam memperoleh informasi dan pengetahuan. Dahulu, keduanya banyak didapat lewat buku, majalah, dan koran, sementara sekarang bisa didapatkan melalui internet. Dalam sebuah kajian demonstrasi yang dilaksanakan sekumpulan mahasiswa yang mengusung “Kajian Tenaga Kerja Asing di Indonesia” pada 28 Oktober 2018, mereka hanya menggunakan referensi artikel di internet tanpa buku-buku. Ketika saya periksa, sumber data sepenuhnya plagiarisme, jauh dari argumen-argumen. Padahal argumen itu penting. Kalau hidup mahasiswa sudah begini, lalu apa yang hendak mereka berikan untuk rakyat?

Heroisme Soe Hok Gie patut dicontoh. Ia menggerakkan demonstrasi bukan dengan kajian amburadul. Gie seorang pemikir. Dalam Catatan Seorang Demonstran (2005), sebelum mengkritik pemerintah Gie banyak membaca buku dan berdiskusi. Ia juga menulis kritiknya di koran-koran. Tak hanya politik, ia bahkan mengomentari segala peristiwa dari filsafat dan agama.

Menghidupkan kembali mahasiswa yang berpikir kritis memanglah membutuhkan proses. Salah satu caranya dengan melakukan diskursus antar kelompok diskusi mahasiswa. Jangan sampai masing-masing kelompok mahasiswa membuka diskusi mereka sendiri, seakan ada pembatas. Harus ada diskursus di antara kalangan mahasiswa. Mengenai diskursus, KBBI mengartikannya sebagai “penukaran ide; gagasan secara verbal” atau bisa disebut juga diskusi.

Dalam diskusi filsafat di Teater Utan Kayu, 2 Oktober 2018, Fitzerald Kennedy Sitorus membicarakan etika komunikatif (berdiskursus) Jurgen Habermas. Berdiskursus ini bisa dilakukan dengan berinti pada rasionalitas pikiran. Tentu saja mahasiswa sebaiknya melepaskan keegoisan kalau pendapatnya tidak masuk akal. Ketika sedang berdiskursus ada hambatan pendapat, maka pendapat yang lebih rasionallah yang seharusnya diterima. Kekuatan rasional harus dibangun melalui buku-buku. Pemilihan buku juga harus masuk akal. Rasionalitas akan menjadi fondasi agar diskusi tidak amburadul.

Pencapaian mahasiswa dalam berdiskursus bisa dilakukan dengan meninggalkan konteks tindakan dan pengalaman masing-masing, karena terlalu subjektif dan bisa menjadi bias. Saat diskusi, mahasiswa bukan hanya sekadar menukarkan informasi dan isu-isu saja. tetapi perlu diargumentasikan. Pernyataan yang diberikan harus mengandung empat unsur: kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Kesahihan empat unsur itu harus berlaku secara universal dan bermoral.

Sangat baik hasilnya kalau mahasiswa sebelum melakukan demonstrasi mau melakukan etika diskursus Jurgen Habermas ini. Heroisme dengan diskursus akan terasa lebih matang. Sejenak, mahasiswa bisa meninggalkan referensi dari internet, dan mengolah referensi bacaan dari buku. Alangkah bahagianya jika masyarakat akademik mampu berpikir kritis. Tentunya Gie yang lain bisa kembali muncul di zaman sekarang.

Demonstrasi yang sudah terjadi akhir-akhir ini bisa dijadikan pelajaran guna memanfaatkan diskusi secara maksimal. Semoga mahasiswa mau saling membuka gagasan dan ide, supaya menjadi awal optimisme perubahan heroisme mahasiswa. Mahasiswa jangan hanya berdiskusi di kelompoknya sendiri. Harus melepas kegengsian, berdiskursus bukan untuk eksistensi terlihat pandai tapi untuk pencapaian tujuan dari diskusi yang masuk akal dan sumber yang jelas. Semoga saja kegagalan kajian untuk demonstrasi tidak berlanjut terus-menerus.
***

18 Nov 2018
https://sachapen.wordpress.com/2018/11/18/heroisme-dengan-diskursus/

Leave a Reply

Bahasa »