(Painting: Seated-Woman (Marie Therese), 1937, by Pablo Picasso)
Ahmad Yulden Erwin *
3/
Uniknya, dalam sejarah seni modern dan spiritualitas, soal keserentakan peristiwa ini bukanlah hal yang mengejutkan. Pada awal abad ke-20, surealisme telah menyatakan dalam manifestonya bahwa keserentakan dari peristiwa yang bukan sebagai urutan kausalitas adalah hakikat dari estetika itu sendiri. Lebih silam lagi, sejak ribuan tahun lalu, spiritualitas di Asia Selatan, seperti pada teks Upanishad atau Tao Te Ching atau Zen, juga telah mengakui bahwa pada hakikatnya segala sesuatu ada secara bersama sebagai kesatuan yang tak terpisahkan, sebagai “advaita”, bukan satu dan bukan dua.
Rasa saya, fisika kuantum kini telah bergerak untuk membuktikan kebenaran dari prinsip nonkausalitas dari surealisme dan advaita.
Terkadang, apa yang disebut “misteri” atau “yang tak terkatakan” atau “yang ajaib” hanyalah soal “keserentakan”. Dalam bahasa Latin, kata “serentak” ini ditulis sebagai “simul” yang menjadi muasal kata “simultaneously” dalam bahasa Inggris, atau “synchronos” dalam bahasa Yunani. Kata ini juga bersinonim dengan kata “una” (Latin) yang menjadi indung kata “uni” atau “one” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Bengali kata “serentak” ditulis sebagai kata “ekayoge” atau “eka satha” dalam bahasa India dan Nepal. Dalam bahasa Indonesia kata “serentak” itu mungkin lebih kena makna dengan kata “esa”.
Konsep “keserentakan” ini, ke-esa-an, jika diterapkan dalam persepsi indrawi, misalnya “melihat”, akan menghasilkan konsep supraindrawi. Kata “melihat” (dalam satu perspektif tertentu) adalah soal persepsi indrawi (mata) biasa. Tetapi, ketika engkau dapat “serentak” melihat dari berbagai perspektif dalam satu ruang-waktu tertentu, maka persepsi indrawi itu akan menjadi supraindrawi–dan konsep tentang “maha melihat” pun tercipta. Keserentakan mungkin kata ganti yang paling mirip tentang konsep “maha”.
Sebenarnya, benda apa pun yang hadir di ruang-waktu ini selalu hadir dalam keserentakan, utuh merangkum seluruh perspektif, hadir sebagai Ya Zahir (Yang Maha Nyata). Yang jadi soal adalah bahwa persepsi inderawi kita–atau mungkin “episteme” kita–membatasi kehadiran seluruh perspektif tersebut hanya dapat dipersepsi dari satu perspektif saja. Meski pada kenyataannya, apa pun benda yang hadir di hadapan kita, adalah seperti sebuah gema yang bergaung ke segala arah di dalam ruang-waktu dan tak pernah bergaung ke satu arah saja, atau umpama sebuah riak yang bergerak ke segala arah pada permukaan telaga dan tak pernah bergerak ke satu arah saja. Keesaan itu ada sebagai “lingkungan” kita, sebagai latar keberadaan kita.
Segala sesuatu adalah ajaib, karena segala sesuatu hadir secara serentak, karena segala sesuatu itu esa. Seperti lukisan multiperspektif (kubisme) karya Pablo Picasso di bawah esai ini. Perhatikan “latar” dari lukisan Pablo Picasso yang berjudul “Perempuan Duduk”. Apakah latar itu menonjol keluar (membentuk semacam benda padat) atau masuk ke dalam (membentuk semacam ruang)? Jawab: kedua-duanya. Latar itu terlihat sebagai benda padat sekaligus ruang. Dua hal yang menurut epistemologi modern dianggap sebagai kontradiksi, yang tak bisa diterima dalal logika saat ini, justru dihadirkan sebagai latar yang “serentak”–benda padat itulah ruang dan ruang adalah benda padat. Kebenaran dalam lukisan Picasso itu tidak lagi berupa perspektif tunggal, monistik, tetapi telah menjadi multiperspektif–telah menjadi plural sekaligus esa, Bhineka Tunggal Ika.
4/
Di dalam dunia sehari-hari, di dalam peristiwa, tak ada subjek atau objek, yang ada hanyalah predikat, proses itu sendiri. Tetapi, oleh sebab episteme kita sudah terbentuk dalam kerangka tautologi-biner, dalam prinsip urut-urutan kausalitas, maka terciptalah subjek dan objek sebagai dua pilar proposisi, di mana fungsi predikat hanyalah untuk menjelaskan subjek atau objek, hanya menjadi subordinat dari fungsi subjek atau objek.
Ketika tautologi-biner itu dicabut sebagai satu-satunya pondasi dalam epistemologi, maka yang hadir kemudian adalah keserentakan predikat–tanpa subjek, tanpa objek. Ini adalah dasar dari epistemologi seni, epistemologi puisi, dan tak ada satu pun filsuf modern atau pakar logika di dunia yang pernah berpendapat tentang hal ini sebelumnya.
Kenapa hal yang fundamental begini justru terabaikan? Itu karena sejarah epistemologi dan logika adalah sejarah tautologi biner dan kriteria kebenaran monistik–bukan keesaan, bukan keserentakan. Sekarang, ketika para pakar “artificial intellegence” terbentur untuk memahami sistem berpikir manusia, akibat terkurung dalam epistemelogi monistik, maka mereka suka atau tidak suka harus memahami “logika puisi”. Kunci berpikir manusia itu ada pada puisi, bukan logika monistik.
5/
Puisi kuno berjudul “Adi Shakti” (teks aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta) merupakan cermin dari episteme atau kesadaran akan keesaan segala sesuatu. Epistemologi keesaan menyadari keserentakan segala sesuatu sebagai kebenaran, kehadiran segala sesuatu sebagai pancaran “keajaiban” dari yang sungguh nyata di dalam kehidupan sehari-hari, keajaiban yang memelihara dan tidak ingin menguasai: alam adalah kita, kita adalah alam.
Presensi begini selalu ada di dalam dan di luar diri kita tanpa jarak–epistemologi monistiklah yang menciptakan jarak itu, membuat kesadaran menjadi sistem tautologi-biner yang tertutup. Epistemologi keesaan seperti ini jelas berbeda dengan epistemologi monistik yang menguasai dunia saat ini, yang memandang kebenaran sebagai “milik” tunggal sang manusia yang mengetahui, penguasa episteme, sementara alam hanyalah musuh atau minimal budak yang mesti melayani kepentingan manusia.
Epistemologi monistik telah memilih menghancurkan latar yang memungkinkan keberadaan manusia, alam itu, yang berarti telah memilih untuk menghancurkan manusia itu sendiri. Kita telah terilusi oleh epistemologi monistik yang tertutup, tautologi-biner yang memencilkan diri kita dari lingkungan sekitar kita, dari alam sebagai “latar” yang memungkinkan dan memelihara keberadaan kita sebagai manusia.
ADI SHAKTI
Sanskrit:
“Adi Shakti, Adi Shakti, Adi Shakti, namo, namo.
Sarab Shakti, Sarab Shakti, Sarab Shakti, namo, namo.
Prithum Bhagvati, Prithum Bhagvati, Prithum Bhagvati, namo namo.
Kundalini Mata Shakti, Mata Shakti, namo, namo.”
English:
“First force of all creation, to You I bow.
Divine force, everywhere, to You I bow.
Creative force, primal force, to You I bow.
Rising up, Divine Mother, to You I bow.”
6/
Pikiran kita terbiasa membatasi diri dalam urut-urutan, dalam serial, dalam algoritma: dua mesti selalu ada sebelum satu, satu selalu lebih dahulu ada sebelum dua. Begitu kita terbiasa menganggap algoritma kausalitas sebagai hukum alam atau hukum ilahi yang paripurna, yang tak bisa dipertanyakan, tak bisa dibantah, bahkan apabila sepasang matamu justru melihat hal yang sebaliknya. Tapi, benarkah begitu? Siapa yang mengharuskan kausalitas serial begitu? Saat kita melihat, benar-benar melihat, bahwa dunia–bahkan pikiran kita sendiri juga–pada faktanya bekerja tidak dalam kausilitas serial, tetapi simultan, serentak, maka sebagian besar kita menjadi bingung dan menganggapnya mustahil, absurd, sureal, magis, dan tak dapat dipahami. Tetapi, benarkah begitu?
Saat menikmati secangkir kopi, kita tidak menikmatinya sebagai urutan-urutan serial: dimulai dari manis lalu pahit lalu lalu asam lalu hangat lalu terciptalah kenikmatan–tidak begitu, sebab indera dan otak kita bukanlah komputer yang terprogram hanya bisa berfungsi dalam algoritma tertentu. Sebaliknya lidah Anda dengan sangat “cerdas” langsung menikmati secara simultan secangkir kopi yang hangat sekaligus asam sekaligus pahit sekaligus manis. Begitu pun dengan momen puitik, apa pun medianya, adalah momen dari keserentakan itu, sebuah kehadiran atau presensi dalam kekinian, sedetik kehadiran secara simultan dari segala sesuatu–dan, dengan demikian, kita bisa menyebutnya sebagai Keesaan.
Begitu sama sekali bukan hal esoteris, semacam kemegahan hiperbolis atau kemewahan khusus bagi para pertapa. Ini hanyalah sebuah momen dari Kondisi Terjaga, sebuah kondisi yang sangat alami, amat sehari-hari, seperti aktivitas makan, mendengar, melihat, mencium–hidup, bernapas! Sebuah keajaiban dari hal yang sehari-hari, yang bisa dialami dan selalu dialami oleh siapa saja. Tak peduli apakah dirimu seorang bangsawan atau rakyat jelata, kau selamanya adalah presensi dari Yang Esa. Seperti satu puisi karya Wallace Stevens. tentang fenomena keserentakan dalam kehidupan sehari-hari, yang saya terjemahkan berikut ini:
BEBERAPA METAFORA DARI SEORANG BANGSAWAN
Dua puluh orang melintasi jembatan,
Memasuki sebuah desa,
Adalah dua puluh orang melintasi dua puluh jembatan,
Memasuki dua puluh desa,
Atau satu orang
Melintasi satu jembatan memasuki sebuah desa.
Ini adalah lagu lama
Yang menyembunyikan maknanya. . .
Dua puluh orang melintasi jembatan,
Memasuki sebuah desa,
Adalah
Dua puluh orang melintasi jembatan
Memasuki sebuah desa.
Hal itu akan terus menyembunyikan maknanya
Sebelum bisa dipastikan sebagai makna…
Sepatu lelaki itu dipenuhi tanah
Berat diseret pada papan lantai jembatan.
Dinding putih pertama di desa
Menjulang melampaui pohon-pohon buah.
Sebenarnya, aku berpikir tentang apa?
Hanya melepaskan diri dari makna.
Dinding putih pertama di desa…
Pohon-pohon buah…
(1918)
*
METAPHORS OF A MAGNIFICO
Twenty men crossing a bridge,
Into a village,
Are twenty men crossing twenty bridges,
Into twenty villages,
Or one man
Crossing a single bridge into a village.
This is old song
That will not declare itself…
Twenty men crossing a bridge,
Into a village,
Are
Twenty men crossing a bridge
Into a village.
That will not declare itself
Yet is certain as meaning…
The boots of the men clump
On the boards of the bridge.
The first white wall of the village
Rises through fruit-trees.
Of what was it I was thinking?
So the meaning escapes.
The first white wall of the village…
The fruit-trees…
(1918)
7/
Begini Bertrand Russel pernah berkata: “Logika adalah masa kanak dari matematika dan matematika adalah masa dewasa dari logika.“ Tetapi, dengan ditemukannya bahasa pemrogaman komputer (khususnya dalam teknologi “artificial intellegence”) yang masih berbasis pada logika monistik, maka sekarang nampak bahwa matematika justru adalah masa remaja dari logika.
Meski demikian, masa dewasa dari matematika dan logika monistik sesungguhnya ada pada puisi kontemporer aliran presensi (presensialisme) yang berbasis pada epistemologi keesaan–yang merupakan kunci dari bahasa artifisial-intelegensia-kreatif, suatu bahasa yang akan merevolusi dunia informasi global pada masa depan yang dekat. Jadi, mulai sekarang jangan pernah lagi meremehkan puisi.
Mei-Oktober 2015.
Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/hukum-sebab-akibat-yang-tak-abadi-1/
__________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).
One Reply to “HUKUM SEBAB-AKIBAT YANG TAK ABADI (2)”