INOVASI METAFORIK: KETIKA ICARUS JATUH, HATINYA MENYALA


(Icarus Legend of Fall, gambar dari ikarusglobal.net)

Ahmad Yulden Erwin *

Ketika sayap Icarus terbakar matahari,
hatinya menyala menjelma bintang pagi!

Di dalam sejarah seni rupa modern dunia pada awal abad ke-20, ada hal substansial terkait warna. Di kalangan para pelukis klasik atau neoklasik, bahkan di kalangan para pelukis impresionisme sendiri, pada akhir abad ke-19, warna masih dianggap merupakan bagian dari realitas, representasi visual dari bentuk. Tetapi, satu kelompok pelukis meninggalkan praktek-praktek konvensional terkait persoalan warna dalam lukisan. Kelompok seniman itu amat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pascaimpresionis seperti Paul Cezanne, Vincent van Gogh, dan Paul Gauguin. Dipimpin oleh Henri Matisse, mereka dikenal sebagai “fauves”, atau “binatang liar”, dan aliran seni lukis mereka dikenal sebagai fauvisme. Mereka berani menggunakan warna-warna cemerlang secara tak lazim, tak meniru “logika” dari warna alam, warna “yang realis” itu, tetapi memasukkan unsur emosi ketika memosisikan warna dalam kanvasnya. Misalnya, menempatkan warna merah pada gunung, warna kuning pada laut, dan warna biru untuk batang pohon. Sementara pelukis klasik dan, neoklasik atau impresionisme menggunakan warna sebagai deskripsi dari suatu objek, fauvisme membiarkan warna itu sendiri menjadi subjek dari lukisan. Warna bukanlah diskripsi dari bentuk suatu objek, tetapi adalah bentuk itu sendiri. Komposisi dalam lukisan mereka mencari sebuah ekspresi dalam hubungan keseluruhan. Warna adalah substansi lukisan itu sendiri, bukan bentuk. Gerakan seni lukis fauvisme ini membuka jalan bagi banyak aliran seni lukis modern yang kemudian, seperti ekspresionisme, ekspresionisme abstrak, neoekspresionisme, abstraksionisme, kubisme, dll.

Bagaimana dengan puisi? Di dalam konvensi puisi, majas perbandingan, seperti metafora misalnya, masih dianggap sebagai “diskripsi” dari ide (gagasan, tema, pesan, topik). Oleh sebab itu syarat dari membuat majas perbandingan yang baik adalah adanya kemiripan antara topik (ide) dengan “kendaraan” atau bentuk dari gaya bahasa yang hendak diungkapkan. Kemiripan itu merupakan keharusan. Karena itu dikatakan fungsi metafora (termasuk majas perbandingan lainnya) adalah untuk membuat gagasan yang abstrak menjadi konkrit. Hal ini berarti metafora hanyalah fungsi dari gagasan semata. Metafora hanyalah “diksripsi dari realitas, dari gagasan” belaka. Metafora bukanlah subjek puitik, metafora hanyalah keterangan dari objek atau keterangan dari subjek (predikat) dan sama sekali bukan subjek. Itulah konvensi yang diterima secara akademis terkait metafora atau majas perbandingan lainnya.

Pertanyaannya, bagaimana bila metafora atau secara lebih umum majas perbandingan atau secara lebih luas seluruh jenis majas, baik perbandingan maupun pertentangan, adalah subjek itu sendiri dan bukan lagi “predikat” dalam satu komposisi puitik? Bagaimana bila majas itu bukan lagi deskripsi dari realitas, dari gagasan? Bagaimana bila gagasan atau pesan telah berubah menjadi “predikat”, dan bukan lagi menjadi subjek puitik? Bagaimana bila subjek puitik itu bukan lagi sebuah gagasan, sebuah pesan ideologis atau filosofis atau politis atau spritual atau religius tertentu, tetapi adalah emosi itu sendiri–tepatnya rasa “haru” itu sendiri? Jawaban pertanyaan ini akan menjadi inovasi puitik. Tak ada inovasi tanpa pemahaman yang benar terhadap konvensi.

Sebuah lukisan kolase guntingan kertas karya pelopor fauvisme dari Prancis, Henri Matisse, berjudul “The Fall of Icarus” dengan puitis melukiskan presensi dari keharuan itu. Ketika sayap-sayap Icarus terbakar oleh cahaya matahari, ia pun terjatuh dari angkasa. Namun, ketika jatuh dari keluasan angkasa itulah hati Icarus justru menyala, menjadi bintang merah. Warna merah menyala dari hati Icarus merupakan ekspresi dari emosi. Warna merah adalah subjek dari emosi itu sendiri, dan bukan deskripsi dari bentuk hati Icarus atau bentuk bintang. Hal yang senada juga dapat dibaca dalam puisi Iswadi Pratama yang berjudul “Amedeus” dalam kumpulan puisi “Harakah Haru” di bawah ini. Subjek puitik dalam puisi ini bukanlah “Amadeus Mozart” atau “Antonio Salieri”, sang “-ku” atau sang “-mu”, dua komponis besar di Wina pada abad ke-18 itu, melainkan “rasa haru” untuk keluar dari sebuah situasi batas–bisa kematian, bisa kegagalan, atau pahitnya nasib, atau, mungkin juga, kegelapan dari religiusitas itu sendiri. Keharuan itulah yang menjadi subjek puitik, menjadi latar sugestif yang memecah dirinya ke dalam aku-lirik, aku-objek, maupun aku-pembaca di dalam puisi Iswadi Pratama ini. Rasa haru itulah yang menjadi “warna” dari puisi ini, sebuah subjek puitik yang liar namun mampu membangkitkan simpati, warna merah dari hati Icarus yang tengah melayang jatuh ke laut, warna keharuan yang menyala dalam banyak puisi-puisi Iswadi Pratama, warna yang kini mungkin telah mendingin dalam banyak puisi-puisi modern atau kontemporer pada abad ke-21 ini.

AMADEUS: LACRIMOSSA

bukit-bukit es, jalanan berangin
empat lelaki menguburmu tanpa requiem

sebuah sekop berkarat di tepi
salju diseduh sedih di pangkal pagi

di lembar-lembar partitur itu
mengering luka bekas perihmu

di dinding-dinding kota Wina
nyaring tawamu tak lagi menggema

toksin menggerusmu hari demi hari
seperti sebuah nada terhapus dari komposisi

Salieri, Salieri…
“bila Tuhan tak memberkati, kupilih berkatku sendiri”
***

1 April 2015

_____________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Leave a Reply

Bahasa »