Matroni Musèrang *
Dalam tulisan ini saya akan mencoba berkenalan dengan penyair Madura yang tidak menetap di tanah kelahirannya, namun rasa Maduranya masih kental dan manis. Di komunitas ‘Kutub’ Pondok Pesantren Hasyim Asy’arie Yogyakarta, saya berguru kepada tiga penyair Pulau Garam “Madura,” Mahwi Air Tawar, Salman Rusydie Anwar, dan Ahmad Muchlis Amrin, di samping juga kepada pengasuh K.H. Zainal Arifin Thaha (alm) dan Kuswaidi Syafi’ie, Evi Idawati, Raudal Tanjung Banua, Joni Ariadinata, tetapi tulisan ini hanya focus pada tiga penyair yang sama-sama memiliki ciri khas dalam menulis puisi.
Semoga tuangan ini tidak su’adul adab (cangkolang; madura) kepada tiga tokoh tersebut, sebab bagaimanapun saya sebagai santrinya tetap menaruh ta’dzim kepada beliau, bahkan setiap malam menghadiahkan fatihah, dengan harapan barokah itu tetap mengalir ke kampung ilmu dan pengetahuan saya. Meskipun catatan ini membuat beliau tidak suka, semoga memaafkan saya sebagai santri yang selalu belajar dan belajar menulis.
***
Awal saya masuk dan diterima menjadi santri Pesantren Hasyim Asy’arie pada tahun 2005, ketiga penyair ini sudah di sana, dan telah terbiasa menulis di koran. Namun untaian ini bukan hendak menceritakan, hanya bagian dari pintu masuk bagaimana sebenarnya proses integrasi ke-Madura-an itu ditulis tiga penyair di atas, bagaimana mereka mampu bertahan, dan mencari celah untuk terus eksis dalam menuai sastra Indonesia.
Dalam percaturan perpuisian Indonesia, mereka memang tidak ikut dalam wacara serta desas-desus “politik sastra”, namun hanya mengikuti perkembangan sastra dan politik sastra Indonesia, artinya dalam subjektivitas saya -mereka tidak ikut arus ngartis sekadar komentar pendek, tapi membuktikan dengan karya, buat apa ikut komentar, jika tidak punya karya, lebih baik berkarya daripada cuitan-cuitan emosional-ngartis.
Karya lebih penting daripada ikut-ikut ramai di medsos, kata mereka dalam hati. Mahwi Air Tawar yang konsisten menjelejah kedalaman budaya tanah kelahiran, menulis puisi, dan cerpen-cerpennya selalu menawarkan nuansa budaya Madura, (baca: Blater, Karapan Laut).
Ahmad Muchlis Amrin, karakter pengembaraan prosesnya pun sama dengan Mahwi, tidak ikut ramai di medsos, tetapi Muchlis tidak seberani Mahwi dalam menerbitkan karya-karyanya, Muchlis baru berani menerbitkan karya tunggalnya baru satu, itupun pada tahun 2020. Entah apa alasan Muchlis tidak berani. Padahal tulisan-tulisannya sudah melanglang buana di koran lokal dan Nasional, bahkan pernah diundang ke Ubut Writer. Apakah karena takut karyanya hanya menjadi penghias rak-rak buku tanpa memiliki sumbangsih penting terhadap perpuisian Indonesia? Sementara anak-anak millennial dimuat sekali di koran, sudah ‘ngaku’ “Aku Penyair” dan mencari penerbit untuk membukukan puisinya, -yang katanya kualitasnya bagus menurut dirinya sendiri?
Pada tahun 2020 Ahmad Muchlis Amrin baru berani menerbitkan karyanya dalam bentuk buku dengan judul “Damar Kembang”, mari kita cek penggalan puisi yang berkarakter Madura “Sajak Buah Pinang”:
Nang ning nang ning nong/….
Bila kau racik pinang muda/ bercampur madu/ tambahkan saja telur kuningnya/ maka akarmu akan menghunjam-hunjam/ kedalaman birahi tuhan/ hingga lumas pemanjat pinang/ di hari tujuh belasan/.
Ini pun budaya Madura, perjaka jika hendak menikah, maka jamu pinang muda memang pas, bagaimana menghadapi perawan yang baru merasakan nikmatnya bersenggama, tentu perawan akan terus kurang dan selalu meminta, maka perjaka harus siap melayani, -olehnya buah pinang merupakan salah satunya. Namun saya tidak mengulas puisinya secara detil di sini, -akan saya cari waktu lain membahas “damar Kembang” nanti.
Salman Rusydi Anwar, justeru seolah tak berkeinginan menerbitkan puisi tunggal, entah atas dasar apa? Apakah sebab lebih suka menulis di koran/web, atau masih nunggu tahun yang pas? Kita tunggu saja.
Lalu apakah bisa terintergrasi ke-Madura-an mereka dalam puisi? tentu sangat bisa, dalam konteks diri mereka sama-sama lahir di Madura tepatnya Kabupaten Sumenep. Mereka sama menulis sastra, hanya saja celah yang dilakukan dalam menjaga eksistensi puisi yaitu dengan menuliskan puisi dan cerpen, yang masih bernuansa Madura.
Kalau Mahwi budaya Madura yang masih sedikit klasik, bagaimana Madura yang dikenal “kasar”, padahal tak, hanya jusfitikasi orang luar saja. Kasar di sini tentu memiliki makna yang berbeda, dengan kasar yang dianggap banyak orang di luar Madura. Kasar di dalam karya Mahwi, sebenarnya dalam konteks ke-laki-laki-an, artinya lelaki benar-benar penjaga gawang demi mengangkat harkat dan martabat keluarga.
Apakah kita akan menjustifikasi laki-laki yang mengangkat celurit kasar dan keras? Belum tentu, justeru itu ekspresi cinta kepada keluarga, sehingga harus mengeluarkan simbol celurit sebagai bentuk cinta. Misalkan cinta Tuhan kepada hambanya bisa berbentuk surga dan neraka. Apakah kemudian kita menjustifikasi Tuhan tidak cinta kepada kita, lantaran diceburkan ke neraka? Begitulah analogi kasar dan keras dalam karya-karya Mahwi. Jadi karakter karya Mahwi klasikal-progres.
Sementara Muchlis, justru keras dalam proses kreatif, tidak akan membukukan puisinya jika belum benar-benar menjadi puisi. Kata Joko Pinorbo, masih berupa draf puisi. Sehingga wajar jika sampai sekarang baru satu bukunya. Apakah lantas kita mengatakan Muchlis itu keras kepala? Tentu tidak, ini cinta kepada karyanya sendiri, sebab karya itu anak kandung, maka sebelum dipublik harus purna dulu menurut dirinya. Sehingga dalam pengakuannya “Aku menimal satu kali dimuat di kompas dalam satu tahun, itu sudah cukup”. Sementara karakter karya Muchlis millennial-kosmopolit.
Sedangkan pada Salman Rusydi Anwar berkarakter sosial-religius di dalam karya-karyanya, sehingga cukup lembut dan halus. Itulah karakter santri senior di Kutub yang selalu memberi contoh kepada santri yang lain.
Ke tiga penyair asal Sumenep Pulau Madura ini memiliki ruang-ruang tersendiri dalam menuangkan karya-karyanya, walau pun mereka tidak ikut arus percaturan wacana, tapi tetap eksis sampai sekarang, sebab bagi mereka eksistensi karya bukan terletak di komen-komen pendek, akan tetapi eksistensi karya terletak dalam perjalanan sejarah dan zaman.
Sehingga karakter santri masih dijaga oleh mereka itulah yang dijalankan sampai sekarang. Meski mereka hidup di kota, tidak pernah menghina dan mencemooh orang lain di FB, IG dan twitter, itulah karakter santri. Jika ada yang tidak setuju mereka langsung bertanya (tabayun), tidak kemudian mencak-mencak di medsos.
Itulah karakter penyair santri Pondok Pesantren Hasyim Asy’arie yang berproses di komunitas Kutub. Sebab Gus Zainal mendidik para santri bukan hanya tangguh bidang sains, akan tetapi juga spiritualitas, intelektualitas, profesionalitas. Artinya tulisan-tulisannya benar-benar refleksi atas bacaannya, tak hanya pendapat orang dicopas lantas dikomentari, tidak, akan tetapi bagaimana mereka harus memeras otak, berpikir, berzikir, sehingga menemukan sendiri.
7 Juni 2020
*) Santri pondok pesantren hasyim Asy’arie dan ketua komunitas kutub tahun 2007.