KONTEMPLASI

Semacam catatan kecil untuk diri sendiri pasca peringatan hari lahir


Sunlie Thomas Alexander *

KONTEMPLASI (1)

“Sesekali mungkin kita mesti membakar diri seperti burung Phoenix, lalu lahir kembali dari abu.”

KONTEMPLASI (2)

/1/
DI atas mimbar Jum’at di masjid dan surau, acapkali kita mendengar bagaimana seorang khotib sebelum menyampaikan khotbahnya terlebih dahulu mencoba mengingatkan dirinya sendiri: agar apa yang ia utarakan kelak bukan saja bisa bermanfaat sebagai amalan bagi sekalian jamaah tetapi seyogianya juga benar-benar dapat ia amalkan.

Islam, juga agama-agama lain, kukira memang senantiasa memberikan kita “warning” bahwa kita tidaklah mungkin mengingatkan orang lain atau–katakanlah secara gamblang–memberi nasehat kepada seseorang, apabila apa yang kita sampaikan itu tidak mampu kita terapkan untuk diri kita sendiri. Sederhananya lagi, sebelum kita meminta orang lain melakukan sesuatu “hal baik”, kita sendiri semestinya telah terlebih dahulu berbuat demikian. Jika tidak, itu hanyalah omong kosong hipokrit.

Sehingga di sini, tak bisa tidak, sikap “tahu diri” merupakan sebuah keniscayaan yang amat penting. Di mana ia sesungguhnya berlaku seperti cermin. Sebab bagaimana bisa kita mengingatkan orang lain untuk melaksanakan sholat jika kita sendiri tidak sholat? Bagaimana bisa kita menasehati orang agar memaafkan atau jangan membenci jika kita sendiri diam-diam masih menyimpan dendam kepada yang lain dan setiap saat mencoba membalaskannya? Kita juga tak mungkin mengatakan kepada orang agar selalu berbahagia atau jangan bersedih jika saban hari kita selalu bermuram durja.

Dan dalam konteks keilmuan, ini jelas berarti bahwa mustahil bagi kita untuk mengajarkan atau mengutarakan kepada orang lain apa yang tidak kita kuasai. Kita tidak mungkin mengajari orang melukis potret seorang gadis apabila menggambar kodok saja kita tidak bisa, kita tidak mungkin membimbing orang menulis cerpen apabila menggunakan titik koma yang benar saja kita tidak tahu, kita tidak mungkin mengajari orang Karate apabila memasang kuda-kuda saja kita tidak becus. Bagaimana kita bisa menuntun orang merakit komputer atau memperbaiki sepeda motor jika kita sendiri tak paham soal hardware atau mesin?

Alhasil, dalam hal ini contoh yang riil pun semestinya menjadi sebuah kewajiban.

/2/
NAMUN contoh bukanlah sekadar perbandingan, apalagi secara ngawur. Sebab setiap manusia dengan segenap pengalamannya merupakan situasi yang unik. Setiap kasus dalam wilayah pengalaman kita selalu bersifat kondisional, memiliki konteksnya masing-masing.

Ingat, ayat-ayat Quran pun tidak diturunkan dalam ruang-waktu yang kosong, tetapi selalu berkait-kelindan dengan sejarah kenabian. Begitu pula halnya setiap kisah dalam Alkitab yang seyogianya ditulis sebagai respon atas pengalaman keimanan yang kompleks dan spesifik umat pada kurun masa tertentu.

Adalah sesat dan menyesatkan apabila–dalam kajian sastra misalnya–kita dengan seenak udel melakukan kajian komparatif, misalnya dengan membandingkan cerpen2 remaja di majalah Aneka dengan novel In Search of Lost Time karya Marcel Prost yang–meminjam Dea Anugrah–(masih) dianggap sebagai tantangan paling angker bagi para pembaca karya sastra di seluruh dunia itu.

Ah, mungkin contoh dari jagat kesastraan yang kutarik di atas pun agak berlebihan. Namun intinya adalah kita tak bisa secara semena-mena membandingkan situasi kita sendiri dengan orang lain sekalipun dengan maksud baik memberi nasehat atau cuma sekadar berbagi pengalaman. Apalagi maksud baik ini kemudian diboncengi oleh motif “senasib sepenanggungan”.

Kalau menurutmu badan temanmu kegemukan bukan berarti ia menderita seperti dirimu yang gagal melakukan diet. Atau, mentang-mentang badanmu kurus ceking lantaran kurang makan atau karena dirimu terus-menerus disergap oleh persoalan pelik, dengan gampangnya kau menganggap orang lain yang juga berbadan kurus (misalnya diriku ini) “tidak berbahagia” seperti dirimu. Sebab bisa saja berat badannya itu justru ukuran yang ideal bagi kesehatannya atau memang lantaran bawaan-keturunan, atau bahkan memang seperti itulah yang ia inginkan karena membuat ia tampak lebih elok.

Kita tak bisa sewenang-wenang menyimpulkan sesuatu, seperti halnya kita tak layak menempatkan situasi kita ke tempat orang lain. Sebab jika ini terjadi, ia–“maksud baik” itu–bisa saja menjadi sebuah ikhtiar yang provokatif. Belum lagi jika semacam “perhatian” yang kita berikan dalam motif tertentu ini, kita sampaikan pada kondisi-tempat yang kita paksa-paksakan–yakni pada situasi-ruang yang sebetulnya tidak dikehendaki oleh si penerima perhatian. Misalnya, wong aku sedang kekenyangan sekarang, kok kau malah ingatkan agar aku segera makan?

Tentu, tentu kita selalu punya dalil “aku tahu”, “aku memang tahu”, atau “aku lebih tahu”, bahkan “aku harus tahu”.
***

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *