CERITA RAKYAT DAN STRUKTUR SOSIAL

Aprinus Salam *

Kalau mau tahu cara berpikir dan struktur sosial serta relasi-relasi suatu masyarakat, maka pelajari dan pahamilah cerita rakyat tradisionalnya. Kita tahu bahwa nilai-nilai, norma, dan kemungkinan mitos-mitos masih diwariskan dalam cerita tradisionalnya. Cerita-cerita itu sering menjadi pedoman masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari, baik pedoman dalam praktik berpikirnya maupun pedoman dalam praktik sosial. Pada masanya, cerita rakyat itu dibuat sebagai sesuatu struktur mental yang pada gililirannya menstrukturasi struktur masyarakatnya.

Setiap masyarakat memiliki cerita tradisionalnya sendiri-sendiri. Jika ada perbedaan dalam cerita tradisional untuk setiap lokalnya, kultur masyarakatnya juga tidak bisa disamakan. Di nusantara, cerita rakyat banyak kesamaannya, walaupun di beberapa detil terdapat beberapa perbedaan.

Tulisan pendek ingin membicarakan cerita rakyat tradisional dari Jawa. Hal yang ingin diperhatikan adalah bagaimana struktur sosial masyarakat dalam cerita tradisionalnya, persoalan gender, dan masalah etnisitas.

Berdasarkan amatan terhadap beberapa cerita, seperti Nawangwulan dan Jaka Tarub, Timun Emas, atau Bawang Merah dan Wawang Putih, dan sebagainya, maka struktur masyarakat masih diceritakan dalam konteks yang hierarkis. Dalam cerita itu, di masyarakatnya terdapat kelas atas (bangsawan) dan kelas bawah. Kelas bawah harus mengabdi ke kelas atas, kelas atas pada umumnya bertindak sebagai agen, dan terutama sebagai agen penolong atau penyelamat. Karena kelas atas yang diposisikan memiliki kemampuan itu.

Nilai-nilai tersebut berpengaruh terhadap cara berpikir masyarakat yang menjadi warisannya. Walaupun nilai-nilai demokrasi modern berusaha keras disosialisasikan, tetapi dalam praktiknya, sangat sulit bagi orang Jawa untuk melihat bahwa manusia itu sederajat. Manusia ditakdirkan untuk berbeda, ada yang lahir sudah berstatus atas (bangsawan), dan kelak bakal menjadi pemimpin, ada yang ditakdirkan menjadi kawula (yang dipimpin).

Hidup seperti dalam suatu struktur yang telah ditentukan. Mungkin akan ada kasus-kasus seseorang kelas bawah bermigrasi. Akan tetapi, hal itu bukan karena usaha dalam pengertian “kerja fisik”, karena hal itu akan berhadapan dengan kekuasaan struktural. Ada dua kemungkinan, pertama berkah akan adanya kekuatan supranatural yang mengatur kekehidupan. Kemungkinan kedua melakukan “perjalanan spritual”, dalam berbagai cara seperti bertapa, meditasi dan menyingkir dari kefanaan”, untuk menjadi manusia baru dan berbeda. Mungkin kelak orang tersebut menjadi seseorang yang hebat dalam struktur sosial masyarakatnya.

Sebagai konsekuensinya, kadang orang merasa nyaman dalam kondisi apa yang menjadi kesadaran ideologisnya, dalam struktur masyarakat tersebut. Mengubah kesadaran terhadap adanya perbedaan derajat tentu sulit. Masalah lain, bahwa “struktur atas” dalam masyarakat sekarang, seperti orang kaya, para terdidik, juga menikmati perbedaan tersebut, dan berusaha mempertahankan warisan cerita tersebut.

Memang kemudian, Islam misalnya, memberikan nilai-nilai baru bahwa pada dasarnya manusia itu sama dan sederajat. Sebagai agama yang cukup dominan, dalam beberapa hal nilai-nilai Islam sangat berpengaruh. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak demikian. Islam juga membedakan adanya perbedaan derajat bahwa orang “berilmu” itu, atau para alim ulama, seolah lebih tinggi kedudukannya. Mitos yang dibangun dalam cerita rakyat sering sejalan dengan nilai-nilai dalam agama.

Dalam hubungannya dengan masalah dan relasi gender, dalam cerita tradisional termasuk masalah penting. Banyak cerita tradisional bercerita tentang proses perjodohan. Wanita biasanya termasuk yang diperebutkan. Untuk mendapatkannya harus melalui berbagai proses yang bertahap dan bersyarat. Akan tetapi, hal ini sekarang juga telah mengalami banyak kelonggaran, bahkan telah banyak berubah. Cerita-cerita atau narasi-narasi modern sedikit banyak ikut mengubah cara pandang tersebut.

Dalam konteks cerita tradiosinal tersebut, wanita menjadi penting. Akan tetapi, berdasarkan narasinya, tetap saja wanita menjadi “objek” yang diperebutkan. Bahkan hampir semua cerita tradisional menceritakan wanita harus setia dan patuh pada suami. Wanita harus kawin karena kalau tidak kawin seperti seseorang yang tidak laku. Wanita juga harus melahirkan karena kalau tidak melahirkan dia bukan wanita sebagai wanita ideal yang diidealkan.

Dengan demikian, walaupun nilai-nilai feminisme modern berusaha dengan keras mensosialisasikan kesetaraan gender, tapi dalam praktiknya masil sulit. Kita bisa lihat kenyataan bahwa hingga hari ini wanita tetap saja masih subordinat, bekerja di rumah dan mengalami doministifikasi yang membuat perkembangan karier hidupnya tidak sama dengan laki-laki. Memang, tentu saja telah terjadi perubahan di sana-sini. Ke depan, dengan semakin banyaknya wanita yang hebat, akan terus berubah.

Akan tetapi, hal lain yang cukup menggembirakan adalah bahwa dalam berbagai cerita rakyat tradisional, masalah etnis tidak muncul sebagai masalah. Dalam beberapa cerita diceritakan bahwa adanya perbedaan etnis tidak menyebabkan adanya perseteruan. Orang tidak dibedakan dari etnis mana dia berasal, bahkan dalam banyak hal dapat bekerja sama dengan baik.

Dalam perjalanannya, semakin banyak orang terlibat dalam politik kekuasaan dan rebutan kekuasaan, yakni dengan memanfaatkan politik identitas dan memberdayakan SARA. Hal itu menyebabkan konstruksi cerita rakyat tradisional dan bangunan konstruksi sosialnya ambyar. Politik identitas menyebabkan munculnya berbagai oposisi karena alasan agama, suku, dan ras.

Hal itu menjelaskan bahwa beberapa kasus konflik etnis dan agama di Yogya, misalnya, relatif belum selesai. Di Solo, atau beberapa tempat lain muncul beberapa kasus etnis dan ras yang masih sangat mencemaskan. Hal ini menjadi semacam terorisme dan radikalisme internal. Karena di dalam selimutnya sendiri, banyak bara internal akan hidup sewaktu-waktu. Artinya, penangan terhadap terorisme dan radikalisme internal harus terus menerus dikelola dan dikendalikan.

Akan tetapi, hal tersebut lebih sebagai masalah ekonomi dan politik, bukan masalah kultural. Secara kultural sebetulnya orang Jawa tidak begitu menganggap penting adanya perbedaan etnis dan agama. Ini menyebabkan kebudayaan harus menyangga “penyakit” dalam politik dan ekonomi.

Dalam sejarahnya dulu, cerita rakyat itu ada yang mengarang. Ada orang yang diberi tugas untuk mengarang cerita, dan cerita itu kemudian disosialisasikan. Kita tahu, bahwa yang punya kekuasaan/kekuatan untuk memberi perintah tentulah para penguasa, orang yang bisa memberi imbalan kepada pengarang. Kemudian para pengarang itu membuat cerita yang tentu saja dapat dipastikan justru memapankan kekuasaan penguasa, yang biasanya laki-laki.

Persoalannya sekarang, apakah cerita rakyat tradisonal itu harus terus diwariskan, atau kita perlu membuat cerita rakyat baru? Akan tetapi, siapa yang bisa mengarang cerita rakyat secara canggih, tentu para terdidik dari “kalangan atas”. Dan yang lebih penting, siapa yang bisa bayar?
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

Leave a Reply

Bahasa »