Agus Dermawan T (foto dari magz.tempo.co)
Seni rupa memiliki peranan yang sangat besar dalam kehidupan ini. Benda-benda konsumeristik juga membutuhkan sentuhan seni rupa agar laku keras ketika diperniagakan. Segala sesuatu yang nampak, termasuk penampilan kita, butuh sentuhan seni rupa, dipapantes kalau kata orang Sunda.
Negara modern melalui industri kreatif, telah mengeruk uang sangat besar dari Negara berkembang melalui penjualan hasil kerativitias visual. Kita perlu segera menata dunia seni rupa di Tanah Air ini supaya tidak hanya menjadi warga pengguna, pemakai, pembeli. Kita juga harus menjadi pembuat.
Bagaimana kondisi seni rupa di Tanah Air kita, berikut perbincangan Doddi Ahmad Fauji dan Dwi Fitria dari Koktail dengan pengamat seni rupa Agus Dermawan T.
Bagaimana kondisi seni rupa terkini dalam penilaian Anda?
Kreativitas seni rupa Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini nampak diberangkatkan dari pasar. Saya tak menolak kenyataan ini. Dan ini bisa positif, lantaran pasar bukan nista. Sejak 15 tahun lalu, di antaranya lewat ceramah di TIM, juga lewat buku “Paradigma dan Pasar” terbitan Cemeti Foundation 2002, saya mengatakan pasar atau ekonomi, bisa jadi jendela bagi perkembangan dan pemahaman seni rupa, baik bagi senimannya, maupun apresiatornya, seperti kolektor, art dealer, galeri. Hanya sayang, pada perkembangan mutakhir seni rupa kita, terutama seni lukis, kelihatan mengacu pada perkembangan seni rupa kontemporer China. Seni rupa Indonesia yang selama 150 tahun dijajah seni modern Barat, dalam lima tahun terakhir ditelan seni kontemporer China.
Kiat-kiat apa yang musti ditempuh oleh pemerintah supaya aktivitas seni rupa berkembang, lalu berbuah?
Pemerintah harusnya memfasilitasi nilai-nilai seni rupa yang sudah mapan, yang mengakomodasi nilai-nilai seni rupa yang sedang berkembang. Tapi realitas terakhir menunjukkan, Pemerintah kurang menunjukkan itikad itu. Buktinya, koleksi seni rupa Istana Presiden yang sudah di-display di Museum Istana Presiden, yang menempati eks Gedung Bina Graha, di lempar keluar, karena gedung itu mau dipakai untuk kantor para pembantu presiden. Saya terlibat secara emosional kasus ini, karena saya ikut merancang konsep pendirian Istana Museum Presiden. Ketika saya mengeritik lewat koran Kompas kondisi Museum Le Mayeur –Bali, pihak pemerintah defensif dan mengaburkan data-data. Menyedihkan ya.
Bagaimana sebaiknya sikap seniman atau kurator di abad yang semakin progresif ini?
Kini banyak kurator yang bekerja sebagai salles, untuk pameran maupun biro lelang. Dan seniman menurut saja pada apa yang dikatakan kurator, karena seniman ingin merebut momentum ekonomi. Realitas ini tak menjadi soal, asal kurator jujur alias tidak mencari-cari akal dalam mengungkap tanjungjawab kuratorialnya.
Saya melihat mural-mural memenuhi jalaan, dan mungkin pemerintah akan mengecap liar karena tanpa izin. Menurut Anda ini gejala apa?
Saya lebih berbahagia munculnya aneka mural daripada patung-patung baru di Jakarta. Mural lebih bersifat menjinakkan lingkungan. Lihat mural di tiang-tiang jalan tol di jalan Yos Sudarso. Dibantu dengan lighting di malam hari, mural itu menggembirakan perasaan pemakai jalanan. Menarik bila Pemerintah mengkoordinasi seniman mural untuk bekerja dalam forum yang resmi. Atas order. Sementara pendirian patung kadang lebih kepada proyek. Namun saya sangat mendukung apabila setiap pengembang di komplek perumahan membangun patung-patung yang selaras dengan konsep lingkungannya. Seperti di komplek perumahan Ciputra atau Kelapa Gading Sumarecon.
Sekarang banyak bangunan yang menggunakan cat warna elementer atau warna-warna panas, misalnya merah darah, kuning mencorong, jingga, atau pink, dan lain-lain. Kenapa ekspresi visual ini muncul?
Saya kira pewarnaan setiap bangunan berangkat dari konsep arsitektural dan lingkungan. Semua ini berada di bawah wewenang arsitek, yang notabene seorang seniman.
Kota Jakarta tiada hari tanpa pembangunan. Namun kurang memperhatikan estetika, sehingga Jakarta jauh dari Indah bila dibandingkan dengan Moskwa apalagi Paris. Usulan Anda supaya Jakarta menjadi kota yang indah?
Tapi saya rasa setiap pembangunan gedung-gedung besar selalu mengacu kepada situasi lingkungan yang sudah ada, serta mempertimbangkan masa depan lingkungan itu. Walaupun nampaknya konsep merespon lingkungan itu tidak diterapkan optimal. Jakarta mungkin terlambat untuk mencontoh Shanghai, yang tetap memelihara citra kota-lama dan kota-baru. Kota-lama tetap dengan tradisionalitas arsitekturnya. Kota-baru dengan dengan modernitas yang terus bergerak maju, dan menurut saya sudah mengalahkan New York. Mengharap Jakarta seperti Paris, jauhlah. Kita kini melihat di Jakarta banyak gedung cagar budaya yang tidak dipelihara, sampai ada yang ambruk. Kasian deh Pak Fauzi Bowo yang dapat warisan Jakarta kurang terurus.
Tahun ini, tanggal 20 Mei, seabad lahirnya kebangkitan nasional. Dalam pengamatan Anda, apakah para perupa berkontribusi dalam kebangkitan nasional?
Kita ingat lahirnya Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) di tahun 1937 karena mewarisi semangat Budi Utomo. Juga dilandasri semangat Sumpah Pemuda 1928. Kala itu Sudjojono, Agus Djaya, dan sebagainya menganggap seni rupa adalah kompeonen penting untuk menyokong perjuangan kemerdekaan bangsa. Bung Karno juga menampakkan semangat ini di zaman Jepang, dengan pendirikan Poetera (Poesat tenaga Rakjat) serta ikut terlibat dalam keimin Bunka Sidhoso, tahun 1942. Tapi Seni rupa kita sejak tahun 1966 nampak bergerak sendiri. Konsep kebebasan kreatif, yang melepaskan pengaruh politik dalam seni, mengendurkan hasrat seniman untuk jadi patriot bangsa. Tapi penjauhan diri ini berdampak kurang baik. Pemerintah jadi kurang apresiatif pada eksistensi seniman, sehingga seniman hanya layak diberi santunan satu juta sebulan ketika uzur. Sementara ketika hidup, mereka tidak diberi banyak peluang untuk bergerak dan beraktualisasi.
Apakah perlu seniman memiliki semangat nasionalisme, dan seperti apa perwujudan visualnya?
Semangat nasionalis lebih perlu ditunjukkan oleh pencapaian mutu karya-karya seni. Mutu ini akan mengangkat nama Indonesia di dunia global. Berkait dengan ini, saya merasa aneh dengan ucapan pelukis laris Nyoman Masriadi. Dia berkata bahwa dirinya tak ingin jadi pelukis Bali, tak ingin jadi pelukis Indonesia. Ia ingin jadi pelukis internasional. Konsep berpikir ini salah. Mestinya ia tetap Bali dan Indonesia. Internasional adalah kancahnya. Pelukis China yang ngetop di dunia sekarang tetap membawa bendera China. Picasso selalu membanggakan Catallan, Spanyol, tempat kelahirannya. Sutradara Ang Lee tetap mengaku Taiwan, meski ia hidup di Amerika.
Karya seni rupa nenek moyang kita dalam bentuk candi, rumah adat, pakaian tradisional, perlalatan musik, hingga desain keris, sangat dikagumi bangsa lain, apakah élan kreasi leluhur kita perlu direkreasi oleh para perupa terkini? Bila perlu, kiat apa yang musti ditempuh?
Justru dalam seni kontemporer yang berangkat dari pemahaman post modernisme, ingin mengangkat indigenous art, atau seni yang terinspirasi khasanah seni lokal. Mestinya seniman kontemporer kita kembali mempertimbangkan itu. Jangan malah terpengaruh China.
Bagaimana Anda menilai posisi dan etos kerja Galeri Nasional Indonesia?
Yang saya sayangkan dari Galeri Nasional adalah lalainya memfomat kembali koleksi galeri, yang dulu pernah ditata seperti museum. Sejak ruang itu dipakai untuk CP Biennale, koleksi tidak dikembalikan pada tempatnya. Padahal museum ini penting untuk pelengkap Galeri Nasional. Penting untuk dilihat masyarakat, karena nilainya bagus. Ini sebuah etalase nilai. Kita harus ingat, koleksi ini dibeli oleh pemerintah dengan uang rakyat. Kini Galeri nasional seperti ruang pamer saja. Akhirnya kayak galeri biasa.
Menyangkut pribadi Anda, bisa diceritakan mengapa memutuskan jalan hidup dalam bidang seni rupa?
Selulus dari sekolah menengah di St. Louis, saya kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa “Asri” Yogyakarta, jurusan seni lukis, tahun 1971 sampai 1976. Ayah saya yang menganjurkan. Ayah adalah pengagum Basoeki Abdullah dan Soedjono Abdullah. Tahun 1930-an, ayah saya teman main sepakbola Sudjojono di Rogojampi. Saya sendiri sudah menerima pesanan melukis sejak SMP.
Suka atau duka yang Anda temui saat bergulat dengan seni rupa?
Saya juga tertarik kepada pemikiran dunia seni rupa. Karena itu, waktu di Asri saya sangat antusias mengikuti kuliah sejarah seni rupa, kritik seni rupa, filsafat seni, dan sebagainya. Saya banyak menggali ilmu dari Pater Dick Hartoko, seorang pastor pendidik. Terutama filsafat seni rupa. Saya ingat apa yang dikatakannya, dengan mengacu kepada pemikiran Herbert Read, bahwa seni rupa tak senantiasa estetik, tak selalu indah. Tetapi ketidakindahan seni rupa bukanlah ketidakindahan masyarakat umum. Ketidakindahan seni rupa tetap pada koridor artistik. Hal ini yang tidak difahami oleh sebagian seniman kontemporer sekarang, sehingga yang acakkadut tetap dipercayai sebagai seni. Ini cilaka. Lebih cilaka lagi yang begituan dibeli oleh kolektor asal-asalan. Hahaha. Oh ya, Pater Dick juga yang mensponsori saya pameran Nusantara! Nusantara!, yang bikin saya dipecat dari Asri, tahun 1976. Ini pameran yang memprotes kebijakan Asri yang akan memaksakan pelembagaan “kepribadian Nasional” dalam seni rupa. Saya, kami, minta, kepribadian nasional oke, tapi nggak usah pakai peraturan segala. Biar tumbuh dari kesadaran kreatif sendiri-sendiri saja.
Mengapa akhirnya Anda memutuskan jadi pengamat dan kurator, dan tidak menjadi seniman?
Tahun 1976 saya ikut pameran Biennale di Taman Ismail Marzuki. Di situ pelukis Popo Iskandar, Rusli dan Oesman Effendi bilang: Gus, pelukis Indonesia sudah banyak, tapi kritikusnya cuma Dan Suwaryono, Sudarmaji, Bambang Bujono. Kamu masuk saja… Saya bepikir, betul juga. Sejak itu, saya banyak menulis. Setahun kemudian saya mengatakan ini kepada Pak Alfons Taryadi, pemegang desk kebudayaan di Kompas. Saya lalu diberi jatah menulis seni rupa minimal seminggu sekali. Dan Pak Alfons menaruh tulisan saya di halaman 4 atau halaman opini, agar lebih banyak orang yang membacanya. Ini berlangsung sampai sekitar 5 tahun. Setelah itu, budayawan JB.Kristanto menggantikan Pak Alfons. Mas Kris punya strategi lain. Perpendek tulisan seni rupa, dan asimilasikan antara kritik dan jurnalisme. Saya diberi jatah 4 sampai 5 artikel dalam seminggu. Saya merasa, tanpa menyingkirkan peran media massa lain, efek apresiasi seni rupa nampak luar biasa kala itu. setahun bisa terjadi 120 pameran. Semua kepingin ditulis. Di sini pecinta seni lukis mulai terbentuk. Kolektor muncul.
Seni rupa telah menghidupi Anda, dan Anda juga telah menghidupi dunia seni rupa. Hutang apa yang belum Anda bayar dalam menghidupkan seni rupa di Tanah Air?
Saya senantiasa berhutang kepada dunia seni rupa. Hutang moral. Saya melihat, bila ada kecenderungan baru muncul, mashab lain yang dianggap lampau langsung kurang diperhatikan. Ini fenomena revolusi yang sifatnya “merubuhkan yang kemarin”. Ini nggak sehat. Atas hal itu saya selalu merancang aktivitas yang melawan arus. Ketika “jlebret art” jadi mode di ujung 1990-an, saya berusaha mempopulerkan kembali realisme potretik lewat berbagai kompetisi. Ketika seni kontemporer ala China menggerus, saya ingatkan kembali ada lukisan tradisional Bali yang luar biasa. Akhir Maret 2008 nanti, saya bikin pameran seni lukis mashab Batuan dan Keliki, Bali. Bagi saya, karya-karya mereka adalah keajaiban seni dunia.
Obsesi Anda yang bersifat utopis dalam bidang seni rupa?
Saya memimpikan hadirnya museum seni rupa yang representatif, dari Pra Raden Saleh sampai yang sekarang.
Siapakah perupa dunia yang paling Anda kagumi, dan karyanya yang paling mempesona?
Salvador Dali. Untuk Indonesia Dede Eri Supria, khususnya untuk karya sebelum tahun 2001. Di rumah saya pernah terkoleksi 80 lukisan Dede, sebelum orang berniat mengoleksi.
Sipakah perupa Tanah Air yang paling Anda kagumi, membuat Anda jungkir balik ingin mengpleksinya?
Tidak ada. Lha uang saya sedikit.
Omong-omong, adakah memiliki hobi yang barangkali akan disebut unik oleh orang lain?
Saya senang bikin puisi dan cerpen. Sejumlah antologi telah memuat karya-karya saya itu. Tahun 2009, persis 30 tahun perkawinan, rencananya akan saya terbitkan. Saya, bersama isteri saya, gemar mengumpulkan teko artsitik dari seluruh dunia. Teko-teko itu saya batasi seukuran segenggaman tangan. Di berbagai negara, selain melihat seni rupa, kami berburu teko. Kini sudah terkumpul ratusan teko dari puluhan negara, dari Kanada, Yunani, Turki sampai Selandia Baru. Teko itu lambang Ibu, yang menyimpan harta karun banyak di perutnya, untuk dituangkan sedikit-sedikit kepada yang perlu. Teko itu lambang kemuliaan.
Apakah Anda siap menjadi Kepala Galeri Nasional kalau masyarakat mengusulkannya kepada pemerintah?
Tidak. Saya ingin jadi pengamat seni saja.
Apa yang akan Anda lakukan jika menjadi Kepala Galeri Nasional?
Saya serahkan jabatan itu kepada yang lebih memiliki kapabelitas.
***
Agus Dermawan T, dilahirkan di Rogojampi (Banyuwangi), 29 April 1952. Menamatkan SMA St.Louis Surabaya, 1970. Kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa “Asri” jurusan seni lukis 1971 – 1976, di bawah bimbingan Widajat, Fadjar Sidik, Soedarso SP, Sudarmaji. Tidak tamat, atau dikeluarkan karena melakukan pemberontakan seni, berkait dengan peristiwa “Desember Hitam”. Sebagai pelukis, beberapa kali ikut serta dalam pameran bersama. Di antaranya pameran berlima bersama Suatmadji, Siti Zainon Ismail, dan lain-lain di Solo. Juga pameran Biennale Pelukis Muda Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Pameran terakhir adalah Biennale Seni Lukis Indonesia 1976 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di TIM.
@edisi cetak dipublikasi dalam koktail nomor 22>>:: 21 – 27 februari 2008.