Aryo Bhawono
detikNews, 26 Apr 2018
Naskah tonil Audatul Firdaus (Kembalinya Surga Yang Hilang) memantik pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia pada 10 Juni 1947. Penyair keturunan Hadramaut kelahiran Surabaya, Ali Ahmad Baktsir, menuliskan roman drama berisi siasat pendiri Indonesia memproklamirkan kemerdekaan di bawah tekanan Jepang.
Tonil empat babak ini menyebutkan nama Sukarno, M. Hatta, dan Sutan Sjahrir bersiasat menyusun kemerdekaan saat akhir kekuasaan Jepang di Indonesia. Mereka membagi peran, Sukarno bersikap kooperatif terhadap Jepang, dan Sjahrir membentuk organisasi perlawanan bawah tanah.
“Nama Sukarno ditambahi nama Ahmad untuk mendekatkan dengan pembaca di Mesir. Sedangkan Sjahrir dan Hatta adalah nama arab, sudah cukup familiar,” ucap Direktur Eksekutif Nabiel A. Karim Hayaze’ di sela Seminar Festival Hadhrami di Universitas Indonesia (UI), Rabu (25/4/2018).
Nabiel tengah menerjemahkan naskah tonil ini. Menurutnya Ali Ahmad Bakatsir melakukan kerja keras menyusun Audatul Firdaus. Kala itu, informasi mendapatkan gerakan politik dan proklamasi di Indonesia tak gampang.
(Ali Ahmad Bakatsir dan keluarga)
Jepang menekan agar siaran proklamasi tak mengudara ke negara lain. Media di Mesir mendapatkan siaran melalui Arab Press Broadcasting (APB) dan radio gelap. Sedangkan media cetak masih memberitakan secara sepenggal-sepengal. Ali Ahmad Bakatsir yang memiliki ikatan kuat dengan kota kelahirannya, Surabaya, mengumpulkan data-data ini dan menyulapnya menjadi sandiwara tonil.
“Ia selalu terkenang dengan Surabaya, iklim pantainya, teman-temannya, dan ibu yang dicintainya dari Surabaya. Makanya ia memiliki ikatan dan membuat karya ini dengan susah payah,” terang Nabiel.
Ali Ahmad Bakatsir lahir pada 21 desember 1910 di Surabaya dari keturunan Hadhramaut. Ayahnya bernama Ahmad Baktsir dan ibunya, Nur Bobsaid, asal Surabaya. Pergaulan masa kecil mempertemukannya dengan Abdurrahman Baswedan yang lahir di kota Surabaya.
Pada usia 10 tahun, ayahnya mengirim Baktsir ke Hadhramaut untuk belajar agama di Madrasah An Nadhah al Ilmiyah. Kemampuan sastranya berkembang pesat dan sanggup menyusun syair sendiri pada usia 13 tahun. Ia sempat hijrah ke Aden dan Arab Saudi sebelum berlabuh di Fuad University (sekarang Universitas Kairo).
“Di Mesir ini karya sastranya benar-benar berkembang, ia menuai prestasi dengan berbagai penghargaan dan karya sastranya selalu dimuat oleh media di Mesir,” tutur Nabiel.
Tonil Audatul Firdaus sendiri dipentaskan saat perayaan setahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Kairo, Mesir. Buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri yang dituliskan M. Zein Hassan menyebutkan Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia menggelar pentas salah satu fragmen tonil ini.
Pentas itu mengesankan di tengah kondisi Mesir tengah tidak stabil karena persaingan politik. Pembunuhan politik tengah marak dan panitia perayaan Proklamasi kemerdekaan RI diminta untuk tidak menimbulkan demonstrasi.
“Adalah sangat mengesankan sandiwara yang disela-sela oleh teriakan riuh mengelu-elukan Sukarno, Hatta dan Sjahrir, Indonesia Merdeka, dan Republik Indonesia,” tulis buku itu.
Nabiel menambahkan, karya Ali Ahmad Bakatsir itu paling tidak memberikan pengaruh bagi Mesir sebelum mengirimkan Konsul Jenderal Mesir di Mumbai India, Muhammad Abdul Mun’im, menemui Presiden Sukarno di Yogyakarta pada Maret 1947. Publik Mesir pun sudah tak asing dengan Indonesia, karena karya Baktsir yang lain, sehingga tak ada kontroversi soal pengakuan Indonesia.
(Ali Ahmad Bakatsir bersama dua sahabatnya)
Baktsir kemudian memperoleh kewarganegaraan Mesir atas perintah Raja Mesir pada 22 Agustus 1951. Ia meninggal di Kairo pada 10 November 1969 dan dikenang sebagai sastrawan besar negeri itu. (ayo/jat)