Enam Puisi Petrus Nandi

Kepada Klaudia Pyokula

/1/
Tak terbenam gelisah yang mengendap pada kujur kita. Kita bertolak dari kenangan yang membatu di istana kaisar dan misteri beranda Yerusalem yang belum dapat kita terawang.

/2/
Aku memuji keputusanmu melawan keputusasaan. Meski kau sedikit butuh perjuangan. Juga demi memahami: bahwa laut memang tak pernah menyangkal kodratnya; bahwa kita harus tabah di hadapan amukan ombak; bahwa kita tak harus mengutuki perkara yang melayarkan kita; bahwa sedikit ikhlas akan membuat perutmu tak bakal mual lagi dan lekas mengecap tenteram; bahwa kita sebaiknya berdamai dengan angin angkuh dan kapal yang tabah menelan hujatan.

/3/
Tapi, kupinta cukupkan airmata itu. Pyokula, aku lemah di hadapan tangisan. Aku rentan di muka duka. Bangkit berdiri, cintaku! Mari beranjak ke beranda depan. Nah, lihat itu ada cahaya. Di belakangnya ada pantai melapangkan tangan menyambutmu. “Ave Pharos!” Kita tiba di Alexandria.

Puncak Scalabrini, Agustus 2020

Ob-Audire

Bahwa kau tak perlu
Takut menjelma berudu
Bila kolam dingin itu
Semata takdirmu.

Puncak Scalabrini, September 2020

Mahulehawe

Denyut jantung melagukan pesta
Di halaman kepalaku.
Aku menunaikan perayaan
Kegagalanmu memahamiku
Sebagai teman bermimpi paling setia.

Kumencium aroma masa tuamu
Pada gemuruh bantera Nuh
Karam seketika tersebab candu
Mencintai dua kutub musim
Yang tak pernah saling damai.

Hidup tak pernah sudi berjalan kangkang
Antara kegelapan dan kegemerlapan.

Mataku bahkan tak sanggup
Menjangkau langit berlapis-lapis rahasia,
Lenganku legam kala berkerah mengiris
Keangkuhan menebal di dadamu.

Yang tersisa padaku nyanyian
Butir-butir pasir di bibir pantai
Menanti kepulanganmu menepikan duka
Kelak kau akan mendapatiku sebagai kenangan:
Mutiara yang pernah kau sia-siakan.

Puncak Scalabrini, September 2020.

Siasat

Pada jumpa kali ini
Kurindukan kau sebagai musim
Yang sebaiknya tak perlu berganti baju.

Kabut menebal dan aku membuka mata,
Langit masih bersikeras biru.

Kerinduanku di masa lalu
Adalah mekar rindu musim salju
Kepada hamparan batu dan nasib membatu.

Kata-kataku rumpang tak rampung
Tapi aku burung yang tak letih bernyanyi
Sebab cintaku tak kenal perhitungan

Bahkan bila kau menjelma mawar
Yang menarik hasratku,
Kusiasati duri-durimu:
Derita yang tak purna nikmatnya.

Puncak Scalabrini, September 2020.

Uno

Matamu lihai
Menerawangi ketakpastian
Di sisi kanan dan kirimu.

Lewat lembar-lembar berwarna
Kumembuang rahasia masa lalu
Kau mengumbar nyali dan ciutmu
Pada nomor-nomor bertebaran di meja.

Tapi dari lingkaran itu kita paham:
Bahagia dan derita ialah buah-buah ranum
Dari lafaz bibir kita.
Dari kesigapan dan ketakwaspadaan kita.

Puncak Scalabrini, September 2020.

Ada yang Mendadak Bangkit
: John Nurdir

Ada yang mendadak bangkit
Saat kita bicarakan satu per satu
Perkara yang belum selesai
Dan rencana-rencana kecil di tangan kita
Masih belum menjelma abadi.

Ada yang mendadak bangkit
Saat bibir yang deretan tahun silam membeku
Perlahan membuka aib-aib kekalahan masa lalu
Yang bersembunyi dalam rahim histori
Nenek moyang kita.

Ada yang mendadak bangkit
Jiwa yang menjelma malaikat malam
Seakan ingin membangkitkan kisah mereka
Sambil membayangkan anak-anak kita terjebak
Dalam angan-angan ini.

Di luar udara masih dingin
Ada anak-anak sedang mengirim bunga-bunga api
Menuju langit.

Pantar, Juli 2019.


_____________
Petrus Nandi lahir di Pantar, Flores pada 30 Juli 1997. Buku kumpulan puisi perdananya berjudul “Memoar”. Saat ini ia menetap di Biara Scalabrinian, Maumere.

2 Replies to “Enam Puisi Petrus Nandi”

Leave a Reply to John Brusen Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *