CERITA KECIL DI PEDALAMAN HUJAN

Taufiq Wr. Hidayat *

Sahdan pada tepi sebuah hutan. Ada rumah kayu, halaman bunga. Sebuah sumur tua. Hutan pinus. Dan harum daunan. Gadis kecil berjalan kecil dengan kaki kecil di halaman berbunga yang kecil. Sendirian. Rambutnya yang halus dan ikal dielus angin. Kedua matanya mengerjap bagai bintang kejora. Rumah mungil. Sendiri. Sungai bening. Wangi kembang. Begitulah gadis kecil yang bernama Kembang Sepatu Anwar itu, berlibur di tepi hutan, bersama kedua orangtuanya.

Apa yang ada dalam pikiran orangtua gadis manis itu, sehingga memberinya nama Kembang Sepatu Anwar? Orangtuanya bernama Anwar. Konon bapaknya mengagumi bunga sepatu… Bunga berwarna merah, yang bila kelopaknya digosokkan pada sepatu, sepatu akan hitam mengkilap. Bapaknya orang yang gemar memakai sepatu. Ia sering menggosokkan kembang sepatu pada sepatunya. Kepalanya botak. Untuk kepalanya, ia tidak menggunakan kembang sepatu. Ketika gadis kecil itu lahir pada pagi yang hujan, bapaknya langsung saja memberinya nama Kembang Sepatu Anwar.

Orangtua Kembang Sepatu Anwar memiliki rumah mungil di tepi hutan pinus. Si ibu bernama Idawati Putri Hartati. Orang Jawa. Bapaknya bernama Anwar Saja. Anwar bekerja pada sebuah perusahaan milik negara. Ibu gadis kecil itu seorang ahli kecantikan. Libur panjang akibat wabah corona, dimanfaatkan keluarga kecil itu berlibur di rumah mungil di tepi hutan pinus. Rumah itu dibangun Anwar Saja. Sengaja ia memilih tempat di tepi hutan pinus yang berdekatan dengan desa kelahirannya. Semacam vila. Hanya untuk melepaskan penat kerja di kota besar yang bernama Surabaya.

Gadis kecil 6 tahun itu berlarian di halaman rumah kayu. Rumah kayu kecil dengan model Eropa lama. Bunga-bunga. Dan yang merekah di antara cahaya senja.

“Kembang Sepatu Anwar, ayo segera mandi. Sebentar lagi Bapak dan Ibu pulang. Lagi pula, langit akan hujan,” panggil Mboksumara, pengasuh Kembang Sepatu Anwar yang selalu mendampingi Kembang Sepatu Anwar ke mana pun.

Mboksumara menemani Kembang Sepatu Anwar nyaris dua puluh empat jam. Baik di Surabaya maupun di desa tepi hutan pinus itu. Bapak dan ibunya tak pernah tinggal berlama-lama di rumah. Keduanya selalu keluar untuk urusan pekerjaan. Pagi, Bapak-ibu menemani Kembang Sepatu Anwar sarapan. Hanya dua jam sejak Kembang Sepatu Anwar bangun tidur. Keduanya lalu keluar. Keduanya hanya menyisakan kecupan kecil pada pipi gadis kecil yang bening itu. Kembang Sepatu Anwar hanya mengangguk, kedua matanya mengerjap indah dan menakjubkan bagai bintang kejora.

“Bersama Mboksumara ya. Jangan nakal. Butuh apa saja, minta sama Mboksumara. Jangan main terlalu jauh, bahaya. Susunya diminum. Jangan lupa tidur siang. Ibu pulang sore,” kata Ibu. Mengecup kening Kembang Sepatu Anwar. Gadis itu mengangguk. Kedua matanya berkilat, bening, dan kesepian.

“Bapak pulang pukul 7 malam. Baik-baik di rumah. Nanti Bapak bawakan hadiah,” ujar Bapak. Mengecup pipi Kembang Sepatu Anwar. Gadis mungil itu tersenyum, rambutnya yang halus dan ikal tergerai alangkah indahnya.

Tapi Ibu selalu pulang terlambat. Ibu tiba di rumah sudah pukul 21.00 WIB. Kembang Sepatu Anwar sudah tertidur pulas, memeluk bantal guling yang besar. Bapak pun pulang terlambat. Bapak tiba di rumah pukul 21.30 WIB. Kembang Sepatu Anwar sudah tertidur, tapi tersenyum dalam tidurnya. Ibu punya alasan kenapa telat tiba di rumah tempat keluarga itu berlibur: jalanan macet. Bapak pun punya alasan kuat kenapa ia terlambat: jalanan licin karena hujan.

Meski Kembang Sepatu Anwar diasuh oleh seorang pengasuh anak bernama Mboksumara, ia tak pernah tidak mendapatkan cerita pengantar tidur menjelang tidurnya. Mboksumara gemar mendongeng. Dia pengasuh anak yang gemar membaca. Tadi Mboksumara mendongeng kisah Kafka, perihal seseorang yang ketika bangun pagi secara ajaib menjadi kecoak.

“Apakah besok pagi Kembang akan menjadi kecoak, Mboksumara?” tanya Kembang Sepatu Anwar cemas. Kedua matanya berkilauan.

“Oh tidak, Nona Kecil. Itu cerita fiksi. Cerita fiksi itu tidak nyata. Tapi diambil dari kejadian nyata sehari-hari. Kadang-kadang fiksi dan kenyataan susah dibedakan,” jawab Mboksumara.

Kembang Sepatu Anwar pun lega. Meski ia tak mengerti penjelasan Mboksumara perihal fiksi. Ia pun tertidur. Dan percaya bahwa dirinya tidak akan menjadi seekor kecoak ketika bangun pagi.
***

Pagi. Seperti biasa. Ibu dan Bapak berangkat kerja atau entah ke mana. Keduanya memiliki urusan masing-masing yang tak pernah bertemu. Keduanya hanya bertemu di rumah. Sudah malam. Lelah. Tidur. Begitu seterusnya. Mirip baling-baling. Tapi keduanya, pagi tadi, sebelum berangkat pada kepentingan masing-masing, Ibu dan Bapak bersepakat pulang tidak terlambat. Keduanya saling mengangguk. Kemudian memasuki mobil mewah masing-masing, melaju ke arah yang berbeda, entah ke mana.

Hingga senja. Hujan turun deras. Kembang Sepatu Anwar menyanggah dagunya dengan kedua tangan di bibir jendela kamarnya. Kedua matanya yang bening menatap ke langit, berharap hujan memasuki kedua matanya. Tiba-tiba ia kaget, tepat di atas sungai yang mengalir tak jauh dari jendela kamarnya, Kembang Sepatu Anwar melihat sesosok mayat tersangkut di ranting sebuah pohon yang tumbuh tepat di tepi sungai. Hujan deras. Sungai banjir, hampir meluap. Mata mayat itu terbelalak, nyaris terlepas dari tempatnya. Lidahnya menjulur. Mulutnya dimasuki ribuan semut merah. Kembang Sepatu Anwar menajamkan tatapan matanya yang tajam. Benar! Itu benar-benar mayat. Ia mengingat kata-kata Mboksumara di dalam pikirannya, ia bertanya pada dirinya sendiri; apakah ini fiksi atau kejadian nyata. Ini pasti nyata. Ini bukan fiksi. Kembang Sepatu Anwar mengambil teropong Sherlock Holmes, hadiah ulang tahunnya tempo hari. Teropong kecil itu bisa memperbesar benda yang jauh. Kembang Sepatu Anwar memasang teropong pada sebelah matanya. Benar! Itu benar-benar mayat. Kembang Sepatu Anwar segera beranjak dari bibir jendela kamarnya. Ia menemui Mboksumara yang duduk melihat tivi di ruang tamu.

“Lho Nona Kecil belum tidur rupanya?”

“Mboksumara. Saya melihat mayat. Mayat tersangkut di ranting pohon di atas sungai dekat kamar.”

“Hahaha! Nona kecil sedang mengarang fiksi ya?”

“Benar, Mboksumara. Ada mayat di ranting pohon. Ini bukan fiksi. Aku telah memastikannya dengan teropong detektif.”

“Jangan berkhayal. Jangan berbohong! Masih kecil suka bohong. Nanti Mboksumara bilang sama Ibu ya.”

“Kembang benar-benar tidak berbohong, Mboksumara. Ayo lihat ke jendela kamar Kembang.”

Mboksumara tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia merasa malas melayani khayalan dan imajinasi anak kecil. Sudah hampir jam 21.00 WIB. Tadi sudah mendongeng. Ia menyuruh Kembang Sepatu Anwar kembali ke kamarnya untuk tidur. Ia memang gadis kecil penurut. Ia berlari ke kamarnya dengan rasa takut. Ia harus tidur. Ia kembali ke bibir jendela, melihat lagi mayat perempuan berambut panjang yang tersangkut di ranting pohon besar di atas sungai itu. Ia kembali memastikan penglihatan dengan teropong detektifnya. Ya! Itu benar-benar mayat. Ia menutup jendela kamarnya. Lalu bersembunyi di balik selimut bersama guling dan teropong detektifnya. Di luar hujan. Deras. Petir meledak-ledak.

“Kembang apa sudah tidur, Mboksumara?” tanya Ibu.

“Sudah, Nyonya,” jawab Mboksumara.

“Bagus. Apa saja yang diceritakan, Mboksumara?” tanya Bapak.

“Banyak sekali, Pak. Barusan dia bercerita, katanya ada mayat tersangkut di ranting pohon di tepi sungai, tepat di dekat jendela kamarnya. Mulai pandai berbohong. Tapi sudah saya beri tahu, supaya membedakan mana kenyataan dan khayalan.”

“Memang anak seusia itu punya imajinasi yang tinggi. Tapi kalau khayalan atau imajinasinya itu ia ceritakan sebagai kejadian nyata, dia sudah pandai berbohong,” ujar Ibu.

Tiba-tiba Kembang Sepatu Anwar keluar dari kamarnya. Ia memeluk Ibunya.

“Lho kenapa belum tidur, sayang?”

“Kembang tidak bisa tidur. Takut. Ada mayat tersangkut di ranting pohon tepi sungai itu, Bu.
Matanya terbelalak mau lepas dari tempatnya, lidahnya menjulur, mulutnya dimasuki semut merah. Kembang sudah memastikan dengan teropong detektif.”

“Kembang! Jangan berbohong! Itu tidak baik. Kebohongan akan membuat kamu menjadi anak nakal. Sekali berbohong, sampai dewasa kamu akan terus berbohong!”

“Tapi Kembang tidak bohong, Bu.”

“Sudah, sekarang tidur! Sudah larut malam. Hujan deras. Tidak ada mayat. Semua hanya khayalanmu saja. Khayalan itu tidak nyata. Kita tidak hidup di dalam khayalan. Kita berada dalam kenyataan. Nyata. Dan pasti. Hidup itu pasti.”

Kembang Sepatu Anwar tidak mengerti perihal kenyataan dan kepastian yang diucapkan Ibunya barusan, dan tidak tahu kenapa Ibu marah mengucapkan hal itu padanya. Ia masuk kamar. Menutup pintu.

“Bu, bukankah lebih baik kita periksa cerita Kembang tadi? Siapa tahu memang benar-benar ada mayat tersangkut di ranting pohon itu,” Bapak mendekati Ibu.

“Bapak ini lagi! Khayalan anak kecil kok dipercaya?”

“Tidak ada salahnya kita periksa.”

Ibu agak bimbang. Matanya yang lelah dan kemerahan menyimpan kebimbangan.

“Baiklah. Kita ke kamar Kembang.”

Keduanya menuju pintu kamar Kembang Sepatu Anwar yang tertutup, tapi tak pernah dikunci. Sebelum Bapak dan Ibu sampai di pintu kamar Kembang Sepatu Anwar, di luar tiba-tiba angin datang dengan kencang. Pohonan bergoyang-goyang seolah hendak roboh. Dan mayat yang tersangkut di ranting pohon itu terjatuh ke sungai yang berada tepat di bawah. Mayat yang malang itu lalu terseret banjir entah ke mana.

Bapak membuka daun pintu. Kembang Sepatu Anwar telah tertidur pulas. Ibu segera membuka daun jendela. Kedua matanya langsung tertuju pada ranting-ranting pohon di tepi sungai itu. Tak ada apa-apa. Ia memastikan dengan menyorotkan lampu sentolop pada ranting-ranting pohon. Tak ada apa-apa. Bapak ikut memastikan. Dan tak ada mayat seperti yang diceritakan anaknya.
“Dasar anak kecil. Khayalannya terlalu tinggi. Dan dia telah berbohong dengan khayalannya,” ujar Ibu.

“Iya! Namanya saja anak kecil, kata-katanya tak bisa dipercaya,” ujar Bapak.

Keduanya keluar dari kamar. Sedang di luar, mayat itu terus dihanyutkan banjir ke sana. Entah ke mana.

Gumuk Angin,Tembokrejo, 2020


*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *