Dwi Klik Santosa *
Semula saya mengira semua tulisan NH Dini menuliskan dunianya perempuan. Tapi ternyata tidak, dunia dan pemikirannya laki-laki pun dituliskannya juga melalui karya-karya cerpennya dalam kumpulan cerpen “Dua Dunia” ini.
Membaca 10 cerpen dalam buku ini, apalagi ada pengantar darinya bahwa ia menulis sejak masih SMA, seperti sudah bisa menebak saya, bahwa NH Dini memiliki karakter yang kuat sebagai seorang pemikir.
Ada keluasan berpikir, wawasan teoritis bahkan pemberontakan yang universal dan luhur kandungannya, terlebih ihwal penggambarannya tentang bagaimana sebaiknya menjadi manusia. Teristimewa perempuan. Karena bagaimanapun kultur ia lahir dan dibesarkan, budaya patriarki atawa hegemoni kaum pria dalam keseharian sedemikian dominan dan menjadi momok bagi kaum hawa untuk maju dan berkembang sebagaimana wajarnya.
Cerpen “Kelahiran”, “Pendurhaka” dan “Perempuan Warung” tertulis selesai ditulis di tahun 1953. Itu artinya usia si pengarang baru 17 tahun. Karena NH Dini lahir 29 Februari 1936.
Dalam usia 17 tahun menuliskan kandungan cerita yang setajam itu. Menurut saya seperti menandakan kualitas seorang NH Dini. Dalam ketiga cerpen itu jelas sekali arah dan arus berpikirnya.
Tentang perlawanan dan pemberontakan terhadap belenggu kemiskinan — miskin pengetahuan terutama yang menyebabkan seseorang mudah berlaku menindas dan semena-mena– dan kemerosotan moral karena memang secara umum kaum laki-laki digambarkan punya segala-galanya tapi anehnya banyak saja kaum perempuan yang diam karenanya dan bahkan rela menyangatkannya sebagai obyek bagi merajalelanya maskulinitas dalam menunjukkan dominasinya dalam ruang-ruang nyata kehidupan.
Melalui sosok Yati dalan cerpen “Pendurhaka” saya membacanya karakter itu adalah elan kejiwaan dari NH Dini sendiri, yang memilih keluar dari kejumudan dominasi keluarganya yang selalu salah dalam menerapkan dogma. Dikawinkan dengan laki-laki kaya, berpangkat dan tentu bukan berdasar cinta. Bukankah itu nasib yang diterima kakak-kakaknya yang bernasib dengan status rela menjadi isteri ketiga, dan bahkan menjadi obyek penderita saja karena suaminya itu mudah melakukan kekerasan meski disebabkan persoalan yang sepele?
Begitupun dengan karakter Kinah dalam cerpen “Perempuan Warung”, Aku dalam “Istri Prajurit”, Prita dalam “Jatayu”, Aku dalam “Penemuan” dan juga Iswanti dalam “Dua Dunia” adalah perempuan-perempuan dengan sepenuh perlawanan.
Terlebih pada cerpen “Dua Dunia” sosok Iswanti adalah kemandirian dari cara berpikir tentang perlunya bersikap bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Sekalipun dunia hidup di sekitarnya sedemikian penuh dengan kandungan yang naif dan munafik.
Menjadi janda dengan harus menghidupi satu anaknya dan juga merawat ayahnya yang sudah tua, tidak harus merengek kepada belas kasihan mantan suami yang memilih menikah lagi karena menghendaki poligami. Dan juga sebagai perempuan dewasa, Iswanti berhak menjadi dirinya sendiri dan tidak harus bercermin kepada almarhumah ibunya yang punya dunia kebebasan senang berjudi, hidup dalam cengkreman hedonisme tetapi uang yang didapatnya adalah hasil dari memanipulasi.
Tidak semua berkandung tragistik dan ironi, meskipun dalam cerpen “Warung Bu Sally” dan “Liar” berkandung satire, tapi setidaknya dalam cerpen “Keberuntungan”, kemalangan seorang Jamjuri berakhir dengan mendapatkan tawaran menikah oleh Kasnah perawan kaya juragan beras, pujaan hatinya itu.
(DKS)
*) Dwi Klik Santosa, lahir 9 Januari 1974, sebagai anak kedua bapak Siswo Suwarno dan ibu Satiri. Pernah menjalani pendidikan akademis di Jakarta dan Jogja (pada jurusan Komunikasi, UPN Veteran Jogyakarta), dan selama malang-melintang menjadi mahasiswa terpinalti sebagai aktivis. Pernah menjadi wartawan, dan mendirikan sanggar bermain bagi anak-anak dan remaja di kampung lahirnya. Pegiat seni-budaya, berkelana dan singgah dari tempat ke tempat di Sukoharjo, Solo, Jogja dan Jakarta. Bekerja sebagai copywriter di Zentha Hitawasana, Jakarta.