Rumah Kertas, Carlos María Domínguez


Fahri Salam *

Membaca Rumah Kertas adalah membayangkan kawasan Amerika Latin sebagai imajinasi politik, dan nilai penting novel ini terletak pada metafora yang kental dengan ironi. Sebagai pembaca manasuka atas karya pengarang dari Selatan, dan sumbangsihnya berkat karya-karya terjemahan Ronny Agustinus lewat penerbitnya (Marjin Kiri) maupun blognya (‘Sastra Alibi‘), Rumah Kertas adalah penjelajahan yang mempercakapkan buku dengan buku, suatu perjumpaan (antar-entitas bubur kayu lunak) yang menyiratkan apa yang ditulis pengarangnya sebagai usaha “… melacak peta sastra Amerika Latin dalam perjalanannya melalui Eropa,” namun akhirnya menemukan “ambisi yang tampak pretensius dibandingkan perjalanan yang ditempuh buku-buku itu sendiri.” Inilah, ujar si tokoh, “temuanku sekaligus kegagalanku.”

María Domínguez begitu percaya diri membangun sebuah kisah dalam novel tipis (hanya 76 halaman) lewat isyarat buku karangan Joseph Conrad, dan kalimat pembuka novelnya, tentang penggandrung buku yang tewas ditabrak di jalan raya karena sedang menyuntuki baris puisi dari penyair kesukaannya, memberi jalan lepas pada sebuah kisah detektif sekaligus bukan, justru karena kisahnya bukanlah pada kematian itu melainkan jalinan labirin mengenali posisi “sastra Amerika Latin di pentas dunia.” Rumah Kertas, selain menjelaskan visi pengarangnya, juga meladeni banyak gosip, pertemanan dan pertengkaran, cemooh dan kasih sayang, antara para pengarang dan karya-karyanya dan para pembaca. Sesekali ia juga mengomentari sifat despotik rezim diktator dan perubahan masyarakat yang memperlakukan ponsel dan gawai sebagai “wabah kelisanan”, termasuk para penulis yang lebih gemar berpolemik sebagai “medan tempur riuh rendah” alih-alih mempercakapkan pengalaman menulis itu sendiri (Ya, anda menemukan hal sama seperti ini di Indonesia).

Bagian yang paling bikin saya terhenyak adalah ketika si tokoh mendatangi sebuah pondok tempat si biliofil gila itu, yang dibangun oleh tumpukan ribuan buku, di “tempat yang terlupa, di ujung dunia” yang melumatkan “hubungannya yang akrab dengan aspek-aspek paling pelik dari buku-buku telah berakhir dengan terdampar di pantai sepi terpencil.” Itu saat si tokoh mencari-cari apa yang sebetulnya tak terpahami, gambaran yang hanya bisa ia duga-duga bila bukan kesia-siaan, dari sisa-sisa reruntuk pondok itu bersama halaman-halaman buku yang rompal dan jasad karya-karya para raksasa yang telah memancarkan pengaruh dan meliputi kesusasteraan Amerika Latin. Saya membacanya sebagai metafora—ia adalah atlas bagi para pengarang sebagai navigasi membangun jalan karyanya sendiri setelah betapa menawan dan beringas sekaligus rapuhnya warisan-warisan karya para pengarang terkenal sebelum mereka. Barangkali juga sepenuhnya bukanlah metafora, tetapi María Domínguez menghamparkan pembaca pada prakonsepsi sewaktu si tokoh sesaat “membayangkan akan menemukan edisi pertama Alt, satu lagi Darío, dalam kondisi prima, … tapi yang tercerabut malah bata mustahil kerangka García Márquez, bubur lengket yang dulunya Lope de Vega, sampul kaku Balzac.” (Gambaran ini seketika membuat saya berpikir: Kau takkan mungkin menyamai Pramoedya Ananta Toer, misalnya, tetapi kau bisa hanya bila kau serius mendalami dan mengambil gagasan dalam novel-novelnya dan, bersama pengaruh-pengaruh lain, kau mengaduknya dalam sebuah karya yang sepenuhnya milik kau; tetapi, di saat bersamaan atau nantinya, dalam hukum waktu yang menggilas, mayoritas dari kita makin menjauh dari karya-karya Pram, sebagaimana kita sama sekali tak membaca karya Balzac, Borges, Lorca, atau lainnya.)

Saya membaca Rumah Kertas dengan rasa ngeri, betapa pun buku ini mengisahkan kegilaan seorang bibliofil. Satu kalimat yang terus menghantui saya: “Dipaksa memilih antara buku dengan hidup itu sendiri, orang-orang memilih menjadi algojonya.”

Ya, kita semua lahir, dan tumbuh, dari negeri yang mengagungkan penjagal!
***

*) Fahri Salam, penulis dan wartawan lepas; editor Pindai.org dan Buku Mojok. Menyukai bacaan sejarah, sastra, dan politik. Menulis buku Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh (bersama Affan Ramli, Arianto Sangaji, dan Sulaiman Tripa; Prodeelat & Insist Press, Juli 2015). Co-editor #NARASI: Antologi Prosa Jurnalisme (Pindai, 2016). Menyunting buku Menjejal Jakarta: Pusat dan Pinggiran dalam Sehimpun Reportase (Viriya Paramita, Pindai, 2015); Di Balik Kisah Gemerlap: Pergulatan Gerakan Sosial di Aceh Sesudah Tsunami (Insist Press, 2014); Dapur Media: Antologi Liputan Media di Indonesia (Yayasan Pantau, 2013); “Agama” Saya adalah Jurnalisme (Andreas Harsono, Kanisius, 2010). Blognya: riesalam.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *