Pameran Tunggal ‘Superficial Reader’ Dedy Sufriadi di Jogja Gallery kolaborasi tari kontemporer dan Solo music Cello, mengajak bersama-sama mencermati fenomena peralihan pemanfaatan buku yang dicatat dan dicetak dalam lembaran kertas (analog) menjadi buku dalam bentuk digital. Barangkali peristiwa ini merujuk sebagaimana pertama kali ditemukannya Papirus (tanaman air) oleh orang Mesir 4000SM sebagai bahan kertas. Kekhawatiran dialami para pecinta tulisan yang biasanya diukir di atas kulit dan batu, beralih menulis di atas kertas.
Peristiwa yang hampir mirip ini diperingati Dedy Sufriadi, kelahiran Palembang, 1976, lulusan Institut Seni Indonesia dan Magister Seni Rupa ISI Yogyakarta, ribuan buku dihancurkan dengan cara mengguyurkan air pada pameran yang digelar 15 Desember 2020 – 15 Januari 2021. Diibaratkan air hujan jatuh pelahan-lahan meluluh lantakan kertas yang berisi tulisan pengetahuan. Mungkin disitu ada buku filsafat, buku agama, cara memasak, buku pelajaran matematika, pendidikan Pancasila, buku Kesehatan, pertanian, buku sejarah, buku cerita pendek, buku puisi, novel dan nama-nama penulis, penerbit, departemen jadi bubur kertas. Bisa dibayangkan bagaimana setiap kata, bahasa, setiap kalimat yang tercetak dengan tinta itu bercampur baur lebur dengan air jadi bubur dan semakin lama menebarkan aroma comberan. Pada akhirnya menjadi limbah.
Menghancurkan buku dengan air, berbeda makna ketika penghancurannya dengan cara dibakar. Pembakaran buku biasanya ada unsur kebencian, bisa jadi karena berbeda pandangan politik, atau karena Phobia. Menghancurkan buku menggunakan air, limbah bubur kertasnya dapat didaur ulang. Dimanfaatkan kembali menjadi kertas atau barang yang berguna.
“Saya merupakan orang yang lahir pada era analog, yang sangat mencintai buku. Saat ini orang sudah meninggalkan buku dan lebih membaca melalui digital. Buku sebagai analog dilupakan dan beralih ke digital,” ungkap Dedy Sufriadi, kepada Kedaulatan Rakyat (KR), (Dedy Sufriadi Ciptakan Karya Seni dari Ribuan Buku Bekas), 15 Desember 2020.
Buku-buku yang dihancurkan bukan koleksi pribadi seutuhnya, yang menunjukan bahwa buku-buku itu sempat dilihat atau menjadi bahan bacaanya. Buku-buku itu dipesan dari pengepul buku bekas yang mungkin akan didaur ulang. Dijadikan alat, media atau bahasa ekspresi atas peralihan pemanfaatan buku berbahan dasar kertas (analog) menjadi buku dalam bentuk digital.
“Saya ingin tahu bagaimana respon publik jika buku diperlakukan itu. Bukan mengajak masyarakat untuk melupakan buku, tapi justru sebaliknya untuk lebih menghargai buku,” kata Dedy Sufriadi kepada KR, 15/12/2020.
Dedy mengajak publik menghargai buku analog dengan mempertontonkan bagaimana proses hancurnya buku analog itu di Jogja Gallery. Dia merogoh koceknya tidak sedikit, mempersiapkan segala sesuatunya. Merancang bagaimana peristiwa itu membuat shok pengunjung, mungkin karena aroma bau dari proses hancurnya buku-buku itu, atau menyayangkan pada buku-bukunya.
Apakah terlintas dibenak pengunjung: inikah peristiwa proses peralihan dari buku analog ke digital? Ruang pamer dibuat remang-remang, udara sesak bau penampungan sampah dari buku-buku yang membusuk dan hancur, perputaran air yang menggunakan pompa air tanpa henti mengguyuri buku yang terendam seperti kolam seluas lapangan futsal, gemuruh suaranya layaknya hujan.
Dalam situasi pandemic covid 19, penonton pameran dibatasi. Ini pengorbanan yang merujuk kepada kepuasan atau pertunjukan spektakuler yang dapat menyihir penonton. Apakah untuk memberikan kesan peralihan analog ke digital butuh lima ton buku layak baca dihancurkan, tidak cukup dengan satu dua tiga buku saja?
“Secara umum tema yang saya angkat ini menyatakan bahwa kita semua adalah pembaca yang dangkal, karena adanya pergeseran literasi dari analog ke digital dalam 10 tahun terakhir,” ujar Dedy kepada Tribun Jogja, (Ini Alasan Dedy Sufriadi yang menghancurkan 5 Ton Buku dengan Air di Jogja Gallery), 15/12/2020.
Ada apa dengan lima ton buku dihancurkan? Tentu ini bukan menyelesaikan masalah dengan masalah. Peristiwa yang perlu dicatat diakhir tahun 2020 dan awal tahun 2021 menandai berakhirnya analog dilanjutkan menjadi digital oleh Dedy Sufriadi.
“Setelah perkembangan teknologi yang luar biasa, kegiatan membaca tidak lebih dari kegiatan rekayasa. Orang membaca kadang tidak butuh referensi dan siapa penulisnya, hanya sekedar hiburan.” Tribun Jogja, 15/12/2020.
Apakah ini ungkapan kekecewaan atau protes terhadap situasi atau keadaan saat ini, atau ini biasa sekedar reaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi? Apakah ini tontonan seni rupa termutakhir akibat dari pandemic covid 19, terhadap masifnya orang dalam penggunaan gaget. Pada tingkatan tertentu orang-orang tidak bisa lepas lagi dari handphone dan media sosial.
“Ya termasuk juga dengan kehadiran sosmed, memang orang semua menjadi pembaca tapi yaitu tadi, nilai yang diperoleh itu tidak ada, hanya sebuah rekreasi.” Tribun Jogja, 15/12/2020.
Orang dulu bangga memiliki ratusan, ribuan buku yang tersusun di rak, mungkin di perpustakaannya atau sengaja dipajang di ruang kerjanya dan ruang tamu. Orang sekarang menyusun ribuan buku sudah berupa file di dalam bentuk hardisk. Buku itu sama-sama tersusun dalam rak, yang satu tampak wujudnya dan kini tak lagi tampak.
Buku digital memungkinkan membawa ribuan koleksinya kemanapun, tanpa harus repot mengemasi, menghabiskan ruang dan tempat serta bebannya yang berat. Hanya dalam beberapa hardisk ribuan buku itu tersusun dan dapat dimasukkan dalam tas bersamaan dengan barang kebutuhan lainnya. Kemajuan teknologi membantu para pecinta ilmu pengetahuan, pecinta buku, memudahkan mengakses koleksi bukunya tidak mengenal tempat dan waktu.
Kita ketahui bahan baku kertas yang menjadi media tulisan pengetahuan berbentuk buku, berasal dari pohon. Bisa jadi produksi kertas menyumbang persoalan-persoalan lingkungan, atas gundulnya hutan, menyebabkan kekeringan dan berakibat berkurangnya produksi oksigen. Belum lagi proses pembuatan kertas yang menyebabkan tercemarnya lingkungan karena limbah kimia. Anak-anak sekarang bertanya: Kenapa mesti membuat buku analog, kalau ada digital yang lebih mudah, simple dan ramah lingkungan? Searah partisipasi gerakan menanam sejuta pohon atau gerakan sehari menanam pohon oleh pecinta lingkungan hidup. Bukankah ketika membeli buku analog itu kita telah turut merusak paru-paru dunia?
Ungkapan estetik Dedy pada Superficial Reader sangat menakjubkan dan spektakuler. Tentunya tidak mudah mewujudkan gagasan ini, menghabiskan tenaga, waktu, pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu membutuhkan keberanian dan mental.
“Lintasan teks digital yang bertebaran membuat paradox baru, tidak ada jaminan membuat pembaca menjadi lebih kritis tapi malah membentuk barisan pembaca yang dangkal (Superficial). Teks tidak lebih dari sekedar media permainan, siapapun bisa membentuk ruang bermain dengan aturan mainnya sendiri.” (Pameran Tunggal Dedy Sufriadi, tiket.com).
Seperti halnya dunia Pendidikan dan perdagangan, apakah sebelumnya membayangkan akan terjadi perdagangan secara virtual (online) menggeser perdagangan secara konvensional tradisional. Membuka toko, berjualan apapun tidak perlu membangun Gedung-gedung di pusat kota atau di tepi-tepi jalan. Toko-toko sekarang nyaris sepi pengunjung, bahkan ditutup. Gedung-gedung sekolah mulai ditinggalkan murid-muridnya, semua belajar di rumah. Kini toko-toko dibangun melalui digitalisasi. Pusat Pendidikan dan perbelanjaan saat ini dalam bentuk digital. Pembeli cukup memesan secara online, penjual mengantar langsung ke rumah. Tidak lagi harus repot datang ke pusat perbelanjaan, dengan segala macam resikonya. Belanja dari rumah atau darimana pun. Begitu juga sekolah, membaca buku, cukup membawa gaget atau android.
Sekarang orang semakin sadar akan fungsi teknologi, menjadi bagian dari kecerdasan seseorang. Dulu otak kita dijejali dengan hapalan-hapalan dan menyimpan berbagai pengetahuan dari hasil membaca. Kini akurasi pengetahuan bisa dilihat bagaimana cara menguasai dan memanfaatkan teknologi. Tidak hanya sekedar bagaimana cara membaca buku, namun bagaimana membaca berbagai aspek.
Penghancuran lima ton buku itu akan monumental seandainya dikaji dari sisi lingkungan hidup, karena peristiwa ini akan mengurangi penggunaan kertas, dengan begitu dapat membantu menyelamatkan hutan dari masifnya penebangan pohon. Walau demikian relatifitas pemahaman dan pendapat subjektifitas tetap mendapatkan tempat sebagai aspirasi atau sebuah karya, buku pun jadi bubur.
***
Kalau tujuan pameran seni Dedi S. adalah kritik terhadap minat atas buku yang menurun karena dan kegiatan artifisial melalui teknologi internet, seperti online shopping dan lainnya, mengapa bukan menghancurkan alat elektronik, seperti smartphone? Kritik terhadap gadget lebih mengena, jika memang seperti di atas uraian Dedi.
Kekhawatiran Dedi yang ditumpahkan pada karyanya yang kurang mengena ini, menurut saya, adalah ciri ekspresi seni setengah hati dari Dedi. Dedi sadar kita butuh gadget. Dedi juga sadar dampak buruk dan artifisial dari teknologi internet itu sendiri. Mungkin di alam bawah dasarnya, ada konflik yang dialami Dedi berkaitan dengan (tidak) menggunakan teknologi internet dan gadget.
Bahasa sederhananya adalah dipakai, makan tuan; dibuang, sayang.
Mau atas nama seni atau apa. Menghancurkan buku itu bangsat!
Meski ada perubahan dari kertas ke digital, kesenjangan literasi di Indonesia itu masih ada, banyak daerah, banyak anak-anak, yang tidak punya akses terhadap buku, ini malah merusak begitu banyak buku. Otak sempit!
Apapun niat dan tujuan dari pertunjukan itu, tetapi penghancuran buku sangatlah keliru. Saya kok lebih menangkap bahwa ini ajang kampanye literasi digital