SELAMA November sampai pertengahan Desember, penyair asal Solo, Sosiawan Leak, menemani sastrawan Jerman, Martin Jankowsi, membaca puisi dan berdiskusi ke sejumlah kota di Indonesia. Leak dipilih Penerbit Waktoe dan Goethe Institut Jakarta, untuk mendampingi tur keliling dalam rangka peluncuran buku terbaru Jankowsi versi Indonesia, Rabet: Runtuhnya Jerman Timur.
Pria ini lahir di Solo, 23 September 1967, dengan nama Sosiawan Budi Sulistio. Nama Leak muncul dari teman-temannya saat SMA, karena pria berambut gondrong ini sering “menghilang” dalam waktu yang cukup lama. Suatu ketika, sepulang “menghilang” dari Bali, teman-temannya memberi nama baru: Leak –sebuah nama yang mengingatkan pada hantu pemakan organ manusia dalam mitologi Bali. Julukan itu melekat hingga kini.
Gothe Institut Jakarta memilihnya untuk mendampingi Martin Janskowsi tentu bukan tanpa pertimbangan. Leak dan Janskowsi telah memiliki jejak kebersamaan yang lumayan panjang. Keduanya, misalnya, pernah terlibat dalam pembacaan puisi dan diskusi “Membaca Indonesia” di Madura, Surabaya, Solo dan Kudus (2006). Tahun 2008 mereka kembali bertemu dalam “Membaca Kota-kota” di Pati, Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, Wonosobo, Indramayu, Kediri dan Surabaya. Jauh sebelumnya, Mei 2003, Leak mengawali pertemuannya dengan Janskowsi ketika diundang baca puisi dalam “Poetry on The Road” di Bremen, Jerman.
Ia mulai menulis puisi tahun 1980-an, satu angkatan dengan penyair Wiji Thukul yang hingga kini tidak diketahui nasibnya. Menurut Leak, ia lahir menjadi penyair dalam masa-masa di mana menulis puisi sangat berbahaya. Apalagi puisi-puisinya lebih banyak mencemooh ketidakberesan negara di tangan Soeharto ketika itu.
Pilihan kata atau diksi yang digunakan Leak memang vulgar dan bersifat keseharian. Puisi “Negri Kadal” adalah salah satunya: negri yang bersemak rempah/berbelukar bahan tambang/bererimbun hutan/namun selalu lapar/dengan pertikaian dan asap tebal/dari berbagai kayu bakar; agama, harta dan kekuasaan//
“Puisi saya bukan sebarisan kata-kata yang indah. Saya tidak bisa menulis pusi dengan bahasa yang sulit dimengerti kebanyakan orang. Banyak yang bilang kata-kata saya tidak puitis. Tidak apa-apa, asal audien mengerti maksud puisi saya,” ujar bapak dua anak ini di rumahnya, Jalan Pelangi Utara No.3, Perumnas Mojosongo, Solo, Jawa Tengah.
Leak menjelaskan puisi bukanlah bius karena puisi adalah jeritan hati atas rasa yang diasah melalui kepekaan sosial. Maka puisi bukan hanya bersifat pribadi, karena juga mewakili lingkungannya. Ia tidak ingin menjadi seniman yang normatif, terikat pada konvensi atau mainstream tertentu. Tapi ia hanya ingin jujur dalam berekspresi. Apalagi ketika dirinya hidup dalam dunia yang menurut dia, awut-awutan, tanpa norma, moral ataupun mentalitas tanpa pegangan. Penyair yang belajar puisi secara otodidak ini menyebut kondisi seperti itu sebagai “dunia bogambola”. Istilah itu kemudian ia jadikan judul buku antologi puisi yang pernah ia bacakan di sejumlah kampus, mulai Surabaya, Solo, Kudus dan Semarang.
Gaya membaca pusisi Leak memang agak berbeda dengan kebanyakan penyair. Ia cenderung berdeklamasi, karena lebih sering “membacakan” puisi-puisinya tanpa naskah. Ia seperti bercerita, mendongeng, namun sesekali ia menyalak lengkap dengan iringan perkusi, menjadikannya puisinya gaduh dan atrakif, namun menghibur. Di atas panggung, ia biasa membaca puisi sambil menari dan berjingkrak. Tak heran jika ia kemudian mendapat julukan “penyair gaduh”.
“Deklamasi puisi itu jadi pilihan saya. Ada hal yang hidup di luar teks puisi ketika dibaca. Sebab puisi adalah pertunjukan juga,” kata penyair yang sering mendeklamasikan puisinya ke kampus-kampus ini.
Mengenai gaya deklamasi yang dimilikinya, Leak menjelaskan, sejak kecil ia telah akrab dengan seni tradisi lisan. WSalah satunya wayang kulit. Ia selalu terpukau setiap saat menyaksikan sang dalang berbicara sendiri, mendialogkan tokoh-tokoh wayangnya. Ia terkesima bukan pada isi cerita, melainkan pada kemampuan sang dalang menghidupkan dialog.
“Sampai sekarang saya masih sering kagum kepada para dalang. Ia mampu menghidupkan wayang dan suasana dengan monolog. Dari sanalah gaya deklamasi saya lahir. Saya ingin melisankan puisi-puisi saya, bukan sekadar membacakannya,” ungkap dia.
Masa kecil Leak sebenarnya banyak dijejali dengan seni musik, terutama keroncong, karena ayahnya seorang pemain celo handal pada sebuah orkes keroncong dan sering manggung siaran di RRI Solo. Setiap kali siaran atau manggung itulah Leak kecil selalu memaksa untuk ikut. Di luar keroncong, ketoprak dan wayang kulit juga sudah dikenalnya sejak masa kanak-kanak. Rumah orang tuanya yang berdekatan dekat dengan Taman Sriwedari membuat Leak kecil sering menonton pertunjukan ketoprak dan wayang kulit yang ketika itu hampir setiap malam digelar di sana.
“Waktu SMP saya belajar gitar, tapi ketika sudah mahir saya malah masuk ekstra kulikuler teater di sekolah,” kenang suami dari Ari Priharyati, seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah SMP ini.
Sejak itulah ia gila terhadap teater. Ia pernah menjadi aktor di dua kelompok teater besar di Solo, yaitu Teater Gidag-Gidig dan TERA (Teater Surakarta). Ketika kuliah, ia masuk Teater Keliling (Jakarta) untuk membiayai sendiri kuliahnya. Puncaknya, ia mendirikan kelompok tonil Kloearga Sedjahtera (Klosed) Solo.
“Di Teater Keliling saya pentas di perusahaan-perusahaan minyak. Honornya besar, sehingga bisa untuk membayar kuliah,” ujar lulusan Fisip Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini.
Namun ketika dunia teater mulai bisa menghidupnya, ia justru “melompat” ke puisi, menyeberang ke dunia kepenyairan. Alasannya, dalam puisi ia merasa bebas untuk menulis dan mengekspresikan sendiri.
“Saya tidak meninggalkan teater. Teater itu untuk kerja kolektif, sehingga kita harus bergantung pada pihak lain. Tapi kalau di puisi itu kerja sendirian. Di puisi saya bisa ‘melunaskan’ ekspresi’ seratus persen, ” ujar Leak yang disebut Rendra sebagai penyair Gelombang Baru.
Penyair yang sering tampil bersama penyair perempuan Dorothea Rosa Herliany ini menilai puisi-puisi masa sekarang isinya jauh lebih bernas, namun sering tidak serasi dengan kehidupan. Banyak puisi masa kini yang lahir bukan dari laku (pengalaman nyata) melainkan dari buku.
“Penyair itu bukan pengamat, sehingga harus ikut hidup dalam masyarakat. Sebab bahan baku utama untuk melahirkan puisi adalah kahanan (suanana yang terjadi). Buku, teve dan internet itu nomoer sekian,” kata penyair yang tahun 2002 mengikuti Festival Puisi Internasional Indonesia bersama beberapa penyair dari sejumlah negara.
Belakangan ini, Leak tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti beberapa even internasional yang akan digelar tahun depan. Beberapa di antaranya adalah Diskusi Sastra Karya Nietzsche (Februari) dan Poetry On The Road Festival (Juni), semuanya di Bremen, Jerman. Oktober lalu ia baru saja mengikuti Ubud Writers & Readers Festival di Bali bersama 144 sastrawan dari 24 negara.
***
Foto Sosiawan Leak oleh Ganug Nugroho Adi / 30/05/2012